Juru Damai, Peran 23 Perempuan Indonesia Di ‘Peace Women Across The Globe’

Kamis, 3 Juli 2008

Judul asli >> Pejuang Perempuan Daerah: ‘Perempuan, Juru Damai dalam Perubahan’

Oleh Nur Azizah (JurnalPerempuanOnline)

1000_Peace_Women_Logo2
(JurnalPerempuan. com-Jakarta) ~ Persoalan-persoalan bangsa ini seperti menuntut para perempuan untuk bangkit dan berjuang melakukan perubahan. Begitu juga dengan para pejuang perempuan yang tergabung dalam jaringan Peace Women Across the Globe. “Sebagai salah satu perempuan yang tergabung dalam Peace Women adalah beban yang sangat berat karena mempunyai tanggung jawab bahwa perempuan harus menjadi juru damai di lingkungan kita, termasuk tingkat dunia,” demikian penjelasan Esti Susanti Hudiono, salah satu anggota Peace Women Across the Globe yang juga Direktur Eksekutif Yayasan Hotline Surabaya.

Dalam Workshop Pertemuan Nasional Peace Women Across the Globe Indonesia, di Hotel Sofyan, Cikini (28-29/6/2008), para pejuang perempuan itu berhasil memetakan beragam persoalan yang menjadi tantangan bagi perjuangan selanjutnya. Sebut saja berbagai isu antara lain: fundamentalisme, modal atau investasi, perebutan sumber daya alam, kekuasaan yang tidak sensitif pada rakyat (militer, pemda, dll) dan pendekatan keamanan, berbagai project-oriented approach, kebijakan tidak berpihak pada perempuan, bencana dan penanganan serta pergantian kepemimpinan pada Pemilu. Di akhir acara mereka juga memasukkan beberapa rencana kerja konkrit sebagai jaringan yang masih dalam proses untuk pengembangannya. Beberapa rencana antara lain menyusun program sesuai dengan kapasitas dan konteks lokalnya, seperti pelatihan kepemimpinan bagi komunitas perempuan desa di Sulawesi Tengah dan Ambon. Selain itu, jaringan Peace Women juga akan meluncurkan program pengembangan bagi kaum perempuan muda mulai tahun depan.

Jaringan Peace Women Across the Globe ini awalnya adalah jaringan yang dikumpulkan pada 2004, ketika terjadi penominasian untuk 1000 perempuan para aktifis HAM dan perdamaian di seluruh dunia untuk ikut dalam penominasian bagi Nobel Perdamaian 2005. Dari Indonesia ada 23 perempuan perdamaian yang masuk dalam jaringan ini.

Sementara itu Yusan Yeblo, anggota asal Papua mengibaratkan bahwa perjuangan perempuan Papua seperti berjalan kaki dan tanpa tahu di mana ujungnya. “Untuk itulah perempuan harus bisa menjadi polisi bagi diri sendiri, karena permasalahan selalu ada dan dapat diatasi dengan perdamaian,” imbuhnya.

Hal yang sama, juga dirasakan para anggota Peace Women lainnya, Aleta Ba’un yang memperjuang penolakan tambang di Mollo, TTS, Nusa Tenggara Timur; Dewi Rana, aktifis komunitas basis dan lingkungan dari Palu; Lily Djenaan dari Swara Parangpuan di Sulawesi Utara; Zohra Andi Baso dari Makassar; Hilda Rollobessy dari Ambon; Samsidar dari Aceh; Yosepha Alomang dari Timika Papua; Hermawati dari Kalimantan Selatan dan lainnya.

Lalu, bagaimana para pejuang perempuan dari berbagai daerah itu sanggup merangsak ke dalam nominasi pencalonan 1000 Peace Women Across the Globe ke Nobel Perdamaian itu? Suster Brigitta Renyaan, Ketua Komisi Perempuan Peduli Keuskupan Ambon ini, mengatakan bahwa nominasi itu bukan permintaan dan keinginan para perempuan daerah, tetapi mereka dinominasikan oleh orang lain yang merekemondasikan nama mereka. “Itu adalah kerja keras dari teman-teman yang aktif bekerja di sekretariat Peace Women Indonesia.”

Untuk informasi lebih lanjut >> www.1000peacewomen.org.

Leave a Reply