Munculnya Para Komedian Perempuan

komedian_pr_tempoia[TEMPO Interaktif] ~  Tak banyak komedian perempuan di dunia hiburan kita. Dari dunia lawak kita, ada figur-figur seperti Jujuk, Nunung, dan Rohana dari Srimulat. Dari dunia ketoprak di Yogya ada Yati Pesek. Di Jakarta pernah ada almarhum Ratmi B 29. Dari dunia bisnis hiburan televisi ada Tika Panggabean dari kelompok Project Pop. Namun, mereka semua tumbuh besar dalam sebuah kelompok yang mayoritas berisi komedian pria. Jujuk misalnya, melambung ketika berduet dengan Gepeng. Tapi, dari Solo, kini muncul komedian perempuan dari dunia tari. Itulah kelompok Sahita yang seluruh anggotanya alumnus Sekolah Tinggi Seni Indonesia.

Para anggota Sahita jelas memiliki kemampuan penguasaan tari Jawa yang andal. Mereka mengembangkan bentuk teater tari dengan banyolan dan tembang-tembang. Dagelan mereka cukup cerdas. Malah ketika sedikit-sedikit nyerempet hal-hal yang “saru”, jadi tak terlalu klise.

Pertunjukan di Salihara berjudul Gathik Glinding adalah bukti bagaimana mereka mampu mengembangkan banyolan itu. Poster raksasa yang “porno” menjadi latar pertunjukan mereka. Gambarnya bisa memerahkan muka pendukung Undang-Undang Pornografi. Poster itu menampilkan potret dua relief tentang kelamin dari Candi Sukuh di lereng Gunung Lawu, Karanganyar, yang diperbesar, yaitu potret patung dengan tangan menggenggam falus yang tegak berdiri dan foto relief lingga bertemu yoni.

Penggagas poster “porno” itu adalah Gunawan Maryanto, penulis yang aktif di kegiatan Teater Garasi. Ini pertama kalinya Gunawan dan Sahita bekerja sama. “Dekorasi itu berkaitan dengan teks keseluruhan, yaitu relasi lelaki dan perempuan,” kata Gunawan.

Pentas dibuka dengan anggota baru Sahita, Ira Kusumoasri, yang melantunkan syair Kayon Blumbangan. Syair ini menggambarkan tentang filsafat: kemunculan hal-hal baru pasti mendatangkan benturan dengan yang lama.

Pentas ini bercerita tentang seorang perempuan mekar bernama Geyong Kenthil (yang diperankan oleh Irawati Kusumoasri). Kehadiran si “muda” (Ira sesungguhnya tak muda-muda amat) membuat ibu-ibu lain cemburu. Lalu, ibu-ibu itu (Wahyu Widayati, Sri Lestari, Sri Setyoasih, dan Atik Kenconosari) menyikapi dengan gayanya masing-masing. Ibu-ibu itu membicarakan hubungan suami mereka yang tergoda oleh si Kenthil.

Dibanding karya Sahita yang terdahulu, misalnya Srimpi Srimpet, malam itu pertunjukan memang minim unsur tari. Yang pernah menyaksikan kelompok ini mementaskan Srimpi Srimpet pasti terkesan. Saat itu mereka merias diri menjadi orang-orang tua. Mbok-mbok dengan rambut memutih. Ini merupakan parodi terhadap penari Serimpi. Bisanya penari Serimpi adalah anak muda yang cantik-cantik. Namun, ketika penari-penari tua itu menari, geraknya lemah gemulai, lebih genit dari yang muda-muda.

Sedangkan Gathik Glindhing lebih condong ke teater. “Ini yang paling cocok untuk dipentaskan di Salihara. Lebih banyak unsur drama, lebih ‘cerewet’,” kata Wahyu Widayati alias Inonk, 45 tahun, sutradara dan koreografer Sahita.

Gathik Glindhing pernah dipentaskan di Teater Utan Kayu dengan format berbeda. “Kata-katanya dulu masih puisi,” ujarnya. Inonk memodifikasi Gathik Glindhing. Ia memasukkan banyak dialog. Tak semuanya berbahasa Jawa. Sindiran dan parodi diramu dalam kalimat-kalimat berbahasa Indonesia hingga celetukan nginggris dan dialek Betawi.

Ketika Inonk membawa payung-payung geulis Tasikmalaya dan memutar-mutar, rekannya mengomentari: “Wah, koyo sarimin.” Suatu kali Sri Setyoaih mengatakan, “What’s the meaning of life?” Oleh Inonk diejek, “Wah, TOEFL 100 saja tak sampe.”

Mereka kerap mempermainkan unsur “parikan”. Misalnya, untuk menyindir kekuasaan RT, ada celetukan, “Numpak becak nang Madiun, kroso penak wegah mudhun (naik becak ke Madiun, terasa enak tidak mau turun.” Atau ‘saresehan’: sare sambil lesehan (tidur sambil lesehan) Paling asyik melihat mereka tiba-tiba menari di tengah saling melempar humor itu. Geraknya begitu luwes. Yang khas dari mereka musik juga keluar dari mulut. Kendang ditirukan dengan dhang… dhang… dhang. Sedangkan bunyi ketukan ditirukan tak… tak… tuk… tuk.

Penonton tertawa-tawa ketika dari mulut ibu-ibu berkebaya ini muncul banyolan yang sedikit nyerempet-nyerempet. Misalnya, ketika sembari bermain-main dengan Origami berbentuk burung-burungan, ibu-ibu itu mengatakan: “Ini rajawali, burungnya para raja dan wali, jadi besar-besar.”

Pertunjukan diakhiri dengan suasana agak reflektif. Ira Kusumorasri yang berkebaya merah itu duduk di atas meja. Ia menendang bakul nasi di atas meja. Lalu, ia mengisap rokok perlahan. Mengembus-embuskan asapnya ke udara. Terasa erotis. Tapi juga terasa pedih. Ia lalu melantunkan kalimat-kalimat, “Pulang dari perang kembang. Terbentang jalan bagi pertemuan para kekasih dan keluarga.”[SJS IBNU RUSYDI/24.03.209]

Leave a Reply