Ariani Darmawan Curahkan Diri Ke Tempat Baca-Nonton Alternatif

[HARMONIAK+JURNALFOOTAGE] :: “Rumah Buku adalah proyek seumur-hidup yang saya rintis pada tahun 2003 — dimulai dari 400 judul milik saya semua. Sekarang 4.000-an, campuran buku, CD dan DVD, dengan anggota sekitar 800,” begitu Ariani Darmawan menulis di situsnya, Harmoniak. Ia menyimak bahwa masyarakat yang mampu untuk terus tumbuh-kembang adalah masyarakat yang memiliki akses akan informasi. Ketika ia kuliah di luar negeri, ia kagum akan bertebarnya sarana yang menyediakan akses informasi bagi publik. “Knowledge is power,” ujarnya semangat. Kembali di tanah air tahun 2002, obsesinya adalah membuka sebuah perpustakaan di kota kelahirannya, Bandung, Jawa Barat. Dengan modal tekad dan kenekadan, Rumah Buku diresmikan di Jl. Hegarmanah No. 52, Bandung.

Di tahun 2003 itu  dia bertemu dengan Budi Warsito, yang berpengetahuan luas tentang film. Berdua mereka buka Kineruku (akronim dari: Kine Rumah Buku) sebagai kepanjangan mimpi dari Rumah Buku, untuk menyediakan bagi publik referensi film-film langka dan bermutu karya sutradara-sutradara penting sepanjang sejarah sinema dunia. Pada tahun 2005, Joedith Tjhristianto gabung dan bertiga mereka memberanikan meluncurkan rumah-produksi mungil dengan nama sama dan sejauh ini sudah memproduksi beberapa film-pendek. Ternyata publik Bandung datang ke Kineruku, tidak sekadar untuk menonton melainkan juga berdiskusi.

ruku01ruku02-feat

ruku04

 

Berikut adalah wawancara Jurnal Footage dengan Ariani Darmawan untuk lebih memahami pemikiran di balik ruang alternatif bagi pemutaran film.

 

 

Kalau dibandingkan dengan bioskop yang sudah ada, konsep bioskop independen itu sebenarnya apa sih?
Sebetulnya kalau bicara soal bioskop dalam konsep umum adalah ruang yang mapan, ada AC, tempat duduknya enak dan bentuknya seperti podium. Itu bioskop yang kita anggap sebagai bioskop sebenarnya. Paling tidak saya menganggapnya seperti itu. Ada kriteria tertentu sebuah tempat bisa dinamakan bioskop, dalam arti penonton nyaman untuk menonton. Itu bagus untuk penonton dan bagus juga untuk filemnya. Jadi bayangan saya soal bioskop independen harusnya bioskop yang juga seperti itu, dalam arti secara tempat tidak jauh berbeda dengan bioskop-bioskop kebanyakan, namun berbeda dari segi pemutaran filem-filemnya.

Apa tempat-tempat seperti Kineruku, Kinoki dan sebagainya itu bisa disebut bioskop independen?
Saya lebih menyebutnya sebagai tempat pemutaran. Tempat-tempat seperti itu lebih bisa dikatakan sebagai ruang nonton alternatif. Tapi untuk disebut sebagai bioskop, yang bentuknya seperti teater, ya tempat-tempat seperti itu belum bisa dikatakan bioskop independen.

Apa yang diharapkan penonton dari sebuah bioskop?
Kenyamanan. Kalau saya berada di sebuah bioskop saya akan merasa nyaman. Di Kineruku, kita memutar filem-filem tapi saya sendiri merasa itu belum menjadi tempat yang ideal. Karena Kineruku bukanlah bioskop.

Ada tidak tempat di Indonesia yang bisa disebut bioskop independen?
Kita bisa menyebut Kineforum sebagai salah satunya. Pertama karena Kineforum memiliki kepengurusan sendiri yang ada di luar jaringan Cineplex 21 (twenty-one). Kedua karena acara-acara pemutarannya rutin. Di Bandung ada gedung Balai Pustaka yang bentuknya podium dan ketika kita nonton di sana, kenyamanan itu terasa. Tapi tempat itu tidak bisa dikatakan sebagai bioskop karena tidak mengadakan acara-acara rutin.

Bagaimana dengan fenomena layar tancap tradisional diseberangkan dengan ruang menonton alternatif seperti Kineruku atau Kinoki?
Saya pikir beda sekali. Layar tancap adalah pemutaran di ruangan luar. Pada hakikatnya, layar tancap dilakukan di luar ruangan karena mereka ingin mengundang orang-orang yang ada di sekitarnya.

Tapi bukankah itu juga menjadi semacam ruang alternatif dalam menonton?
Ya. Layar tancap itu bisa menjadi ‘the future’ dari ruang alternatif. Karena menonton di situ lebih nyaman dan penontonnya pun tidak terbatas. Tidak seperti di Kineruku, misalnya, ruangannya sempit dan terbatas. Tapi kelemahannya kondisi cuaca: hujan dan lain-lain.

Bagaimana kalau ruang-ruang seperti Kineruku atau Kinoki memutar filem yang sama dengan bioskop-bioskop komersial, apa masih bisa disebut dengan ruang menonton alternatif?
Bagi saya tidak. Itu sama saja seperti kalau kita ke bar, terus di situ memutar filem seperti Spiderman. Bagi saya itu sama sekali bukan ruang menonton alternatif.

Jadi apa yang ingin dicapai dari ruang alternatif menonton kalau begitu?
Alternatif itu intinya pemutarannya. Jadi filem-filemnya harus berbeda, sulit diakses dan dianggap penting dalam sejarah sinema. Seperti filem-filem Rusia di masa awal atau karya-karya dari Forum Lenteng dan sebagainya yang membawa kesegaran dalam dunia tontonan.

Dampak yang diharapkan dari ruang alternatif menonton ini?
Kalau saya sih, ingin mendekatkan orang dan berbagi referensi. Karena percuma kita punya buku-buku bagus, atau filem-filem yang bagus tapi orang tidak tertarik atau tidak punya pengetahuan tentangnya. Jadi saya ingin membuat orang tertarik dan menonton lebih luas. Kalau di Kineruku, kita punya program misalnya menonton filem-filem penting dalam sejarah visual dunia. Dan yang paling penting dalam sebuah ruang tonton alternatif itu kita bisa berdiskusi, tidak hanya menonton filem yang diputar saja. Tempat di sini tidak lagi hanya sebagai tempat, tapi ia juga sudah menjadi ruang komunikasi.

Bisa tidak kita sebut bioskop komersial kecil yang biasa memutar filem esek-esek sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap bioskop komersial besar?
Saya pikir tidak. Karena mereka tidak melakukannya sebagai bentuk perlawanan. Mereka melakukannya lebih untuk bertahan hidup. Jadi itu bisa dikatakan sebagai sisi lain industri, bukan alternatif.

Apa yang ingin dilawan?
Mungkin saja yang dilawan itu tidak ada. Tapi kita bisa katakan kita melawan arus utama. Seperti filem-filem independen saja, saya sering mempertanyakan apa sebenarnya yang mereka lawan. Apakah benar tidak ada yang independen kalau kita bicara konteks perfileman di Indonesia. Kita tahu industri filem di Indonesia itu sendiri tidak saklek. Industri filemnya sendiri belumlah benar. Sehingga kalau kita bicara soal independen dan alternatif semuanya bisa sangat menjadi tricky.

Sumber: jurnalfootage.net + arianidarmawan.net + rukukineruku.com

Leave a Reply