[BUKU] Dari Kamp Ke Kamp, Catatan Kehidupan Mia Bustam

[KOMPAS] ~ Dari Kamp ke Kamp bukan sekadar catatan pengalaman, melainkan merupakan perca penting penambal lubang-lubang menganga pada historiografi (pascakolonial) di Indonesia. Ditulis seorang perempuan, yang menghuni enam penjara berbeda, selama 13 tahun sejak dasawarsa pertama rezim Orde Baru berkuasa, tanpa pengadilan, tanpa pernah dinyatakan bersalah, bahkan tanpa tuduhan jelas.

Buku ini istimewa karena tiga hal. Pertama, ia merupakan catatan otentik orang yang mengalami. Kedua, pilihan cara bertutur. Tak banyak buku yang ditulis dengan cara keluar dari subyek sebagai obyek (apalagi pada korban peristiwa politik) dan menjadi pengamat atas pengalamannya sendiri. Dengan begitu, ia menolak rasa kasihan terhadap diri sendiri, bahkan mengubah imaji manusia keji menjadi badut yang patut dikasihani.

Ketiga, pemilihan fakta dari bongkah ingatan. Proses ini bersifat bebas (Ifi Amadiune dan Abdullahi An-Na’im, 2000), dan merupakan otoritas, sekaligus pilihan politik penulisnya. Proses itu menghubungkan antara ingatan personal dan politik di luar; antara ”sejarah” masyarakat korban dan ”sejarah” formal yang menggeneralisasi dan sarat kepentingan politik penguasa.

Dengan demikian, masa lalu tidak diabaikan, direkonstruksi, dimanipulasi, dan dijustifikasi (Herbert Hirsch, 1995). Dalam konteks Indonesia, ini terkait khususnya dengan sejarah seputar tragedi 1965 yang dimaknai secara tunggal oleh penguasa, dan sejarah pergerakan perempuan Indonesia yang digelapkan, setelah Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dihancurkan dan seluruh perjuangannya bagi kemajuan perempuan Indonesia diraibkan.

Mia Bustam - Sudjojono dan Aku
Buku pertama Mia Bustam.

Elegan, tegar

Buku ini bukan buku sejarah dalam pengertian formal. Bahkan, penulisnya, Mia Bustam (88), mengaku bukan penulis. ”Saya hanya suka bercerita, terutama kepada anak-anak saya,” begitu bunyi kata pengantar buku pertamanya, Sudjojono dan Aku (2006).

Mia pernah bergabung dengan Seniman Indonesia Muda (SIM) dan pada zaman ontran- ontran itu, Mia yang juga pelukis adalah Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Yogyakarta.

Dengan buku Dari Kamp ke Kamp, Mia memperlihatkan bahwa kekejian yang dilakukan para petugas tidak menyentuh relung jiwanya; penderitaan tidak mereduksi kemanusiaannya; dan penghinaan tidak mengurangi martabatnya.

Rentang waktu 13 tahun di penjara tak mampu memenjarakan pikiran-pikirannya, kreativitasnya, apalagi menghentikan langkahnya untuk melanjutkan hidup. Dia bukan hanya survivor. Ia adalah manusia bebas.

Mungkin delapan anak yang ia tinggalkan itulah yang menyebabkan ia bertahan. Si bungsu baru berusia sembilan tahun saat ia ’diambil’. Sementara si sulung, anggota organisasi mahasiswa yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, ditahan di tempat yang tak ia ketahui. Namun, yang lebih mungkin, adalah, karena pada dasarnya ia pribadi yang keras, punya prinsip, optimis memandang hidup, dan (karenanya) tak mau menyerah pada keadaan yang dilahirkan oleh segala sifat buruk manusia.

Dengan dua bukunya, Mia menolak sebagai subaltern, meminjam terminologi Gayatri Spivak (1988). Ia merebut ruang untuk bersuara dengan menguakkan kebenaran yang ia simpan puluhan tahun. Inilah cara Mia menolak dominasi pemaknaan di ruang publik.

Buku ini sebaiknya dibaca setelah membaca buku pertama Mia Bustam, supaya pembaca mengenal sosok yang berpengaruh besar pada perkembangan pemikiran dan karya-karya S Sudjojono, ”Bapak Seni Rupa Modern Indonesia”. Mia adalah istri pertama yang kemudian bercerai dari pelukis besar itu.

Mia bukan Subadra, yang mampu membagi cinta Arjuna dengan perempuan lain (Sudjojono dan Aku, hal 243). Tak bisa saya bayangkan reaksinya melihat lukisan wayang kulit Subadra di sampul buku Dari Kamp ke Kamp.

Sarkastik

Dari Kamp ke Kamp memunculkan gambaran utuh tentang bagaimana kebencian dan kekejian lumpuh di hadapan tekad baja untuk terus mencintai kehidupan. Mia Bustam tidak menggunakan kalimat yang mendayu-dayu; sebaliknya, sangat lugas.

Justru dengan itu, banyak kalimat menyiratkan rasa bahasa yang membuat dada berpasir, dan menjadi seperti pintu yang mengantar masuk ke masa itu.

”Kau naik ke truk sana!” bentak orang itu kepadaku. Aku pandangi anak-anak satu per satu dan hanya berucap, ”Wis ya cah,” dan berjalan meninggalkan mereka tanpa menoleh lagi. Aku tidak mencium mereka. Aku tahu kalau aku menciumnya, aku akan menangis dan itu tidak maui. Air mataku hanya untuk yang kukasihi, tidak untuk diperlihatkan kepada mereka yang memusuhi diriku (hal 60).

Misa Bustam muda.
Mia Bustam muda.

Kalimat terakhir itu muncul secara terpisah-pisah pada berbagai bagian lain di buku itu. Tak sulit menangkap bahwa pada saat-saat tertentu kondisi psikologis Mia berada di titik terendah meski dibalut kuat-kuat dengan ketegaran.

Simak juga bagaimana ia menggambarkan seorang tokoh intelektual di Universitas Gadjah Mada yang sangat keji kepada para tahanan.

… kuikuti sosoknya yang tinggi besar…. Namun, kepalanya tidak seimbang dengan tubuhnya yang terlalu kecil. Pantas dia kejam dan sadis (hal 96). Di kemudian hari, tokoh itu menjadi tokoh yang sangat kritis terhadap Orde Baru, bahkan pernah mengusulkan kepada Munir (almarhum) pentingnya gerakan bersama melawan kekerasan! (catatan Tedjabayu dalam Mia Bustam, Sudjojono dan Aku, hal 341).

Ia menarasikan banyak hal yang membunuh akal sehat dengan sangat menarik. Di antaranya, fobia komunis yang menghinggapi para petugas, sampai-sampai takut pada hiasan bintang dalam pesta Natal, karena itu lambang Pemuda Rakyat, dan takut pada hiasan bunga teratai di kolam karena dianggap lambang Baperki (hal 200-201).

Toh, gambaran tentang penyiksaan tak sepenuhnya bisa dihindari. Mia menguraikan bentuk-bentuk kekejian yang dilakukan petugas (hal 140-142), dan tentang tahanan politik sebagai sapi perah, budak, dan obyek korupsi (hal 228).

Buku kehidupan

Ia hanya berkata mantap, "C'est la vie!" (Inilah hidup!).
Poster mengenang ucapan ikonik Mia Bustam, “C’est la vie!” (Inilah hidup!).

Telah banyak buku ditulis untuk memberikan gambaran kekejaman terhadap tapol pada masa itu. Laporan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), ”Kejahatan Kemanusiaan Berbasis Jender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965”, juga dapat menjadi acuan.

Namun, Dari Kamp ke Kamp memberi gambaran lebih luas tentang situasi penjara dan tapol 65, khususnya Plantungan, Jawa Tengah, yang dikenal sebagai ”kamp konsentrasi” para perempuan tapol. Dan, khususnya, tentang tindakan tak bermoral para petugas ”penjaga moral”, tentang kepengecutan di balik topeng kedigdayaan dan tentang konstruksi kenyataan yang dibangun dari bayangan imajiner petugas.

Juga tentang kejadian-kejadian lucu sekaligus pahit di dalam penjara, tentang ketidakberdayaan sekaligus keperkasaan, tentang pengkhianatan sekaligus solidaritas, tentang kebencian sekaligus simpati, tentang kepahitan sekaligus kejenakaan, tentang kematian yang hidup dan kehidupan yang mati, tentang cara bertahan dengan membunuh keberdayaan diri sendiri.

Dan, terutama, tentang seluruh ”pengembaraan” dari penjara ke penjara, yang dipahami penulisnya semata-mata sebagai bagian hidup; tak lebih, tak kurang.

Ketika pertama kali bertemu dengan si sulung yang baru dibebaskan dari Pulau Buru setelah sembilan tahun di sana, dari total masa tahanan 14 tahun di lima penjara berbeda, sang ibu hanya memberi senyum hangat. Tak ada peluk dan cium, apalagi isak dan tangis. Tedja ingat, Mia menjabat tangannya, seperti dua sahabat yang lama tak berjumpa, dan berkata mantap, ”C’est la vie.” Inilah hidup! ~ [Maria Hartiningsih/KOMPAS/Agustus2008]

Leave a Reply