10 Perempuan 40+ Taklukkan Puncak-puncak Dunia

demilupus_taklukpuncakVIVA+GARUDAMAGAZINE – Peristiwa ini mungkin terdengar seperti rekaan hiperbola: 10 perempuan asal Indonesia berusia di atas 40 tahun dalam ekspedisi pendakian dari 16 Januari hingga 1 Februari 2011 menaklukkan dua gunung jangkung di Ekuador, Amerika Selatan. Namun kejadian tersebut nyata adanya. Para perempuan tangguh itu mendaki Gunung Cayambe (5.790 meter) dan Cotopaxi (5.897 meter) dalam upaya menggalang dana bagi para penderita lupus di Indonesia.

Kesepuluh pendaki penakluk itu adalah: Ami KMD Saragih (46, psikolog), Amalia Yunita (43, wiraswasta), Veronica (47, pegawai swasta), Diah Bisono (45, wiraswasta), Miranda Wiemar (43, akuntan) , Tejasari (42, perencana keuangan independen), Dwiastuti Soenardi (53 , wiraswasta), Heni Juhaeni (44, konsultan outdoor equipment), Imas Emi Sufraeni (45, ibu rumahtangga), dan Myrnie Zachraini Tamin (47, akuntan) . Coach mereka adalah Rachmat Rumantara, yang juga mendampingi rombongan.

Di bawah bendera Equatorial Peaks for Lupus (E4L), tim pendaki ini sekaligus menyelesaikan misi ‘Tiga Puncak Ekuator’, pendakian tiga puncak tertinggi di garis khatulistiwa yang memiliki salju abadi. Upaya pendakian ini mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk Synergy WorldWide Indonesia.

Dua puncak ekuator lain yang pernah didaki kelompok ini adalah saat pendakian gunung di Kalapattar, Himalaya (2006); Kilimanjaro, Tanzania (2009).

25 Januari 2011: Gunung Cayambe

Pencapaian pertama di Ekuador terjadi pada 25 Januari 2011, saat 10 pendaki ini melakukan pendakian selama 10 jam untuk menaklukan Gunung Cayambe. Dalam pendakian yang berlangsung sejak tengah malam hingga pukul 9.20 pagi waktu Ekuador atau pukul 21.20 WIB, akhirnya Veronica Moeliono (47) diikuti tiga pendaki yang tergabung dalam E4L berhasil mencapai puncak gunung.

“Saya terharu karena perjalanan pendakian ke puncak setinggi 1.000 meter ini dilakukan sejak jam 23.30 malam. Pendakian panjang yang sangat melelahkan, melalui gletser es terjal dan dinding es menjelang puncak,” ujar Veronica dalam rilis yang diterima VIVAnews.com di Jakarta, Rabu 9 Februari 2011.

Gunung Cayambe adalah gunung tertinggi ketiga di Ecuador, Amerika Latin, dan merupakan gunung beratapkan salju abadi terakhir di garis khatulistiwa yang masih menyisakan hamparan padang dan puncak berselimut salju. Sedangkan Gunung Cotopaxi merupakan salah satu gunung dengan ketinggian ekstrem, yakni di atas 5.500 meter yang ada di provinsi berbeda di Ekuador.

pendakiperempuan2011_ekuador128 Januari 2011: Gunung Cotopaxi

Saat pendakian keadaan cuaca tidak bersahabat, suhu di bawah nol derajat dan hujan turun terus menerus, menjadikan medan es lebih tebal dan cair. Selain itu ada tantangan batas waktu pendakian yang mengharuskan para pendaki bergerak cepat.

“Beruntung misi pendakian kami kali ini mendapat dukungan sponsor perusahaan suplemen kesehatan. Kami selalu mendapat tambahan tenaga, yang akhirnya bisa membantu kita menyelesaikan misi pendakian,” kata Koordinator Tim, Ami Kadarharutami Saragih.

Pendapat Ami juga dibenarkan anggota tim lainnya, Amalia Yunita. “Kami belum pernah mendaki dua gunung sekaligus dengan masa istirahat hanya dua hari saja. Namun dengan meminum suplemen kesehatan, kami merasa penuh tenaga,” katanya.

Gunung Cotopaxi adalah alternatif lain dari rencana semula tim ini akan menaklukkan Gunung Chimborazo (6300 meter) dengan lima puncaknya yang diakui sebagai gunung berapi tertinggi di Ekuador.

Perubahan rencana ini, karena pada saat itu salju telah menghilang dari Gunung Chimborazo dan hanya menyisakan bebatuan dan bongkahan es saja. “Kami tidak memiliki persiapan teknik memanjat gunung dengan kondisi seperti itu,” kata Vera.

Ketiga Bagi Kepedulian Pada Lupus

Pendakian ini merupakan ekspedisi ketiga yang dilakukan 10 wanita pendaki berusia di atas 40 tahun untuk penggalangan dana ke Yayasan Lupus Indonesia (YLI). Kepedulian tim E4L ini pada lingkungan dan sesama didedikasikan untuk meningkatkan pengenalan terhadap penyakit Lupus. “Semoga pencapaian ini bisa menjadi inspirasi bagi perempuan lainnya untuk terus bergiat sekaligus menjadi media untuk mempublikasikan bahaya penyakit lupus,” ujar Ami Kadarharutami.

Dalam suatu survei terindikasi bahwa 9 dari 10 orang dengan Lupus (ODAPUS) adalah wanita dan terdeteksi lebih banyak menyerang pada masa produktif (usia 15-44). Jumlah penderitanya diyakini lebih besar dari yang berhasil terdeteksi, sementara pemahaman mengenai penyakit ini masih sangat minim.

Dwiastuti, pendaki berprestasi panjang.Dwi Astuti Soenardi, Runtuhkan Mitos Usia

Ia adalah pendaki paling senior dalam rombongan nekad tersebut. Ibu tiga anak yang biasa disapa Wiwi ini memang lama dikenal sebagai perempuan penakluk gunung. Hobinya bergulat dengan alam dimulai sejak remaja. Pada 1974, ia memulai karir dengan mendaki gunung-gunung di Indonesia, mulai dari Jawa hingga Papua. Catatan yang gemilang ini kemudian mengantarkannya masuk tim ekspedisi Pataga Carstensz Pyramid Papua.

Salah satu pencapaian impresifnya adalah saat ia bergabung dalam Summiter Ekspedisi perempuan Indonesia yang berhasil menjejakkan kaki di puncak Imja Himalaya pada 1987, serta menjadi Ketua Ekspedisi Putri Patria Indonesia yang menggapai puncak Chulu West Himalaya. Portofolionya memang bisa membuat pria menciut. Wiwi juga pernah menjadi Ketua Tim perempuan Cadik Nusantara untuk pelayaran Jakarta-Toboali-Jakarta, manager Ekspedisi perempuan Indonesia Mendaki Alpen, dan mengikuti pelayaran Phinisi Nusantara Benoa-Jakarta.

Menurut Wiwi, karakter perempuan memang ajaib dan unik. Temperamen yang naik-turun justru membuat Kaum Hawa lebih kreatif dalam mengelola diri, serta lebih mengerti dan terampil dalam mengeluarkan ekspresi. “Mendaki gunung membuat saya jadi lebih memaknai hidup dengan sebenarnya. Selalu muncul rasa bersyukur akan kebesaran-Nya,” ujarnya.

Usia tidak menghalanginya untuk menaklukkan tebing curam. perempuan yang lahir 53 tahun silam ini masih terus berambisi menggapai atap-atap dunia. “Saya ingin kasih lihat bahwa semangat itu harus ada sepanjang hidup,” katanya. Yang patut dipuji, ia kerap mengusung misi sosial dalam ekspedisinya, seperti yang pernah ditunjukkannya di Ekuador. Di luar rutinitas hariannya mengurus keluarga dan bekerja di perusahaan perlengkapan aktivitas outdoor, Wiwi tetap giat berlatih dan menjaga kebugaran. Tubuhnya memang tak lagi muda, tapi semangatnya terus menyala. Ia juga telah menetapkan satu gunung sebagai target berikutnya: Everest. :: VIVA+GARUDAMAGAZINE/feb+may2011

http://life.viva.co.id/news/read/203864-pendaki-wanita-ri-taklukkan-gunung-di-ekuador

Leave a Reply