Meretas Mimpi Para Perempuan Desa
Oleh Rina Susanti
Tulisan ini Juara I Lomba Blog VOA/November 2012
Kisah Pilu dari Negeri Tetangga
Saya yakin, perasaan marah, sedih, miris dan sesak yang saya rasakan dan bergumal jadi satu dalam hati, saat membaca berita mengenai selembaran iklan obral murah jasa pembantu rumah tangga asal Indonesia (TKW) di http://www. voaindonesia. com/content/migrant-care-iklan-tki-on-sale-tidak-boleh-ditoleransi/1535294. html dirasakan juga warga Indonesia lain, terutama kaum perempuan dan ibu. Berita itu dimuat situs VOA Indonesia pada pada tanggal 29 oktober 2012.
Berikut adalah berita yang saya kutif dari VOA; Selembaran itu ditempel di arena publik seperti jalan, di depan toko dan depan kedai. Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, persoalan iklan ini harus dibicarakan secara serius kepada pemerintah Malaysia dan negeri jiran itu menurut Anis harus memintaa maaf. Selain itu pemerintah Indonesia, juga harus aktif menekan Pemerintah Malaysia untuk menyelidiki kasus selebaran itu.
Ini memang bukan kekerasan fisik seperti yang kerap dialami TKW tapi sama menyakitkannya dengan berita pemukulan, penyiksaan, pecehkan yang dilakukan para majikan TKW tapi sama menyakitkannya. TKW dianggap komoditas layaknya barang.
Berikut adalah data dari Migrant Care:
Data resmi yang yang dikeluarkan pihak KBRI Arab Saudi dan KBRI Kuwait, jumlah buruh migran yang melarikan diri ke KBRI untuk mencari perlindungan dari tindak kekerasan dan perkosaan majikan mencapai sekitar 3.627 orang pertahun. Belum termasuk puluhan mayat buruh migran Indonesia yang meninggal dan tidak bisa segera di kirim ke ahli waris Indonesia.
Di Malaysia, politik anti migran pemerintah Malaysia merepresi buruh migran Indonesia yang tidak berdokumen di Malaysia. Untuk mengusir buruh migran Indonesia tak berdokumen, pemerintah Malaysia tak hanya menerbitkan peraturan tertulis juga melancarkan Ops-Nyah yang mengerahkan tentara dan polisi Malaysia bersenjatakan lengkap.
Di Hongkong TKW menerima gaji di bawah standar. Di Taiwan banyak gaji yang tidak dibayar dan PHK sepihak. Di Singapura, selain penyelundupan, kerentanan yang dialami oleh buruh migran ditunjukkan dengan banyaknya angka kematian. Semester pertama tahun 2007 ini, sudah 120 buruh migran Indonesia meninggal dunia.
Pulang ke tanah air, di Terminal khusus buruh migran Indonesia, praktek pemerasan berlangsung secara sistematik, baik yang bersifat resmi maupun liar.
Nyatanya, berita duka itu tidak menyurutkan langkah para perempuan di beberapa daerah untuk mengadu nasib di luar negeri.
Dari data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Pra-Pemberangkatan (BNP2TKI) pada tahun 2008 jumlah TKI 4,3 juta di mana 72% adalah perempuan dan 92% bekerja sebagai PRT. Dan menurut data Organisasi Badan buruh Internasional (ILO), tahun 2009, 6 juta PRT berasal dari Indonesia. Artinya terjadi peningkatan dan peningkatan ini memang terjadi dari tahun ke tahun.
Kenyataan ini bertolak belakang dengan perkembangan ekonomi Indonesia yang dinilai mengalami meningkatan, bahkan menurut salah satu pengamat ekonomi Indonesia dari Univeristas Indonesia, dalam sebuah seminar ekonomi beberapa waktu lalu, menyebut Indonesia adalah negara yang ‘seksi’ untuk para investor asing, ini dibuktikan dengan masuknya beberapa perusahaan besar internasional diantaranya perusahaan otomotif yang tumbuh subur. Indonesia dinilai merupakan market yang menjanjikan.
Akar Masalah
Pekerja rumah tangga saya yang berasal dari sebuah desa di kota dodol Jawa Barat. Dia bercerita, perempuan-perampuan di desanya menikah mulai usia 13 tahun dan menyandang status janda sebelum usia 20 tahun. Perceraian umumnya di picu karena kekurang dewasaan mereka menghadapi masalah dan faktor ekonomi. Rata-rata pemuda di desa ini bekerja ke kota sebagai kuli dan buruh bangunan. Sedangkan perempuan sebagai buruh tani, bercocok tanam ala kadarnya atau pekerja borongan memayet kerudung atau membuat bulu mata dengan ongkos lima ratus rupiah persatu barang.
Ketika perceraian terjadi atau karena dorogan ekonomi, para perempuan ini memutuskan menjadi pekerja rumah tangga di kota atau ke luar negeri. Walaupun untuk bekerja ke luar negeri mereka harus menggadaikan atau menjual tanah leluhur.
TKW yang sukses bekerja di luar negeri dibuktikan dengan membangun rumah yang besar dan memiliki beberapa sepeda motor. Kesuksesan yang memicu perempuan lain untuk melakukan hal yang sama.
Cerita yang hampir serupa saya dengar dari mama saya sendiri sepulang beliau dari kampung halamannya di Jawa Timur, katanya banyak perempuan sana yang menjadi TKW ke Hongkong dan Singapura.
Negara kita ‘seksi’ tapi kesenjangan sosial di negeri ini pun mengalami peningkatan, begitu kurang lebih sang pengamat ekonomi berkata.
Artinya jurang pemisah antara di kaya dan si miskin semakin dalam. Kemiskinan dan kebodohan.
Perlindungan hukum dari negara dan Berani membuat target
Masalah beragam penyiksaan termasuk pelecehan gaya baru, menganggap tenaga kerja Indonesia sebagai barang dagangan dan bukan manusia seperti dalam selebaran iklan yang beredar di Malaysia adalah karena minimya perlindungan yang diberikan oleh Negara.
Sejatinya sikap tegas pemerintah setiap kali pelanggaran hukum terhadap TKW terjadi bukan sekedar ditunjukkan dengan retorika, hanya dijadikan debat politik dan adu argumen. Tapi diikuti langkah nyata seperti membekali para TKW dengan pengetahuan mengenai hak-haknya sebagai buruh migran dan memberi mereka kemudahan akses melapor jika hak mereka di langgar. Jangan sampai karena alasan politik, pemerintah mengalah secara halus pda negara tetangga padahal persoalan TKW adalah masalah harga diri bangsa.
Langkah kedua, sudah saatnya pemerintah membuat target untuk mengurangi jumlah pengiriman TKW ke luar negeri sertiap tahunnya. Dengan target besar, dalam lima atau sepuluh tahun, tidak adalagi pengiriman TKW ke luar negeri kecuali sebagai tenaga profesional.
Bukan langkah mudah tapi harus berani memulainya karena sebenarnya target penghentian pengiriman tenaga non profesinal ke luar negeri sejalan dengan pembangunan nasional, yaitu mencerdaskan dan memakmurkan masyarakat.
Merentas Harapan
1. Pendidikan murah berkelanjutan dan pencarian bakat
Melanjutkan cerita pekerja rumah tangga saya. Di desanya, sekolah cukup sampai sekolah dasar, karena untuk masuk smp, walaupun gratis, mereka tetap harus membeli buku ditambah lagi untuk mencapai smp terdekat, mereka harus berjalan kaki selama kurang lebih setengah jam.
Sekolah menengah atas adalah kemewahan yang sia-sia karena tidak menjamin mereka mendapat pekerjaan layak.
Dengan pembangunan yang belum merata sampai ke desa-desa, ijasah mereka tentu tak ada artinya terlebih jika ijasah itu di bawa ke kota. Ujung-ujungnya tetap sebagai kuli di kota. Alasan yang logis ketika akhirnya mereka memilih menikahkan anak gadis mereka di usia muda.
Data UNESCO tahun 2011, di Indoensia kelompok usia sekolah, sedikitnya setengah juta anak usia sekolah dasar (SD) dan 200 ribu anak usia sekolah menengah pertama (SMP) tidak dapat melanjutkan pendidikan. Fenomena ini memengaruhi rendahnya education development index Indonesia yakni peringkat 69 dari 127 negara.
Pendidikan gratis atau murah berkelanjutan (sampai jenjang perguruan tinggi) menjadi keharusan di dukung pencarian bakat anak-anak daerah yang berprestasi, tanpa melihat gender, untuk mendapat beasiswa sekolah ke kota besar.
2. Membantu mereka menggali potensi desa dan membangun jiwa entrepreneur
Pekerja rumah tangga saya, sempat terkejut ketika kami menyajikan kacang mete sebagai penganan di hari lebaran. Dan keheranan ketika saya katakan kalau emping terbuat dari buah melinjo dengan proses yang sederhana. Di desanya banyak tumbuh jambu mede liar dan bijinya dianggap sampah. Begitu pun buah melinjo. Giliran saya yang mengerutkan kening, karena kedua penganan itu harga perkilogramnya lumayan.
Setiap daerah memiliki potensi tapi kebanyakan warganya tidak tahu dan di dalam diri mereka pun tidak ada jiwa entrepreneurship.
Ini bukan hanya tugas pemerintah tapi setiap warga Indonesia yang peduli dan memiliki akses dan pengetahuan itu menyebarkannya ke daerah-daerah. Termasuk saya, yang menyarankan prt kami mengumpulkan biji jambu mete yang telah dikeringkan dan saya bersedia menjadi penampungnya.
Membentuk Lembaga Pendidikan Keterampilan agar semua perempuan desa berdaya
Kursus menjahit di daerah umumnya mahal karena jika perempuan bisa menjahit mudah mendapat pekerjaan di perusahaan konfeksi. Tapi kemampuan menjahit untuk membuka jasa menjahit pakaian sendiri bukan pilihan bijak karena ongkos jahit dinilai mahal dibanding membeli baju jadi yang harganya super murah.
Menggerakkan program PKK secara kontinyu dan berkelanjutan ke desa – desa dengan keterampilan yang variatif dan disesuaikan dengan permintaan pasar.
3. Sosialisasi kesehatan reproduksi dan pentingnya pendidikan
Pilihan menikah di usia dini (mulai 13 tahun) selain karena faktor ekonomi juga karena keterbatasan pengetahuan soal kesehatan organ reproduksi. Mereka tidak tahu jika organ reproduksi anak belum siap untuk melakukan hubungan seks, hamil dan melahirkan. Secara psikologis anak pun belum siap berumahtangga, tak heran jika usia pernikahan umumnya pendek. Untuk itu penting mensosialisasikan dampak negatif menikah di usia dini dan ini bisa dilakukan melalui program posyandu.
Kesuksesan seorang warga yang mencari nafkah di kota atau luar negeri umumnya tidak menggerakkan orang tersebut untuk memberikan pendidikan layak (sekolah) pada anak – anaknya. Artinya, sekolah atau pendidikan tidak menjadi skala prioritas walaupun mereka mampu. Hal ini karena mereka masih menggunakan pola pikir lama, bahwa sekolah tetap berujung menjadi kuli di kota. Peran guru menjadi penting yaitu menanamkan pola pikir baru pada anak-anak didiknya bahwa menuntut ilmu sepanjang hayat adalah penting dan dianjurkan dalam agama karena ilmu yang membentuk masa depan mereka, dunia dan akhirat. :: RINASUSANTI.COM