40 Tahun Mbah Tentram Pegang Resep Kukis Bagea

MOSINTUWU.COM – Tangan-tangan berkerut menandakan usia yang tidak lagi muda. Namun gerakan tangan Mbah Tentram, 62 tahun, masih lincah membolak-balikkan Kukis Bagea di pemanggangan. Tidak kalah cekatan, Pak Ahmad Tamrin, 69 tahun, memasukkan Kukis Bagea yang baru keluar di pemanggangan ke dalam oven. Bau harum gula merah yang bercampur dengan adonan sagu yang sudah dibakar tercium ke hampir semua ruangan. Sekitar 20 menit kemudian, Kukis Bagea dikeluarkan dari oven, siap disajikan!

Selama 40 tahun, kegiatan yang sama terus-menerus dilakukan keduanya. Kue olahan dari sagu ini adalah bukti kesetiaan keduanya pada kuliner khas desa di Poso, Sulawesi Tengah. Bertempat di Kelurahan Tegalrejo, rumah kedua orang tua ini mudah ditemukan. Semua orang di kelurahan, bahkan dari luar, mengenal mereka sebagai pembuat Kukis Bagea. Kesetiaan mereka membuat Kukis Bagea tersohor di seluruh Poso. Kukis buatan pasangan ini, meskipun tanpa merek khusus, mudah ditemukan di kios dan toko di kota Tentena maupun Kota Poso.

Mbah Tentram dan Pak Ahmad tidak langsung mahir menghasilkan kue, yang ternyata juga khas Maluku dan Palopo (Sulawesi Selatan) itu.

Rahasianya Juga di Sabut Kelapa

Mbah Tentram bercerita, pada awal tahun 1970an, waktu anak-anaknya masih kecil, dia belajar membuat kue Kukis Bagea. Berapa kali pasangan itu mengalami kegagalan, terutama soal rasa. Untuk berhasil membuat Bagea yang bisa dimakan dan terasa enak, mereka mengulang sampai 7 kali. Sagu dan gula merah mereka beli dari Desa Tombiano, Kecamatan Tojo Barat, Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah. Sementara, bahan lainnya seperti telur dan vanili dibeli di kios dekat rumah.

Rahasianya tidak susah, cuma memang harus tekun dan setia tidak ubah-ubah itu adonan,” ujar Mbah Tentram saat ditanya resep rahasianya.

Rahasia lainnya, lanjut Mbah Tentram, sabut kelapa yang digunakan untuk memanggang haruslah dari kelapa yang belum kering betul. Ini akan membuat asap yang dihasilkan dari sabut kelapa memberikan aroma sekaligus menjaga agar Bagea yang dipanggang tidak langsung masak. Setelah dipanggang, Bagea akan dipanggang lagi di dalam oven.

Keduanya berbagi tugas dalam mengolah Kukis Bagea. Mbah Tentram yang mengolah adonan, selanjutnya suaminya, Pak Ahmad yang memanggangnya di atas oven yang berasap tebal dan membuat mata perih. Bagi yang belum terrbiasa, proses memanggang ini sangat berat, sebab mata pasti perih.

Membuat Kue Membuatnya Tidak Sakit

Kecintaan pada Bagea membuat keduanya tetap meneruskan usaha ini. Bahkan bagi Mbah Tentram, merasa sakit kalau tidak membuatnya dalam seminggu. Bagi Mbah Tentram membuat Kukis Bagea menjadi terapi, karena itu akan tetap membuatnya meskipun pemasaran tidak selalu mudah saat ini.

Yang menarik, selama puluhan tahun menghasilkan Bagea lezat, keluarga ini masih tetap hidup sederhana dan tetap menjadikan kue berwarna cokelat ini sebagai produk utama. Keduanya juga mulai membuat produk lain, seperti Kacang Telur, Kacang Bawang dan Kripik Pisang. Di kota Tentena, kue Bagea buatan mereka bisa didapatkan di Dodoha Mosintuwu. Pesanan menjadi lebih banyak dari hari biasanya saat hari-hari raya keagamaan baik Islam maupun Kristen.

“Untuk penjualan memang tidak menentu kadang untuk kios-kios saja, kadang ada juga yang pesan. Yang biasanya pesan karena sudah bertahun-tahun kami buat ini, jadi kenalan sudah banyak. Tapi itulah tidak rutin. Nanti ada kegiatan, mereka baru pesan, tapi dalam seminggu pasti ada walau hanya 1 toples,” cerita Mbah Tentram.

Setelah penamaan dan penggunaan kemasan dengan label resmi. (foto > mosintuwu.com)

Membiayai Anak-anak Sampai Perguruan Tinggi

Dari hasil penjualan Bagea, anak-anak Mbah Tentram bisa mendapatkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Anak-anak mereka juga ikut belajar membuat kue Bagea. “Ini warisan keluarga yang kami akan jaga,” kata anak Mbak Tentram.

Kehadiran kue maupun cemilan masa kini di pasar, terutama yang berbahan cokelat dan krim, memang membuat pemasaran Kukis Bagea mendapat tantangan serius. Namun Mbah Tentram dan suaminya memiliki keyakinan, Bagea akan selalu mendapat tempat di hati orang-orang Poso.

Program Usaha Desa Institut Mosintuwu memberikan dukungan pada usaha kecil yang dikembangkan oleh Mbah Tentram dan Pak Pak Ahmad ini. Pendampingan di dalam penamaan dan desain label dengan kemasan khusus untuk Kukis Bagea buatan Mbah Tentram dan Pak Ahmad adalah salah satu bentuk dukungannya. “Kami akan membantu melakukan kampanye lebih luas sehingga usaha seperti ini bisa menjadi salah satu oleh-oleh khas Poso,” ujar Martince Baleona, koordinator Usaha Desa Institut Mosintuwu yang berkedudukan di Poso. :: MOSINTUWU.COM/30MAR2018

Leave a Reply