Ade Rostina Sitompul, Tauladan Kemanusiaan Universal

[srimulyani.net+BBC] –  Indonesia kehilangan salah seorang pejuang kemanusiaan dan HAM. Ade Rostina Sitompul, yang juga anggota Majelis Pertimbangan Solidaritas Masyarakat Indonesia untuk Keadilan (SMI-Keadilan), meninggal dunia pada usia 72 tahun, Jumat malam , 8 Juli 2011, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Ibu Ade, begitu mendiang biasa disapa, adalah aktivis kemanusiaan yang jauh dari publikasi. Perjuangan almarhumah sudah dimulai lebih dari 40 tahun lalu, ketika tanpa pamrih, Ibu Ade menampung dan menolong sebagian keluarga tahanan politik.
Ibu Ade juga menjadi penghubung antara para tahanan politik pendukung kemerdekaan Timor Leste dan keluarganya, setelah peristiwa Santa Cruz 12 November 1991. Atas kerja kerasnya ini, almarhumah mendapat penghargaan dari Pemerintah Timor Leste pada September 2009.

Tahun 1995, Ibu lima anak, ini meraih Yap Thiam Hien Award, sebuah penghargaan terhadap orang-orang yang berjasa dalam memperjuangkan hak asasi manusia.

Ibu Ade juga mendukung perjuangan SMI-Keadilan. Dengan kondisi kesehatan yang mulai melemah sehingga harus dipapah ketika berjalan, almarhumah masih menyempatkan diri untuk hadir di Deklarasi SMI-Keadilan pada 14 Februari 2011 di Rumah Integritas.

Setelah disemayamkan di Rumah Duka Carolus, jenazah Ibu Ade dimakamkan di TPU Pondok Kelapa, Sabtu 9 Juli 2011.

Ade Rostina Sitompul, lahir di Bogor pada 12 Desember 1938, yang dikenal sebagai aktivis kemanusiaan yang jauh dari publikasi, memperoleh penghargaan kenegaraan dari Pemerintah Timor Leste, September 2009. Dia dianggap berjasa ikut memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan di dalam perjalanan bangsa Timor Leste memperoleh kemerdekaan dari Indonesia.

“Bagi saya, kemanusiaan itu universal, bukan untuk berlaku di Indonesia. Nilai kemanusiaan itu lintas agama, lintas etnis, lintas negara, lintas bangsa,” kata Ade Rostina, yang dilahirkan di Sukabumi, Jawa Barat, 12 Desember 1938, kepada BBC Indonesia. Bersama beberapa warga negara Indonesia lainnya, dia diundang secara khusus ke Ibukota Timor Leste.

Dituduh Pengkhianat Bangsa

Ibu Ade menekankan bahwa, karena sikap penghormatan dirinya terhadap nilai kemanusiaan, dia dulu sering dicap sebagai “pengkhianat” dan “menjual bangsa”.

“Sejak masuk Timor Timur tahun 1992, banyak suara-suara yang mengatakan, saya pengkhianat, penjual negara,”  katanya.

Dia lantas memberikan contoh, sikap seorang Jenderal dari Kopassus yang memberikan cap pengkhianat pada dirinya. Setelah dia menjelaskan apa yang dilakukannya, jenderal itu akhirnya memaklumi sikapnya.

Ade Rostina bersentuhan dengan peristiwa kekerasan di Timor Timur setelah terjadi peristiwa kekerasan di Kota Dili, 12 November 1991, yang kemudian dikenal sebagai “Peristiwa Santa Cruz”. Dia menyebut dirinya sebagai penghubung antara para tahanan politik pengukung kemerdekaan Timor Leste dan keluarganya. Sejak saat itulah, melalui misi kemanusiaannya, Ibu Ade acap mendatangi propinsi yang dulu masuk wilayah Indonesia itu, sebelum akhirnya merdeka melalui referendum 1999.

Ade Rostina Sitompul hadir sebagai salah satu anggota Gerakan Masyarakat Adili Soeharto bersama Asmara Nababan pada tahun 2006.

Peraih Yap Thiam Hien Award 1995

Ibu lima orang anak ini menolak istilah nasionalisme sempit, yang banyak diteriakkan orang menjelang dan sesudah referendum Timor Leste. “Nasionalisme adalah (bagaimana) kita bisa menjaga imej, bukan diri kita saja, tapi bangsa kita, negara kita, rakyat kita. Bukan nasionalisme sempit, yang seolah-olah orang itu, atau orang itu, adalah musuh kita,” papar Ade Rostina.

Tidak banyak orang mengetahui aktivitas kemanusiaan Ade Rostina sudah dimulai lebih dari 40 tahun silam. Dia memilih melakukan pertolongan terhadap sesama atas dasar kemanusiaan, setelah peristiwa kekerasan pasca 1965 -sebuah peristiwa yang disebutnya “tidak bisa diterima hati nurani saya sampai sekarang.”

Sejak 1967, Ade Sitompul menolong sebagian keluarga tahanan politik -yang suaminya dicap komunis dan dibuang ke Pulau Buru. Walau tidak gampang, sebagian keluarga orang-orang itu dia tampung di rumahnya. Dan menurutnya ini tidak gampang. “Sikap saya ini sempat diprotes keluarga,” ungkapnya.

Belum lagi sikap represif aparat saat itu, yang menurutnya selalu menginterogasi sikap dan aksinya untuk menolong keluarga tapol.

Ditanya bagaimana dia dapat bersikap berani melawan sikap kebanyakan masyarakat Indonesia yang saat itu fobia terhadap PKI, Ade mengaku dia juga pernah mengalami rasa takut. Tetapi, lanjutnya, perasaan itu dapat ditepisnya.

“Saya merasa (tindakan kemanusiaan) itu perintah dari agama yang saya yakini. Dalam alkitab, dalam salah-satu ayatnya berbunyi ‘Aku memilih engkau sejak engkau dalam kandungan ibumu’. Itu yang banyak mempengaruhi saya. Walaupun takut, saya berusaha hilangkan rasa takut saya, dan nasihat Yap Thiam Hien banyak mempengaruhi saya,” jelas almarhum Ade Rostina saat itu.

Tahun 1995, Ade Rostina meraih Yap Thiam Hien Award, sebuah penghargaan terhadap orang-orang yang dianggap berjasa dalam memperjuangkan hak asasi manusia.

sumber foto >> akun Facebook Ade Rostina Sitompul + http://primary-ip.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=337

Leave a Reply