[cerpen] Laba-laba Ingatan

labalaba_langitperempuan

 

Dewi Nova

 

RUANG DINGIN air conditioners di bus menggigitku seperti setan bengis, hingga aku tak bisa tidur. Nyala lampu baca yang kuselipkan di  halaman novel semakin sayu. Aku duduk di kursi nomor 10. Teman  dudukku gadis kurus kuyu yang nyaris seperti mayat. Ia hanya bangun untuk minum air kemasan yang diselipkan di saku jok di hadapannya. Ia tidur memunggungiku, menempelkan mukanya pada jendela. Di luar begitu gelap. Sesekali kulihat batang-batang pohon seperti artis panggung tersorot lampu kendaraan.

Samping kananku gang. Di kursi nomor 11 dan 12 duduk sepasang suami-istri. Kukira mereka dipertemukan lebih dari sekadar kebutuhan biologis atau cinta, tapi juga cita-cita. Ya, cita-cita yang ingin mereka raih bersama. Aku dapat merasakan pada setiap gerak serta cara saling memandang dan bersentuhan keduanya. Sejenis penyatuan yang indah sekaligus mengerikan. Sebab, bila ikatan itu retak atau terlepas, tak hanya cinta yang terbunuh dan tubuh yang kesepian, tapi juga cita-cita hidup yang gugur. Aku merinding membayangkannya. Keduanya teman kerjaku. Aku akan bersama mereka berhari-hari di sebuah resor untuk menyelesaikan sebuah tulisan.

Jalan semakin berkelok-kelok dan bus mulai memanjat punggung bukit. Tak lagi kutemukan nyala lampu dari rumah-rumah penduduk yang kami lewati. Kulihat Imelda tertidur, menyandarkan kepalanya dengan manis pada bahu Aquinaldo. Sesekali sudut mata Aquinaldo mengamatiku, menawarkan jaketnya bila selimut yang kukenakan tak cukup menghangatkan. Aku menolak dengan halus. Aku tak sudi tidur dengan aroma tubuh asing pada jaketnya. Lebih dari itu, ingatan-ingatan buruk seperti setan-setan berkaki laba-laba yang kini memanjat punggung bus. Aku menutup mata rapat-rapat dan menyemangati tubuhku untuk tertidur pulas, seperti mayat hidup di sampingku.

***

Sebotol air kemasan, sebatang cokelat, dan satu tiket bus jurusan Solo diberikan ke padaku. Di sampingnya berdiri Kak Robert dengan senyum hangat. “Kalau ada apa-apa telepon aku, ya. Robert akan menyusulmu esok untuk menemanimu assessment,” kata Mbak Asih.

Kulihat tatapan Mbak Asih sedikit khawatir dan penuh kasih. Seperti tatapan kakak perempuan pada adiknya.

Perjalanan pertamaku dari Jakarta ke Solo tidak terlalu melelahkan, karena mata dan pikiranku tertarik pada hal-hal yang kali pertama kulihat. Kerja lapangan berjalan lancar akibat perkawinan gairahku bekerja dengan ibu-ibu dan kelihaian Kak Robert menangkap kebiasaan setempat, sebagai warisan pengalaman sebelumnya sebagai pastor.

Lama-kelamaan tak hanya Mbak Asih yang kurasa sebagai kakak. Kak Robert juga  demikian. Bahkan ia mengatakan menyayangiku seperti pada adik kandungnya. Kami bertiga menjadi tim yang cocok untuk melakukan penelitian dan memberikan pelatihan-pelatihan di beberapa kabupaten di Jawa Tengah. Mereka juga selalu mengundangku pada acara keluarga, membuatku merasa mendapatkan keluarga baru.

***

Kasuga Baru, tujuan penerbanganku dengan Kak Robert. Udara di lambung pesawat sungguh dingin. Segelas, dua gelas anggur putih tak cukup menghangatkan.

“Kuhangatkan jemarimu,” kata Kak Robert sambil meraih lembut telapak tanganku dan mulai menggosoknya dengan lembut. Aku mematung ragu.

“Ah, kau. Aku kan kakakmu,” katanya.

Aku mencair malu. Rasanya seperti terlampau berprasangka. Aku menepiskan kewaspadaan yang diajarkan ibuku.

Aquinaldo menepuk lembut tanganku. Aku terperanjat dari tidur. “Astagfirullah.…

“Maaf mengejutkanmu. Kita sudah sampai di tempat istirahat,” kata Aquinaldo.

Are you ok?” tanya Imelda dengan khawatir.

“Ah ya… maaf aku hanya terkaget.” 

  ***

Imelda dan aku duduk di meja bundar yang cukup untuk berempat. Aquinaldo membawa baki berisi tiga piring nasi dan sup kambing dengan aroma serai yang kuat. Ia menyajikan dengan terampil, keluar dari kepompong konstruksi laki-laki. Bayangan Kak Robert yang selalu menyajikan makanan untukku setiap kami bepergian, seperti kelelawar setan berkelebat di atas meja makan. Hatiku mengerut.

Aku menegakkan posisi duduk agar tak terbaca pikiranku oleh keduanya. Sia-sia, ilmu dance movement therapy yang kupelajari kini tak bekerja. Hatiku yang mengerut membuat lambungku kecut dan tak nyaman dengan sup yang kutelan.

***

Aku membenci bukit yang seharusnya kucinta. Bukit itu terlalu indah untuk jadi tempat kami bekerja. Daun-daun, seperti ombak, selalu mendorongku mengeluarkan ekspresi cinta. Itu sebabnya kekasihku lebih suka menggambil fotoku di ruang terbuka yang terhubung dengan dedaunan atau laut. Dan Aquinaldo terlalu sering memotretku saat kami serius bekerja. Apalagi saat rehat.

Sekuat tenaga kumatikan gairah akibat daun-daun. Aku tidak mau hal itu terbaca Aquinaldo. Jangan sampai ada salah tangkap. Aku memang bergairah, tapi bukan karena dia, apalagi untuk dia. Itu karena kedekatan perasaanku dengan daun-daun.

Setiap kali Aquinaldo memintaku berpose, aku selalu menarik Imelda untuk berfoto bareng, demi menjaga perasaan kami bertiga. Namun, Imelda lebih sering memintaku berpose sendiri. Suatu kali Aquinaldo meminta berfoto berdua denganku. Aku mematung dan menatap Imelda. Imelda memberi tanda, berfotolah dengannya. Lalu Aquinaldo  meyakinkanku. “Ayolah, aku kan kakakmu,” katanya.

Itu menjadi foto terburuk. Setelah berfoto, aku berlari ke toilet dan muntah-muntah.

***

Akhirnya sampai juga hari terakhir. Aku bernafas lega. Ketika lembayung menyapa hangat dari jendela tempat kami bekerja, aku tersenyum sendiri. Semua pekerjaan rampung. Aku ingin segera kembali pada perjalanan bus malam yang sedingin setan. Sebab, setelah itu aku akan tiba di studioku yang hangat, aman, sendiri, yang akan membuatku lupa pada laba-laba masa lalu.

“Kita kehabisan tiket bus untuk malam ini…” kata Aquinaldo.

Are you ok, kalau tinggal di rumah kami semalam?” tanya Imelda.

Ah, setan belang! Memangnya aku punya pilihan apa? Petang itu alih-alih ke terminal bus, Aquinaldo  membawa mobil yang kami tumpangi ke rumah mereka, di sebuah kota berjarak satu jam perjalanan dari bukit. Sepanjang perjalanan seekor serigala melolong dalam hatiku. Suaranya sangat pilu dan ketakutan.

***

Rumah Imelda dan Aquinaldo seperti keduanya, penuh aroma cinta, lengkap dengan segala intensi. Lebih manis dari madu, lebih mengerikan dibandingkan rumah hantu. Hampir seluruh dinding menjadi  etalase yang memajang barang-barang yang mereka suka. Satu ruangan terbesar dipenuhi tiga jenis kursi yang berpasangan menghadap televisi layar lebar. Satu meja makan dengan ornamen serba berenda dan lampu makan bercahaya madu memberikan suasana hangat. Di pojok ruangan itu terdapat sofa putih bercorak bunga mawar pink, yang akan menjadi tempat tidurku. Ruangan itu terhubung langsung dengan dapur dan kamar mandi.

Suami-istri itu mengajakku ke lantai atas, tempat tidur mereka yang memiliki balkon mungil menghadap kebun. Mereka mengajakku minum seteguk dua teguk red wine sambil melepas lelah. Kami duduk di kursi kayu mungil di balkon. Musim hujan segera tiba. Para katak berkoang-koang dari arah kebun, menyamarkan setiap perkataan Aquinaldo.

Aquinaldo menceritakan apa pun berkaitan sejarah dan akar budaya yang mendekatkan bangsaku dan bangsa mereka. Beberapa kesamaan bahasa hingga bentuk beberapa tembikar dan seni menyamak koleksinya. Entah mengapa aku lebih menikmati suara koang-koang dari arah kebun, walaupun gestur tubuhku seolah memberikan perhatian penuh pada keduanya. Imelda lebih banyak bercerita tentang rumah mereka, bagaimana mereka merancang, siapa menentukan bentuk jendela, dan siapa yang memilih warna cat.

Penceritaan Aquinaldo yang mencari kedekatan akar itu mengingatkanku pada jaring laba-laba yang dibentangkan Kak Robert. Sedangkan rupa ikatan-ikatan yang diceritakan Imelda mengingatkan pada belati yang paling tajam yang dihujamkan Mbak Asih ketika tahu kekasihnya berkhianat. Keduanya hantu terburuk dalam perjalanan hidupku.  

Malam semakin sunyi. Koang-koang dari arah kebun semakin nyaring.

“Besok kita berangkat dengan bus pagi, lebih baik tidur awal…” usul Imelda.

***

Sebenarnya aku tak bisa tidur tanpa pintu terkunci. Namun apalah dayaku, tak ada pintu yang membatasi antara ruangan besar dan kamar mereka, selain tangga. Yang bisa kulakukan hanya memastikan pintu ke arah luar dan pintu ke arah halaman belakang terkunci dengan baik.

Aku menata dua bantal empuk dan tiga lembar kain hangat yang diberikan Imelda. Kudengar langkah-langkah kaki dari arah tangga. Jantungku berdegup kencang. Kuharap itu Imelda.

“Ini aku bawakan senter, jikalau mati lampu,” kata Aquinaldo.

Aku segera menyalakan lampu yang sudah kumatikan dan mengucapkan terima kasih sambil mengambil senter yang diberikannya.

“Kalau ada apa-apa, jangan sungkan-sungkan membangunkan kami,” katanya. Lalu ia mengucapkan good night dan menghilang di tangga tertinggi. Kini langkah-langkah kakinya terdengar persis di atasku yang rupanya sejajar dengan kamar tidur mereka. 

Kalau ada apa-apa, keluhku. Aku sudah menghadapi “apa-apa” sejak di bus keberangkatan. Andai saja aku bisa bergabung dengan bunyi koang-koang di kebun itu dan tak perlu tidur di atas sofa yang tak berpintu sepenuhnya.

Aku berusaha memejamkan mata. Serigala dalam hatiku melolong pilu. Basah air matanya  kini kurasakan menetes pada bantal yang menyangga leherku yang meringkuk.

***

Kasuga begitu dingin. Arsitektur dan interior bangunan-bangunan seperti kubus. Tak ada yang bundar atau berombak. Bahkan kotak makanan pun semua persegi. Setiap makanan ditata sangat rapi. Seni di sini rupanya selalu dilengkapi dengan tata laksana terkait kerapian. Orang-orang begitu sibuk, dingin, dan profesional.

Aku kangen Jakarta yang kotor, orang-orangnya yang ceroboh, feodal, dan sok pintar. Aku butuh makan ketoprak pinggir jalan yang penjualnya bisa kuajak bercakap-cakap. Bukan mesin minuman di depan kamarku yang melayaniku 24 jam tapi tanpa sepatah kata. Dua puluh hari dalam kotak kubus yang supermodern, Kak Robertlah satu-satunya tanda yang memberiku makan pada rasa Indonesia. Bila aku tak bisa tidur, ia menemaniku dan menceritakan bagaimana bertahan pada beda budaya selama perjalanannya menjadi pastor di Eropa yang dingin dan di Afrika yang menurutnya sungguh tak aman. Sekali pernah ia memijatku. Katanya agar saraf-saraf tegangku mengendur dan aku dapat tidur lebih baik. Ia tidak seperti kakak laki-laki, karena saraf-sarafnya saat itu menegang.

“Aku mencintaimu…” bisiknya.

Aku membutuhkannya. Dia satu-satunya gantunganku dan ini kali pertama aku tinggal lama di negeri orang. Kujawab, katakanlah kepada Mbak Asih jika dia telah jatuh cinta pada adik perempuannya.

Jawabanku seperti tinju di kepalanya. Ia menangis menghiba karena tak dapat melakukan itu. Sejak itu aku tahu, kakak lelaki yang hebat itu tak lebih dari remaja belasan tahun yang tak mengerti antara apa yang dipikirkan dan dilakukan.

***

Aku gelisah. Rasanya sofa ini ukurannya sama persis dengan tempat tidurku di Kasuga. Udara malam telah berubah menjadi udara subuh yang lebih dingin. Tubuhku lelah, tapi pikiranku tak kunjung pejam. Aku memaksa mata dan pikiranku untuk terpejam.

Nafas hangat yang memburu membuat bulu kudukku berdiri. Tangan Kak Robert begitu erat memelukku. Aku menggeser tubuhku  ke tepi tempat tidur agar berjarak dengan tubuhnya, dengan nafasnya yang seperti setan. Tubuh besar itu terus mendesakku hingga aku terjatuh ke lantai. Aku terbangun oleh suara air mendidih dari coffee maker. Keringat dingin membasahi tubuhku. Aku begitu takut membuka mata. Aku berharap sosok yang berdiri di dapur itu Imelda, bukan Aquinaldo.

Pelan-pelan kubuka mataku. Kulihat Imelda sedang memasukkan pandesal ke microwave. Aroma kopi yang keluar dari coffee maker menenangkan aku. Terima kasih Tuhan, aku telah lepas dari laba-laba mimpi gelap.

***

Aku berlari ke kebun menghirup udara pagi, meminta pertolongan pada bunga-bunga yang berwarna kuning. Oh Tuhan… beri aku kewarasan dan kekuatan seperti serombongan ilalang tinggi, yang bunga-bunganya begitu kapas, yang berarak-arak di keluasan padang di hadapanku.

 

18 Avenue, Cubao,  25 Desember 2012

 

Pandesal : roti panggang yang diberi garam, dalam bahasa Spanyol

 

Dewi Nova lahir di perkebunan teh, Kabupaten Bandung, 19 November 1974. Menulis puisi, cerpen, esai sosial, liputan jurnalistik dan buku dokumentasi.  Buku kumcernya Perempuan Kopi  (Air Publisher – Pustaka Masyarakat Setara, 2012) dan antologi puisinya  Burung-burung Bersayap (Jaringan Kebudayaan Rakyat, 2010).  Puisi dan cerpennya terbit di harian Bali Post, Serambi Indonesia, Aceh Kita,  Rumah Dunia, Suara kita dan Jurnal Perempuan.    Saat ini ia tinggal di Kota Tangsel, Banten dapat dihubungi melalui .

Leave a Reply