Dr. Herawati Soekardi, Ahli Kupu-kupu Pertama Indonesia

[PARATOKOHLAMPUNG] ~ DIA ahli kupu-kupu pertama di Indonesia. Karyanya bisa kita nikmati di kaki Gunung Betung: Taman Kupu-Kupu Gita Persada. Di kawasan yang asri seluas 4,8 hektar itu, Herawati Soekardi bersahabat dengan ribuan kupu-kupu dari 60-an spesies.

Di antara serangga asuhnya itu ada dua spesies langka. Satu, Troides helena, kupu-kupu besar berwarna hitam dengan rentang sayap 17 cm sampai 21 cm. Ada lagi Spesia: kupu-kupu renda, warnanya oranye.

Konservasinya telah mengantarkan dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung (Unila), ini meraih titel doktor di ITB tahun 2005. “Kecintaan saya pada kupu-kupu dimulai tahun 1997,” kata istri Anshori Djausal, dosen Teknik Unila yang hobi layang-layang, meneliti, dan dunia fotografi.

Boleh dibilang, dia jatuh cinta pada kupu-kupu karena “kecelakaan”. Ceritanya, saat Herawati menjadi ketua penyelenggara Seminar Nasional Biologi oleh Perhimpunan Biologi Indonesia Cabang Lampung pada 1997, ia memesan layang-layang berbentuk kupu-kupu lewat Bang An–sapaan akrab suaminya–untuk penghias ruang seminar. Nah, bentuk layang-layang yang dipesan itu ternyata aneh-aneh: Ada yang seperti capung, burung, setengah capung-setengah kupu-kupu. Pikiran Herawati spontan berputar, “Gimana sih bentuk kupu-kupu yang benar?”

Dari situ ia tergerak untuk berkenalan lebih dekat dengan kupu-kupu. Dibantu Bang An, wanita kelahiran Palembang ini berburu kupu-kupu di taman kampus Unila. Lama-lama ia kian terpesona setelah memotret serta mengamati serangga anggun bersayap warna-warni dan bisa terbang itu.

Dasar peneliti, Herawati makin jauh terjerumus. Ia cari literatur tentang kupu-kupu–bukan cuma di Indonesia, juga luar negeri. Tapi, ia belum puas juga. “Buku-buku yang ada sebatas mendata dan mengenalkan saja, tidak mendalam,” kata ibu empat anak ini.

Ketidakpuasan mendorong alumnus ITB ini melakukan penelitian. Ia amati, potret, dan teliti setiap kupu-kupu yang ditangkapnya. Sebagian diawetkan (untuk dilestarikan). Ia pun tahu bahwa serangga ini punya aneka ragam spesies, warna, ukuran, dan bentuk, serta jenis tanaman inang, pakan, dan perilakunya. Lalu muncul ide menangkarkan kupu-kupu. Ironisnya, ahli serangga yang ia tanyai tidak ada yang bisa menjelaskan secara detail cara menangkar kupu-kupu. Pikirannya berputar lagi, “Negeri seluas ini, dengan aneka flora dan fauna, tidak ada ahli yang dapat menjelaskan soal kupu-kupu?”

Ia pun uji coba penangkaran. Ia buat kandang khusus di rumahnya, di kawasan Way Halim Permai. Setiap spesies kupu-kupu dicarikan tanaman inang dan pakannya. Makin banyak spesies yang dia temukan, makin banyak pula jenis inang dan pakannya. Penangkaran berhasil. Koleksinya pun terus bertambah. Tapi, ada masalah baru: Lahan kurang luas.

Sejak 1997, ia sering pameran, bahkan kerap diminta Dinas Kehutanan Lampung. Nah, suatu ketika Menteri Pariwisata (Marzuki Usman, waktu itu) saat kunjungan ke Lampung memintanya memfasilitasi taman kupu-kupu untuk menaikkan citra pariwisata Lampung. Untuk lokasi konservasi itu, dihibahkan pula tanah 4 hektar di kaki Gunung Betung. Lahan hutan yang sudah rusak itu kemudian disulap Herawati menjadi Taman Kupu-Kupu Gita Persada. “Gita nama anakku, artinya senandung nyanyian alam,” paparnya.

Atas jasanya turut mengembangkan pariwisata Lampung, Gita, penulis buku Kupu-Kupu di Kampus Unila ini menerima penghargaan dari Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Marzuki Usman pada 7 Mei 1999.

Ikon Kupu-Kupu

Sejatinya konservasi kupu-kupu adalah bagian dari upaya pemulihan alam. Konservasi otomatis membantu pemulihan hutan. Tanpa perbaikan habitat, maka rencana konservasi pasti gagal, kata Herawati yang segera meluncurkan buku Metode Penangkaran Kupu-Kupu dan Kupu-Kupu Gunung Betung Lampung.

Sebelum konservasi, Herawati melakukan rekayasa habitat. Tanaman hutan disediakan dahulu. Flora dan fauna itu untuk menunjang ekosistem yang lain. Hipotesisnya, jika di suatu areal dilakukan perbaikan mikrohabitat maka beragam kupu-kupu akan datang untuk berbiak. Jadi, konservasi kupu-kupu dapat dilakukan.

Kawasan penangkaran di kaki Gunung Betung, misalnya. Karena alam di sana sudah rusak, sebelum konservasi Herawati menanam dahulu pohon untuk inang dan pakan kupu-kupu. Uniknya, setiap spesies memiliki satu jenis inang dan pakan, dan tidak bisa dialihkan ke tanaman lain. Misalnya, kupu-kupu yang hidup di pohon sirsak hanya bisa berkembang biak di pohon itu saja. Begitu pula jenis kupu-kupu lain. Di Lampung kini ada tiga lokasi penelitian kupu-kupu. Di Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Ulu Semong (Tanggamus–Lampung Barat) terdapat 180 jenis kupu-kupu, Taman Nasional Way Kambas (TNWK) ada 80 jenis, dan kawasan Gunung Betung punya 121 jenis. “Tapi, tidak ada spesies endemik Lampung, yang ada kupu-kupu khas Sumatera,” ungkapnya.

Dari hasil penelitiannya disimpulan konservasi kupu-kupu tidak mesti dilakukan di daerah pegunungan. Konservasi bisa juga di dataran rendah, rawa, tepi sungai, bahkan di lahan paling kritis sekalipun. Karena keahliannya itu, Herawati pernah diminta mendesain rekayasa habitat guna pengembangan konservasi kupu-kupu asli Sulawesi di lahan eks pertambangan nikel di Soroako, Sulawesi Selatan (2006). Kini 3.000-an orang luar Lampung mengunjungi kawasan konservasi Gunung Betung setiap tahun. Sebagian mereka khusus untuk belajar konservasi agar kemudian bisa dipraktekkan di daerah masing-masing. Ada satu lagi rencana Herawati: Membuat model konservasi untuk tujuan ekowisata. Ia melihat kawasan Way Lalaan, sekitar Danau Ranau, dan Way Kambas sangat baik untuk itu. “Sehingga Lampung bisa menjadi ikon kupu-kupu,” ujar Herawati yang melalui konservasi kupu-kupu di Gunung Betung telah melahirkan beberapa peneliti muda.

BIODATA

Nama: Dr. Herawati Soekardi

Tempat, tanggal lahir: Palembang, 14 Agustus 1951

Agama: Islam Orang tua: M. Ng. Soekardi (ayah) Suaibah (ibu)

Suami: Ir. Anshori Djausal, M. T.

Anak-anak:
– Alia Larasati Djausal
– Meizano Ardhi Muhammad
– Gita Paramita Djausal
– Anisa Nuraisa Djausal

Pendidikan:
– S-1 Biologi ITB, 1978
– S-2 Biologi ITB, 1990
– S-3 Biologi ITB

Judul disertasi: Keanekaragaman Papilionidae di Hutan Gunung Betung, Lampung, Sumatera: Penangkaran serta Rekayasa Habitat sebagai Dasar Konservasi

Moto hidup: Lakukanlah apa saja yang bisa dikerjakan yang bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan.

Karier:
– Guru Biologi di Sekolah Analis Kimia ITB (1976–1978)
– Tenaga Honorer pada Lembaga Pusat Pertanian, Bogor (1978–1979)
– Guru Biologi di SMA Aloysius Bandung (1980–1983)
– Dosen Ilmu Ilmiah Dasar di Fakultas Statistik Universitas Islam, Bandung (1980–1983)
– Dosen di Fakultas Pertanian Universitas Lampung (1983–1990)
– Wakil Ketua Persiapan MIPA Universitas Lampung (1990–1993)
– Dosen di Jurusan Biologi Universitas Lampung (1990–sekarang)

Organisasi:
– Ketua Perhimpunan Biologi Indonesia (PBI) Cabang Lampung 1992–1998
– Ketua Seminar Nasional Perhimbunan Biologi Indonesia 1997
– Ketua Yayasan Sahabat Alam, Lembaga Konservasi Kupu-Kupu, Flora-Fauna, dan Pendidikan Lingkungan bagi Masyarakat 1997–sekarang
– Ketua Taman Kupu-Kupu Gita Persada Lampung 1997–sekarang

Penghargaan:
– Penghargaan Pengembangan Pariwisata Tingkat Nasional tahun 1999
– Penghargaan Kalpataru Kategori Pembina Lingkungan Tingkat Provinsi Lampung tahun 2004

Pengabdian kepada Masyarakat:
– Membuat percontohan hutan masyarakat (hutan ulayat) di beberapa lokasi di Provinsi Lampung
– Pembinaan siswa untuk seleksi Olimpiade Biologi tingkat provinsi 2004

Sumber >> Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 258-261.

http://paratokohlampung.blogspot.com/2008/11/herawati-soekardi-1951-memulihkan-hutan.html

Leave a Reply