Hukum Adat ‘Givu’ Disoalkan Teater Perempuan Sulawesi Tengah

Drama Ngata Toro, 2007

[KELOLA + GONG.FARDAN] – Di tengah kesunyian, seorang gadis pincang berjalan sambil membawa tumpukan piring ke pinggir sungai. Di sana ia mencuci piring-piring kotor dan tak lama kemudian, seorang rekannya datang, terjadilah dialog senda gurau. Sungai yang berada di pinggir ngata (kampung atau desa dalam bahasa etnis Kulawi) itu bukan saja tempat mencuci dan mandi, tetapi juga menjadi ruang interaksi sosial antarwarga, termasuk para gadis-gadis ngata.

 

Selain sungai, sebuah pohon beringin raksasa di pinggir pemukiman penduduk juga menjadi tempat gadis-gadis berkumpul, sekaligus tempat mereka bekerja membuat kerajinan kulit kayu beringin untuk dijadikan pakaian. Rutinitas perempuan-perempuan ngata setiap hari terlihat melakukan aktivitasnya di bawah pohon beringin yang rindang. Bahkan di situ juga mereka memasak sehari-hari, hal ini digambarkan berulang-ulang. Di bawah pohon itu gadis-gadis mencurahkan isi hatinya, soal cinta tentunya dan dari sini pula pergunjingan disebarkan. Di situ pulalah benang cerita digerai kepada penonton.

 

Pementasan ini dipersembahkan oleh Anny Tambero, 38 tahun, seorang sutradara teater dan pimpinan Komunitas Seni Perempuan (KSP) Paludalam di Taman Budaya Sulawesi Tengah bulan Desember 2007. Anny berupaya menggambarkan sehidup mungkin suasana Ngata Toro, sebuah desa tua dan terpencil di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, sekitar 80 km selatan Kota Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah. Ngata Toro diangkat karena merupakan salah satu dari segelintir sisa masyararakat adat yang masih berpegang pada kearifan budaya lokal dengan tatanan adat-istiadat yang menempatkan perempuan sebagai pengambil keputusan utama.

 

Desa adat Ngata Toro, Sulawesi Tengah (2)

 

Dari adegan ke adegan terlukis suasana pedesaan yang di dalamnya menghadirkan warga perempuan yang sangat mendominasi berbagai ranah kegiatan desa, termasuk sebagai penghasil kain yang terbuat dari  kulit kayu yang ditempa di atas balok sebagai pengalas. Praktis suasana pengrajin kulit kayu itu selalu gaduh dengan bunyi-bunyian yang syahdu dan kompak setiap memukul-mukulkan alat toki pada kulit kayu. Suara-suara yang dihasilkan itu menjadi instrumen yang mewarnai tata bunyi selain adanya iringan musik yang ditangani penata-suara Fahmi dan Rocky di balik panggung.

Pertunjukan yang terlaksana berkat dukungan Hibah Seni dari Yayasan Kelola ini dimainkan oleh delapan pemeran yang semuanya perempuan. Berikut adalah peran-peran dan para pemainnya: Lingkumene dimainkan Dian Novita Hamid, Tiloigi (Nur Dewi Deta Tahir), Tite (Fitri Tola Gauk), Nculuri (Andi Nola Mariasse), Ngkamumu (Mojtahida), Mavwa (Indah Latif), Ngenta (Indira Hatim) dan Mpiku (Rama Hi Lolo).

 

Ini adalah sebuah cerita tentang seorang perempuan yang harus menerima givu (sanksi adat) yang dijatuhkan kepadanya oleh para pemuka adat, di sebuah dusun terpencil yang dipimpin oleh para sesepuh perempuan. Hukuman adat itu ia terima karena dirinya hamil di luar perkawinan. Sesuai dengan tata adat yang berlaku, Tite harus diadili oleh dewan pemuka adat yang terdiri atas para perempuan sesepuh pada suatu acara yang dipimpin oleh ‘ibu adat desa’, yang kebetulan adalah ibu kandungnya sendiri.

“Demi tegaknya hukum ngata kita, saya Lingkumene, tidak melihat dia sebagai darah daging saya tapi dia adalah orang yang telah melanggar dan menginjak-injak hukum yang kita junjung,” demikian kalimat yang dilantangkan oleh seorang Lingkumene.

 

Dalam naskah “Ngata Toro” ini, penulis sengaja mengangkat masalah hukum adat untuk mengajak masyarakat meninjau kembali perangkat-perangkat hukum yang ada dan menilai sejauh mana sanksi-sanksi itu memberi keadilan kepada perempuan. Ganjaran givu yang paling berat di Sulawesi Tengah adalah Givu Rahaha, yaitu suatu bentuk hukuman mati dengan menyayat-nyayat tubuh terhukum dengan parang. Bentuk givu lain yang amat ditakuti adalah Givu Rabangka, yaitu hukuman mati dengan menenggelamkan terhukum ke dalam air sungai.

Givu
yang diangkat pada cerita “Ngata Toro” adalah yang dianggap paling ringan, yaitu Givu Noanadole berupa hukuman diusir keluar dari desa untuk selamanya. Tite sebagai korban kekerasan dianggap berbuat aib, dikucilkan dan dibiarkan menanggung sendiri anaknya. Nilai keadilan hukuman ini seakan dilempar sebagai umpan bagi penonton untuk merenungkan kembali hukum-hukum yang berlaku di sekitar kita sekarang.

Yang juga patut dicatat dari pementasan ini adalah kreativitas tata suara oleh Fahmi dan Rocky yang menggunakan bunyi-bunyian yang digunakan oleh para perempuan pada adegan mereka membuat kain kulit. Mereka bolak-balik menetak kayu sehingga melahirkan bunyi-bunyian dinamis, dipadu dengan suara alu lesung beradu serta suara beras ditapis.

Kuatnya hukum adat pada sendi-sendi kehidupan masyarakat desa tercerminkan dengan pada kalimat Lingkumene saat meninggalkan rumah adat, “Tiloigi, siapkan segala sesuatunya untuk upacara pengusiran Tite, dia harus membayarnya dengan Givu Naunadole, meskipun itu sama artinya saya kehilangan anak kandung saya.” Ia berdiri di atas tangga, membiarkan Tite menangis di bawah kakinya. “Siapa pun dia, bila telah berani melanggar aturan adat, dia harus membayarnya dengan givu yang telah ditetapkan.” Ia melangkah tegar meninggalkan rumah adat, diiringi nyanyian kepedihan.

Disarikan dari:
http://www.kelola.or.id/newskata.asp?idT=2&id=110&bhs=I
http://www.gong.fardan.web.id/index.php?option=com_content&task=view&id=20&Itemid=32

Leave a Reply