[seruan] RUU Pangan Lupakan Hak Perempuan Atas Pangan

Siaran Pers
29 April 2012
[SOLIDARITAS-PEREMPUAN]  ~ Pasal 27 ayat 2 menyatakan: “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Penghidupan yang layak ini termasuk hak kedaulatan rakyat atas pangannya. Pangan adalah hak setiap warganegara dan Negara wajib memberikan pemenuhan terhadap kebutuhan pangan setiap warganya.

Namun hingga saat ini, hak tersebut masih tidak memenuhi prinsip-prinsip yang seharusnya menjadi peran Negara yaitu dilindungi, dihormati dan memenuhi hak warga negara. Persoalan pangan di Indonesia sangatlah kompleks, mulai dari akses terhadap pangan, kontrol Negara terhadap spekulan yang mempermainkan harga pangan, bibit lokal yang terus menghilang, maraknya import pangan, dan masih banyak lagi, yang keseluruhan sangat mempengaruhi produksi, konsumsi, dan distribusi pangan.

Situasi tersebut tidak terlepas dari berbagai perjanjian bilateral dan multilateral yang dilakukan pemerintah Indonesia, yang berdampak pada kehidupan petani, nelayan, masyarakat adat dan secara khusus terhadap perempuan yang sangat dekat persoalan pangan. Liberalisasi perdagangan dengan berbagai perjanjian perdagangan internasional seperti WTO, G-20, FTA, termasuk Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), di mana perjanjian ini adalah perjanjian yang sangat ambisius meliputi perjanjian investasi dan perdagangan. Perjanjian dalam World Trade Organization (WTO) misalnya, mengatakan bahwa Indonesia dapat dikatakan mencapai swasembada pangan, apabila terpenuhi 90% total produksi pangan, sementara , 10% tetap menjadi porsi untuk kepentingan masuknya impor pangan. Perjanjian internasional tersebut, semakin melemahkan dan menghilangkan kedaulatan masyarakat, terutama perempuan, dalam mengelola dan memproduksi sumber-sumber kehidupannya termasuk dalam memproduksi, distribusi dan konsumsi pangannya.

Bahwa kedaulatan rakyat dapat terpenuhi jika Negara mampu memberikan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan atas hak-hak seluruh rakyat Indonesia, termasuk hak-hak perempuan. Tahun 2010, angka kelaparan di Indonesia masih cukup tinggi yaitu 13,8 juta jiwa atau sekitar 6% dari jumlah penduduknya menderita krisis pangan[1] dan 23,2 juta jiwa di pedesaan masih hidup di bawah standar kemiskinan (FAO). Kondisi krisis pangan ini lebih memprihatinkan bagi perempuan dan anak-anak, yang merupakan kelompok paling rentan terhadap situasi kelaparan, bahkan tidak sedikit perempuan dan anak-anak meninggal akibat tidak terpenuhinya hak atas pangan. Data SUSENAS tahun 2007 mencatat kasus kategori kurang gizi mencapai 13 persen dan gizi buruk 5,4 persen, dengan total 18,4 persen dari 18 juta balita. Demikian juga data Departemen Kesehatan yang mencatat adanya 2,5 juta (40,1%) ibu hamil dan 4 juta (26,4%) perempuan usia subur yang menderita anemia. Situasi tersebut sampai saat ini belum terselesaikan oleh negara, bahkan masih terus terjadi secara massif di berbagai wilayah Indonesia, seperti Aceh, Riau, Lampung, Jawa Barat, Jatim, NTT, NTB, Sulawesi Selatan, dan Papua Barat.

Fakta ini jelas menunjukkan bahwa negara telah gagal melaksanakan tanggung jawabnya dalam memenuhi hak perempuan atas pangan. Krisis pangan yang terjadi tidak terlepas dari pola pertanian di Indonesia yang masih berorientasi pada pasar, teknologi yang berdampak pada hilangnya kearifan lokal perempuan dalam penguasaan dan pengelolaan sumber pangan dan meminggirkan akses dan kontrol perempuan dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi pangan sebagai sumber penghidupan perempuan.

Ini semakin diperparah dengan maraknya alih fungsi lahan — lahan produktif ke pemukiman bahkan menjadi perkebunan kelapa sawit, maraknya perkebunan skala besar yang dikuasai oleh perusahaan-perusahan asing  (Eropa dan Amerika) yang berdampak pada meminggirkan kearifan, pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam mengelola bibit, mengkonsumsi, hingga kebebasan untuk menentukan pendistribusian. Situasi ini akan semakin memperkuat ketidakadilan terhadap perempuan, yang saat ini masih berada pada relasi yang timpang dalam sistem partiarkhi.

Persoalan di atas belum terjawab secara eksplisit didalam RUU Pangan. Ini terlihat dengan masih adanya pasal-pasal yang memberikan peluang sektor pangan menjadi komoditas pasar dan berpihak pada sistem pasar global. Tidak adanya pasal perlindungan terhadap industri pangan rumahan merupakan ancaman bagi keberlanjutan industri pangan rumahan yang mayoritas dikelola oleh perempuan. Tidak adanya pasal tentang perlindungan terhadap benih lokal menjadi ancaman terhadap hilangnya pengetahuan dan pengalaman perempuan atas penguasaan dan pengelolaan benih. Bahkan RUU Pangan ini belum meletakkan UU No. 7/1984 tentang Ratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk terhadap Perempuan, dan UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria sebagai dasar yuridis UU Pangan untuk menjamin adanya keadilan sosial dan keadilan gender yang menjamin hak perempuan atas pangan.

RUU Pangan ini, dilihat masih membuka peluang besar bagi perusahaan-perusahaan sektor pangan, yang merupakan bagian dari skema perjanjian perdagangan internasional tersebut. Berbagai strategi telah dilakukan oleh Solidaritas Perempuan bersama organisasi masyarakat sipil dalam mendorong RUU Pangan yang berkeadilan gender, di antaranya menyerahkan naskah akademik RUU Pangan dari masyarakat sipil serta berdialog dengan Komisi IV DPR-RI, pemerintah, termasuk Kaukus Perempuan Parlemen.

Upaya tersebut telah menghasilkan perubahan konsep ketahanan pangan menjadi kedaulatan pangan, namun belum memberikan perubahan dalam perspektif keadilan gender karena pasal-pasal yang terdapat dalam RUU tersebut tidak mencerminkan adanya perspektif gender yang mengakui pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam memproduksi, mengkonsumsi dan mendistribukan pangannya.

Oleh karena itu, kami mendesak Komisi IV DPR – RI untuk:

  • Segera memastikan perspektif keadilan gender dalam RUU Pangan, sesuai masukan dari gerakan perempuan.
  • Draft naskah akademis RUU Pangan versi gerakan masyarakat sipil, dijadikan dasar pembahasan RUU Pangan tersebut.
  • Memberikan informasi yang jelas, tepat, mudah dipahami, dan menjangkau seluruh masyarakat, laki – laki dan perempuan, serta elemen gerakan masyarakat sipil terhadap perkembangan RUU Pangan untuk dapat memberikan masukan, sehingga keadilan sosial dan keadilan gender termuat dalam RUU Pangan tersebut, sebelum menetapkan RUU Pangan tersebut sebagai Undang-undang.

 

Hormat kami,

Wahidah Rustam
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

Kontak:

Ade Herlina
0813 1008 8232

 

[1] World Development Indicator, 2007.

 

Leave a Reply