‘Ureung Inong’, Sumber Ketegaran Aceh Untuk Bangkit

Oleh Amalia Soemantri
 

'ureung inong', orang perempuan
‘Ureung inong’, orang perempuan. 

“Wanita Aceh melebihi kaum wanita bangsa-bangsa lainnya dalam keberanian dan tidak gentar mati bahkan mereka pun melampaui kaum lelaki. Bukan sebagai wanita yang lemah dalam mempertahankan cita-cita dan agama mereka, menerima hak asasi di medan juang dan melahirkan anak-anak mereka di antara dua serbuan penyergapan.”

(Sebuah ungkapan kekaguman HC Zentgraff, seorang kopral marsose veteran Perang Aceh, dalam bukunya ‘De Atjeh’)

Ureung inong dalam bahasa Aceh berarti ‘orang perempuan’. Tidak bisa dipungkiri sejarah Indonesia mempunyai catatan panjang heroisme para ureung inong ini. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang berani dan tidak pantang menyerah melalui kondisi yang terburuk sekalipun. Berada di posisi pendamping suami dalam perjuangan bukan berarti tidak memiliki peran signifikan. Ini juga terbukti pada kemampuan mereka bertahan dan melanjutkan perjuangan setelah para suami ditahan atau gugur di medan perang. Sederet nama antara lain Tjut Nya Dien, laksmana perempuan pertama Malahayati, Tjut Mutia dan lain-lain adalah nama-nama pahlawan perempuan yang tidak diragukan memegang peranan penting dalam sejarah perjuangan Aceh.

Pada masa sekarang, perempuan Aceh tidak bisa dikatakan telah berhenti berjuang. Seperti kita ketahui Aceh mengalami kondisi buruk akibat konflik puluhan tahun, dalam masa tersebut tercatat kurang lebih 51.000 anak terlantar dan 14.000 perempuan menjadi janda (Acehkita, Oktober 2004). Ini adalah sebuah fakta bahwa perempuanlah yang paling menderita. Tetapi pada masa sulit itu, mereka justru terbentuk menjadi figur yang kuat. Selain bertahan atas berbagai kekerasan, mereka mengambil alih peran untuk menafkahi keluarga dengan melakukan berbagai cara seperti bertani, berdagang, berkebun atau pekerjaan lain. Meskipun tradisi Aceh juga membuat perempuan Aceh seperti berada di balik layar karena kecenderungan menyerahkan pengambilan keputusan kepada pihak laki-laki.

Ketegaran para inong kemudian teruji lagi ketika bencana tsunami datang dan meluluhlantakkan berbagai aspek kehidupan. Banyak di antara mereka yang selain harus kehilangan suami, anak, anggota keluarga dan sahabat, juga kehilangan seluruh harta benda. Tidak ada pilihan mereka terpaksa melanjutkan hidupnya sebatang kara.

Zaenah

Zaenah adalah salah satunya, perempuan berusia 45 tahun yang tinggal di dusun Suak Pantebrueh, Samatiga, Aceh Barat ini harus bertahan hidup sendiri. Bermodalkan ketrampilan yang mereka miliki sebelum tsunami terjadi, beberapa perempuan Aceh berusaha menata kehidupannya. Seperti yang dilakukan pada masa konflik, mereka melakukan berbagai cara untuk menafkahi keluarga atau mendukung perekonomian keluarga. Tak pelak lagi berarti harus menyisihkan jauh-jauh kepahitan dan trauma karena kehilangan, agar proses perbaikan hidup berjalan dengan baik.

“Kondisi saya sekarang sudah hampir sama dengan kondisi sebelum tsunami dalam masalah pekerjaan dan pendapatan. Ketidaksamaannya karena sekarang tidak ada keluarga. Tetapi dengan bekerja saya bisa sedikit melupakan keluarga yang kini sudah tidak ada di samping saya.” Begitu ungkap Zaenah setelah kembali berkarya membuat hiasan tradisional Aceh dari benang emas dan benang perak.

Sambil menunggu rumah permanennya selesai dibangun, Zaenah beserta 11 perempuan dari desa Suak Pantebreuh membentuk kelompok menyulam dengan nama ‘Bungong Jaro’. Working Group YTBI Aceh Barat, sebagai mitra lokal YTBI, membina 5 kelompok yang beranggotakan perempuan, dengan bidang usaha menyulam, dagang kue, dan kios. Partisipasi perempuan tidak hanya di kelompok khusus perempuan saja, para perempuan tersebar juga di delapan kelompok lain yang beranggotakan campuran dengan bidang usaha ternak dan dagang.

Zaenah, dan anggota kelompok lain menguasai keterampilan menyulam sejak remaja. Sebelum tsunami, rata-rata mereka hanya menjadikan kegiatan ini sebagai usaha sambilan. Keluarga Zaenah sebelumnya ditopang oleh pendapatan suaminya dari hasil bertani. Sekarang, dari hasil penjualan sulamanannya, yang kurang lebih Rp 750.000 per bulan, Zaenah sudah dapat mencukupi biaya hidupnya. Karena itu kelompok ‘Bungong Jaro’ sangat ingin usaha ini berkembang. Mereka terus melakukan pertemuan setiap bulan, selain untuk mengembangkan motif-motif baru dan mendiskusikan masalah yang dihadapi, juga untuk memperluas jalur pemasaran.

Rosmalita

Pengembangan usaha di kelompok khusus perempuan juga terjadi di kelompok pembuat kue ‘Srikandi’ di desa Lhok Boubon, Samatiga, Aceh Barat. Kelompok beranggotakan 15 perempuan ini tidak patah arang ketika penjualan kue menurun karena berkurangnya pangsa pasar setempat.

Rosmalita (35) salah satu anggotanya, cepat mengubah usahanya dan beralih menjadi pedagang kebutuhan bahan pokok dan kebutuhan rumah tangga. Setelah berjalan selama 5 bulan, toko kelontong yang semula kecil telah berkembang dengan variasi bahan dagangan semakin beragam. Penghasilan yang diperoleh per bulan rata-rata sebesar Rp 500.000, tetapi ini tidak membuatnya serta merta meninggalkan usaha pembuatan kue. Bisnis yang didasarkan pada ketrampilan yang telah dimilikinya sejak remaja itu, terus dijalankan jika ada pesanan khusus. Menurut penuturan ibu dari satu anak laki-laki ini, banyak anggota kelompoknya melakukan hal yang sama untuk dapat bertahan.

Selain di wilayah Aceh Barat, OPPUK (Organisasi Penguatan dan Pengembangan Usaha-usaha Kerakyatan), mitra lokal Yayasan Tanggul Bencana Indonesia (YTBI) di kecamatan Teunom, Aceh Jaya, juga melihat para ‘ureung inong’ sebagai kekuatan. Keanggotaan perempuan tersebar di 76 kelompok di 18 desa dampingan OPPUK, dan dipastikan di setiap desa minimal terbentuk satu kelompok dampingan khusus perempuan dengan usaha dagang kios. Usaha ini dipilih berdasakan pada jenis usaha yang sesuai dan dikuasai perempuan di desa itu sebelumnya. Penguatan masyarakat oleh OPPUK berusaha untuk selalu menjaga keseimbangan gender dalam menyentuh masyarakat binaannya, tanpa melakukan pembedaan kesempatan bagi laki-laki maupun perempuan.

“OPPUK tidak hanya berusaha melibatkan perempuan dalam aktivitas dampingan tetapi juga berusaha meningkatkan kemampuan leadership mereka, seperti misalnya mempercayakan koordinator kelompok kepada perempuan,’ kata Herwin Nasution, Direktur Eksekutif OPPUK.

Julinar

Contohnya Julinar (37), penduduk desa Teupin Ara, adalah salah satu dari anggota kelompok ‘Karya Ureung Inong’ yang anggotanya terdiri dari 16 perempuan. Pilihan untuk bergabung didorong semangat bisnisnya yang ternyata tidak hilang walaupun gelombang air telah menyapu kiosnya. Julinar beserta keluarganya tidak berlama-lama tinggal di barak tetapi segera kembali ke desa dan membangun rumah sederhana dari sisa-sisa puing tsunami. Setelah itu tanpa menyia-yiakan waktu, ia pun mulai berdagang dengan modal yang didapat dari penjualan kelapa yang jatuh dari pohon. Sekarang, selain usahanya telah berkembang, Julinar juga mendapatkan pengetahuan dalam pengelolaan bisnis seperti administrasi keuangan dan pembukuan. Tetapi yang tak kalah penting juga adalah memperoleh kemampuan dalam pengelolaan organisasi, dengan berorganisasi maka diharapkan kelompok ‘Karya Ureung Inong’ mampu menyelesaikan masalah internal kelompok maupun lingkungan sekitar.

Selain di Teupin Ara, peran perempuan Aceh terlihat jelas di desa Batee Ro. Kelompok khusus perempuan yang terbentuk bukan hanya kelompok kios, melainkan juga kelompok pertanian. ‘Saree Tamita’ beranggotakan 10 perempuan yang sebelum tsunami telah memiliki lahan. Sebagian besar dari mereka telah menjanda karena tsunami. Kelompok ini bertanam semangka dan cabai, dan melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan laki-laki dalam bertani; mulai dari mencangkul, menyiangi tanah, menanam, memanen dan memasarkan hasilnya. Walaupun kondisi lahan, hama dan merosotnya harga komoditi pertanian menjadi kendala utama pada masa tanam pertama, tetapi terbukti mereka masih bersemangat untuk terus menggarap lahannya.

Proses pembangunan kapasitas (capacity building) oleh dua mitra YTBI di Aceh Barat dan Aceh Jaya tersebut, bukannya tanpa kendala dan tantangan. Salah satu kendala utama adalah tradisi perempuan Aceh yang berkecenderungan untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada laki-laki dan hanya menjadi pengambil keputusan jika berada dalam posisi pengganti. Apakah tradisi ini masih relevan sekarang?

Masa dua tahun pembangunan dan pemulihan Aceh, kekuatan figur dan semangat ‘ureung inong’ sekali lagi menjadi tonggak yang kokoh. Tetapi pada masa ini, tantangan perempuan Aceh tidak hanya pada bagaimana dapat bertahan, lebih penting adalah bagaimana dapat memiliki inisiatif dalam proses menentukan arah perbaikan di berbagai aspek kehidupan.

Catatan panjang sejarah perjuangan perempuan Aceh sepertinya masih harus terus berlanjut. Mungkinkah tantangan untuk ‘ureung inong’ ini terjawab? Semoga.

Sumber: Yayasan Tanggul Bencana Indonesia (YTBI) >> www.ytbindonesia.org | 20 Juni 2007

Leave a Reply