Stephanie Senna, Anak Indonesia Pertama Raih Emas Olimpiade Biologi

Mau Jadi Dokter, Cari Obat Kanker sang Ibu

stephanie sennaTahun 2006 Stephanie Senna harus pulang ke Indonesia lebih awal dari ajang olimpiade biologi di Argentina. Penyebabnya, sang ibu meninggal karena kanker. Tahun ini di event yang sama gadis kelahiran Jakarta itu mempersembahkan medali emas untuk negerinya.

SEANDAINYA masih hidup, Almarhumah Aliana Suryaman, ibunda Stephanie Senna, tentu sangat bangga akan prestasi anaknya meraih medali emas di Olimpiade Internasional BiologiBersama sang suami, Husen Chandra, sejak awal wanita itu memberikan semangat kepada Stephanie untuk berprestasi di ajang olimpiade biologi. Saat Stephanie mengikuti IBO 2006 di Rio Cuarto, Argentina, misalnya, Aliana sedang sakit. Tubuhnya dijangkiti kanker. Toh, dia merelakan sang anak pergi.

Berkat doa sang ibu, gadis kelahiran Jakarta, 9 Februari 1990 itu, akhirnya meraih medali perak. Namun, belum seluruh programnya berakhir, sang ibu meninggal. Stephanie memutuskan pulang lebih awal untuk menyaksikan pemakaman ibunya.

Setahun kemudian, dalam ajang IBO 2007 Saskatoon, Saskatchewan, Kanada, 16-22 Juli 2007, Stephanie memperbaiki prestasi dengan meraih medali emas.

“Saya bangga. Ternyata kita mampu bersaing dengan negara-negara lain,” ujar Senna saat ditemui di sekolahnya, SMA Ipeka International Christian School, kemarin.

Selain Stephanie, Tim Olimpiade Biologi Indonesia (TOBI) yang beranggota empat orang juga menyabet medali perak lewat Prayudi Utomo, siswa kelas 3 SMAK BPK Penabur 1 Jakarta; serta medali perunggu oleh Roswitha Muntiyarso, siswa kelas 2 MAN Insan Cendekia, Tangerang. Khusus medali emas Stephanie merupakan yang pertama diraih delegasi Merah Putih sepanjang sejarah keikutsertaannya di ajang IBO.

Keberhasilan Stephanie dalam kompetisi yang diikuti 192 siswa dari 50 negara itu tidak dilalui dengan mudah. Bersama tiga anggota TOBI (termasuk Saifurrizal, siswa kelas 2 SMAN 2 Pare, Kediri, yang tidak mendapat medali), Senna harus menyelesaikan berbagai soal yang terdiri atas dua kategori (teori dan praktik).

Soal kategori teori terdiri atas pilihan ganda dan isian pendek. Sedangkan untuk praktik, TOBI harus menyelesaikan soal-soal dari empat tema, yaitu: animal anatomy, systematic dan ecology; plant anatomy dan physiology; genetic; serta biochemistry, cell, dan molecular biology. Dari empat tema tersebut, yang tersulit adalah tentang genetika. Keempat anggota TOBI tidak ada yang bisa menyelesaikannya.

“Untungnya, tim yang lain juga sama-sama nggak bisa,” kata Stephanie lantas tertawa. Dia mengatakan, lawan terberat adalah dari Thailand, Tiongkok, dan Amerika Serikat.

Sejak IBO dibuka oleh rektor Universitas Saskatchewan bersama wali kota Saskatoon, pada Senin (16/7), enam pembina TOBI melakukan diskusi soal-soal eksperimen (praktikum) dari empat tema itu. Diskusi dan penerjemahan soal berlangsung sembilan jam. Esoknya, Selasa (17/7), para siswa melakukan tes praktikum. Setiap tema tes diselesaikan 90 menit.

Rabu (18/7/2007), para pembina kembali melakukan diskusi dan penerjemahan soal teori yang terdiri atas dua bagian selama sekitar 13 jam. Tes teori pertama dilaksanakan selama 2,5 jam dan dilanjutkan dengan bagian kedua selama 2 jam.

Stephanie benar-benar gembira ketika diumumkan menjadi pemenang medali emas. “Inginnya sih mengibar-kibarkan bendera (Merah Putih) di panggung. Tapi, malu,” ujar sulung dari dua bersaudara ini tersipu.

Mengenai ketertarikannya terhadap biologi, kakak dari Kevin Sennatra itu mengungkapkan, ilmu biologi merupakan ilmu yang paling nyambung dengan makhluk hidup. “Saat saya di kelas kemudian melongok ke jendela, sudah bisa lihat objeknya,” katanya.

stephanie_senna2Dia pun amat berkeinginan bisa melanjutkan kuliah ke fakultas kedokteran. “Katanya di Universitas John Hopkins, Amerika, fakultas kedokterannya bagus. Tapi, saya masih cari beasiswa,” katanya.

Meski sering berprestasi, Stephanie bukan termasuk anak yang terlalu asyik belajar. Dia juga tidak pernah mengikuti les (privat) khusus. Semuanya dia dapat dari materi di sekolah, baik di kelas maupun pelatihan. “Bahkan, ketika jeda tiga hari selama pelatihan di ITB, dia mengajak saya nonton bioskop. Kelihatannya nyantai banget. Saya malah sempat berpikir bagaimana bisa juara, ternyata malah juara. Benar-benar puji Tuhan,” kata Husen penuh rasa syukur.

Sebagai orang tua, Husen memang tidak memaksakan anaknya untuk terus-menerus belajar. Namun, dia tak pernah berhenti mengingatkan Stephanie jika menginginkan sesuatu harus ada konsekuensinya. “Kalau mau juara, ya harus mau kerja belajar keras,” kata pria 52 tahun itu.

Ditemui di tempat yang sama, Kepala SMA Ipeka International Luciana Lazuardi mengakui, Stephanie.sudah menunjukkan bakat sejak duduk di bangku SMP Ipeka International. “Karena prestasinya, sejak di SMP kita bebaskan dia dari membayar uang sekolah,” ujarnya.

Selama ini, kata Luciana, sekolah memfasilitasi Stephanie dengan mengikutkannya dalam berbagai pelatihan dan kompetisi. “Dia yang hebat, jadi kami hanya mendukung,” ujarnya merendah.

Setelah memenangi IBO 2007, aktivitas Stephanie makin padat. Pada Agustus ini, misalnya, dia hanya masuk sekolah tidak lebih dari 10 hari. Pada 3 Agustus lusa dia harus bertolak ke Taiwan untuk mengikuti konferensi ilmu pengetahuan (5-12 Agustus) dan akan bertemu peraih nobel bidang science. Dia akan berangkat bersama sembilan pemenang olimpiade internasional lain dari Indonesia yang dipimpin Yohanes Surya.

Lalu, pada 19-28 Agustus, dia mendapat undangan dari Departemen Luar Negeri untuk menjadi duta belia tingkat ASEAN. Padahal, di sekolahnya, pada 6-19 akan diadakan trial (semacam persiapan menghadapi ujian). “Itu artinya, dia harus menyelesaikan trial-nya dalam waktu 13 hingga 18 Agustus,” jelas Djoharli Samsudin, wakil kepala sekolah.

Menurut Djoharli, keinginan Stephanie melanjutkan kuliah di kedokteran tidak terlepas dari meninggalnya sang ibu karena penyakit kanker pertengahan tahun lalu. “Mungkin dia ingin mencari obat untuk penyakit itu,” katanya. (*)

Sumber: Jawa Pos, 1 Agustus 2007

Leave a Reply