Den Upa’ Rombelayuk, Pulihkan Hak Pilih Adat Perempuan Toraja

[SINAR HARAPAN] – Sulit ia mengungkapkan alasan mengapa dirinya ingin membantu kaum perempuan adat. Den Upa Rombelayuk hanya tahu bahwa ia berjalan dengan hatinya. Ia berkeyakinan, bahwa perempuan tak akan pernah mendapat hak-haknya jika kepercayaan diri tak pernah ada pada diri mereka.

“Sebenarnya perempuan adat Toraja lebih beruntung karena memiliki hak waris dan punya sistem kendali pada keluarga. Namun sayangnya banyak perempuan Toraja tidak memiliki baju-baju bagus untuk sehari-hari, jadi banyak yang tak percaya diri,” urai Den Upa’ kepada Sinar Harapan, di sela penyelenggaraan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) IV di Tobelo, Halmahera Utara, akhir April 2012.

Lantaran ketimpangan tersebut, Den Upa’ berinisiatif melakukan perbaikan. Mulanya ia bergabung dengan kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Tak puas dengan itu, ia bergabung juga dengan kelompok perempuan persekutuan agama gereja Toraja. Namaun pada akhirnya, aktivitas Den Upa’ berlabuh pada Lembaga Swadaya Masyarakat Walda yang mengkhususkan diri pada perjuangan persamaan hak-hak perempuan.

Puncak karirnya didapat ketika ia kemudian terpilih sebagai Kepala Desa Nenggala di Tanah Toraja, Sulawesi Selatan, pada 1992. Pada pemilihan tersebut, Den Upa’ mengungguli dua kandidat lain, yang keduanya pria. “Karena kemenangan itu, banyak yang kemudian menyebut saya sebagai Talawai, yang dalam bahasa Toraja, artinya ayam betina yang mirip ayam jantan,” cerita ibu delapan anak ini.

Posisi sebagai kepala desa membuatnya makin leluasa dalam memperjuangkan kaum perempuan, hingga akhirnya ia bisa mengubah aturan adat Kombongan. Adat Kombongan merupakan adat tentang musyawarah desa yang pada dulunya melarang perempuan ikut campur di dalamnya.

“Karena saya sebagai kepala desa, akhirnya bisa juga acara adat Kombongan dihadiri kaum perempuan. Hanya sayangnya, waktu itu perempuan adat belum banyak bicara, tapi paling tidak kaum perempuan sudah memiliki hak baru untuk turut serta dalam Kombongan,” paparnya.

Usai menjabat kepala desa, perjuangan Den Upa’ tak berhenti sampai di situ saja. Ia bergabung dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Partisipasinya dalam berbagai kegiatan AMAN terlihat nyata. Mulai dari menjabat sebagai Koordinator wilayah timur pada Kongres III AMAN di Pontianak hingga menjabat di Dewan AMAN untuk wilayah Sulawesi Selatan. Perjuangannya memperkuat kaum perempuan makin menunjukkan bukti saat Kongres AMAN ke-IV digelar di Tobelo.

Dalam kongres tersebut, untuk pertama kalinya terjadi pertemuan perempuan adat seluruh Nusantara. Ketua panitia pertemuan itu, Romba Marannu Simboliggi merupakan salah seorang anak dari Den Upa’.

Perempuan Adat Punya Hak Pilih

Bagaimana pun Den Upa’ Rombelayuk menjadi sosok yang inspiratif bagi masyarakat di sekelilingnya. Yang unik, sebuah wadah pengambilan keputusan adat di dalam warga kampungnya, disebut Kombongan, tidak akan sah tanpa kehadiran warga kampung yang lengkap termasuk kehadiran kaum perempuan.

Di Toraja, jauh sebelum Upa’ lahir, kaum perempuan Toraja memang sudah dapat menjadi pemimpin, seperti menjadi bupati di zaman Belanda. Akan tetapi, kepemimpinan yang dimiliki oleh perempuan waktu itu umumnya diperoleh berdasar derajat sosial, seperti misalnya pangkat karena berdarah bangsawan. Situasi ini berubah setelah penerapan sistem pemerintahan desa yang tertuang di dalam UU No 5/1990. Kombongan pun kehilangan fungsi adatnya yang turun-temurun. Peran dan mekanisme pengambilan keputusan desa diubah dan kaum lelaki memperoleh hak penuh untuk menentukan kebijakan desa. Kaum perempuan tak lagi memiliki peran untuk pembuatan keputusan, para perempuan hanya dapat menerima hasil dari setiap keputusan.

Hingga di 1985, di saat suaminya terpilih sebagai kepala desa, dia memanfaatkan kesempatan bersama ibu-ibu lain mengadakan kegiatan bersama. mulai dari menjahit, memasak, atau berkebun—kendati semuanya masih melulu urusan rumah tangga. Mereka, para perempuan ini, selain dapat memperkuat ekonomi keluarga, juga kemudian malah ikut memberikan pendidikan untuk anak-anak.

Den Upa’ terpilih sebagai kepala desa pada tahun 1992. Ia sertamerta menggunakan kesempatan dan peran yang dipercayakan pada dirinya untuk menghidupkan kembali wahana adat yang tersisihkan, yaitu Kombongan. Segala aktivitas, peran, bahkan pengambilan keputusan akhirnya kembali menyertakan kaum perempuan di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat Toraja.

Di usianya yang senja, Den Upa’ telihat masih segar bugar dan tetap enerjik dalam kegiatan. Di sela-sela kesibukannya, ia terus bercengkerama dengan teman-teman dan handai taulan dari daerah lain, terutama para pejuang hak-hak perempuan. Salah satu yang tetap menjadi impiannya adalah persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dia mengharapkan dalam kehidupan sehari-harinya, keduanya saling menghargai.

Meskipun mimpi tersebut masih dianggap angan-angan sampai saat ini, namun paling tidak ia telah memulai satu langkah awal yang mungkin menjadi langkah pembuka untuk ribuan langkah perjuangan hak-hak perempuan di masa mendatang.  :: sinarharapan.co.id/mei201

 

 naskah asli >> http://www.shnews.co/detile-1752-45-tahun-membela-perempuan-adat-toraja.html

Leave a Reply