Maria Filiana Dampingi Korban KDRT Sejak SD

Maria Filiana Tahu - Yabiku[TIMOREXPRESS] – Memutuskan untuk hidup bersama para korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bisa menjadi hal berat yang sulit dijalani sebagian orang. Namun tidak demikian bagi sosok Maria Filiana Tahu. Berbekal pengalaman hidup yang dialaminya, Maria Filiana Tahu justeru merasa terpanggil untuk mempersembahkan hidupnya bagi para perempuan dan anak-anak yang mengalami korban kekerasan.

Tidak hanya itu, perempuan yang akrab disapa Fili ini telah mendirikan sebuah lembaga sosial, yakni Yayasan Amnaut Bife Kuan (Yabiku). Melalui lembaga inilah, Fili secara total mengabdikan diri untuk membantu para korban kekerasan.

Tentu Fili punya alasan. Dalam sebuah wawancara bersama Timor Express, Jumat (11/1/2013) lalu di Kefamenanu, isteri dari Hendrikus Wisang itu mengurai berbagai hal yang menjadi dasar pemikirannya ketika memutuskan untuk terlibat dalam kegiatan kemanusiaan tersebut. Mulai dari pendamping perempuan dan anak hingga pengalamannya ketika masih kanak-kanak dulu.

Sejak SD ikut Ibu dampingi napi

Perempuan kelahiran Kefamenanu, 14 Desember 1972 itu memang cukup familiar dengan para korban KDRT karena sang ayah merupakan pegawai Lembaga Pemasyarakatan. Sehingga Fili dibesarkan bersama para narapidana dengan berbagai persoalan yang mereka hadapi. Ketika beranjak dewasa, yakni saat duduk di bangku Sekolah Dasar dan SMP, dirinya mulai terlibat dalam pendampingan terhadap para narapidana (napi) khususnya kaum perempuan.

“Saya beberapa kali mendampingi ibu saya, Rosalinda Tnunai, untuk memberikan penguatan kepada para napi perempuan. Sejak saat itu, saya mulai mengerti terutama saat saya duduk di bangku SMP,” kata Direktur Yabiku yang telah menerima beberapa penghargaan itu.

Dirinya saat itu mulai menilai bahwa setiap perempuan yang masuk penjara bukan karena keinginannya untuk melakukan perbuatan tersebut. Namun karena beberapa alasan mendasar. Hal ini diungkapkan Fili sesuai ceritera yang diperolehnya dari para napi perempuan. Sejak saat itulah dirinya lalu menilai, setiap tahanan butuh teman curhat. Pasalnya, jika tidak demikian, para tahanan bisa melakukan hal yang lebih fatal dari sebelumnya.

Yabiku - Timor - NTTKukuhkan cita-cita dalam lembaga

Beberapa hal tersebut yang mendorong dirinya mendirikan Yabiku tahun 1999 lalu. Bahkan yayasan yang dipimpinnya itu telah mengantongi legalitas sebagai sebuah yayasan pemberdayaan perempuan dan anak sejak 2009 dan disesuaikan dengan Undang-Undang Yayasan tahun 2011.

Pelajaran berharga memang telah tertanam dalam benaknya sejak kecil. Sehingga panggilan untuk menjadi relawan sudah dijalaninya sejak duduk di bangku SMA. Bahkan ibu dua anak itu tidak sangat tidak ingin menerima perlakuan kasar dari siapa pun.

Apalagi melihat kaumnya diperlakukan kasar oleh orang lain. “Setelah mengerti, saya mulai berpikir bahwa ada banyak cara untuk menyelesaikan semua persoalan yang dialami korban kekerasan. Maka setelah tamat SMA, saya mulai bekerja menjadi relawan. Hobby saya suka menguping setiap persoalan termasuk memberikan masukan atau solusi yang baik. Saat itu saya selalu pro kepada perempuan,” katanya lagi.

Penampung pengungsi Timor Timur

Keinginan untuk menjadi relawan ibarat gayung bersambut. Pasalnya, ketika terjadi eksodus warga dari Timor Timur tahun 1989, dirinya terlibat langsung dalam penyelamatan terhadap para ibu dan anak-anak dalam pengungsian.

Tak pelak lagi, tempat tinggal orang tuanya di Kefamenanu dikelilingi pengungsi. Sejak saat itulah, alumni S2 bidang Hukum itu tahu dengan jelas kesulitan para ibu dan anak yang hidup di pengungsian. “Guna menangani para ibu dan anak korban pengungsian, ada jaringan untuk perempuan dan anak. Saya pun bergabung dan pekerjaan saya saat itu adalah menginvestigasi kasus anak dan perempuan,” kisah Fili.

Hal yang sama kembali dialami tahun 1999 ketika terjadi eksodus besar- besaran pasca jejak pendapat dimana pro kemerdekaan dinyatakan menang. Dirinya kembali bekerja dan semua kamp pengungsian di datangi dengan tujuan bertemu para ibu serta anak yang tertampung di dalam tenda-tenda darurat.

“Saya juga jadi pembicara sekaligus melakukan investigasi berkaitan dengan pelanggaran HAM. Sejak tahun 2000, saya mulai terlibat dengan tim kemanusiaan Timor Barat. Saya pun dipercaya melaunching publikasi hasil investigasi dan didampingi beberapa aktivis HAM senior di Jakarta seperti Munir,” ujarnya lagi.

Fili panggilan Maria Filiana Tahu_YabikuJadi aktivis bukan proyek berjangka

Dengan berbagai pengalaman sebagai relawan serta pengalaman peribadinya, Fili mulai menemukan jawaban atas panggilan jiwanya. Bahkan nilai uang bukan menjadi ukuran baginya dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.

Risiko serta ancaman bahaya yang menghadang bukan menjadi halangan. Namun dengan penuh keyakinan dan niat yang tulus, Fili terus mengkampanyekan anti kekerasan terhadap perempuan di wilayah kabupaten Timor Tengah Utara.

“Menjadi aktivis itu bukan proyek yang punya jangka waktu karena selalu saja ada kekerasan tanpa kejelasan waktu. Jiwa yang ada itu adalah relawan. Saat ini anggota tetap saya ada 18 orang. Sementara relawan atau para legal yang ada di desa sebanyak 20 orang. Dan, saat ini ada di dua Kecamatan, yakni Kecamatan Insana Tengah dan Kecamatan Miomaffo Tengah,” jelasnya lagi.

Di akhir wawancara, Fili tidak lupa mengajak kaum perempuan untuk terus berusaha membuat keputusan untuk dirinya sendiri atau berjuang keluar dari kesulitannya. Dan, perempuan harus menjadi pembantu untuk sesama perempuan yang mengalami hal naas. Semua itu, kata dia, karena perempuan bisa melakukan sesuatu yang luar biasa. Hanya saja kaum perempuan selalu ragu untuk melakukan yang terbaik bagi dirinya. :: TimorExpress.com/Gatra Banunaek

CURICULUM VITAE

Nama: Maria Filiana Tahu, S. Sos, M. Hum. TTL : Kefamenanu 14 Desember. 1972. Suami : Hendrikus Wisang Anak : Maria Conceta Consalia dan Revalino Alberto. Jabatan: Direktur Yayasan Amnaut Bife Kaun (Yabiku).

Pendidikan

SD : 1986. SMP: 1989. SMA: 1993. S1 Administrasi Negara 2008 S2 Hukum 2012.

Penghargaan Pribadi

-Dari Pemerintahan Timor Leste saat bekerja sebagai statemen teker untuk tahanan politik dan narapidana politik di TLS (2005)

-Penghargaan Pemerintah Provinsi NTT sebagai pemilik yayasan terbaik (2006).

-Penghargaan dari Save the Children karena perhatian untuk anak- anak putus sekolah (2007)

-Penghargaan sebagai salah satu peranncang draf konferensi anti diskriminasi Racisme dan Seno Phobia dunia di India, Teheran (2001).

sumber >> http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=53704

 

 

Leave a Reply