Emy Jaga Ribuan Burung Di Bawah Sayapnya

Foto > SUARAPEMBARUAN

(SUARA PEMBARUAN) ~ Tidak banyak orang yang beruntung selalu berada di tengah merdunya kicauan burung sepanjang hari. Apalagi dimanjakan tontonan hiburan berbagai lagak burung yang tiada hentinya berulah lucu di sekelilingnya. Suasana seperti itu yang menyebabkan Endang Budi Hutami (49) betah selama 20 tahun mengabdikan diri pada ribuan burung penghuni Taman Burung Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.

Hidup dan bekerja di hutan buatan di tengah kota tersebut, meminjam istilahnya, “Seakan di surga.” Perempuan yang sehari-hari dipanggil ‘Ibu Emy’ itu berbagi kisah hidupnya. Mengaku bahwa awalnya tidak berminat menggeluti dunia unggas, jalan Tuhan mengantarnya mengabdikan diri mengurus koleksi unggas eksotik dari berbagai belahan dunia yang dipelihara di Taman Mini Indonesia Indah.

Saat dijumpai di kantornya dalam kawasann Taman Burung TMII, Emy yang berpembawaan ramah itu, serta merta berbagi pengetahuannya tentang burung. Ia menceritakan petualangannya mengenali burung-burung langka yang dilindungi di habitatnya masing-masing, kesibukannya mengurus organisasi-organisasi pelestarian hewan, khususnya unggas, serta kecintaannya kepada unggas secara umum.

Ia bercerita tentang pengalamannya ikut melepaskan burung jalak bali kembali ke habitatnya. Jalak bali termasuk salah satu jenis burung yang hampir punah. Emy merasakan rasa bangga dan bahagia luarbiasa saat melihat burung-burung tersebut kemudian sukses berkembang biak sendiri di habitatnya, dengan demikian kelestariannya terjaga.

Emy sejauh ini memilih hidup melajang dan baginya burung-burung adalah bagai anak-anaknya sendiri yang perlu dijaga dan diperhatikan dengan telaten. Perempuan kelahiran Bojonegoro, 30 Agustus 1959, ini mengaku menyayangi ribuan unggas yang hidup di Taman Burung TMII. Ia membagi kasih sayang yang sama kepada setiap burung yang ada — yang berbulu indah, yang bernyanyi merdu, yang pemakan daging — seperti seorang ibu yang tidak membeda-bedakan anak-anaknya. Setiap burung memiliki keunikan dan keindahan tersendiri yang tidak dapat dibanding-bandingkan.

Sekalipun pencinta unggas total, ia memilih untuk tidak memelihara burung di rumah. “Takut tidak dapat memberikan perhatian yang cukup baik,” katanya jujur. Emy beritikad mencurahkan perhatiannya untuk memajukan, mengembangkan dan melestarikan koleksi burung yang ada di Taman Burung TMII dan seluruh burung-burung di Indonesia pada umumnya.

Gara-gara Anak Asing

Dilahirkan dan dibesarkan di tengah keluarga pencinta hewan peliharaan, sejak kecil Emy bergaul akrab dengan anjing, kucing, trenggiling, bahkan kijang. Kecintaan tersebut mendorongnya mempelajari ilmu peternakan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta selepas sekolah menengah atas.

Sekian tahun mempelajari ilmu peternakan, secara tidak sengaja ia malah menggeluti dunia burung, yang justru merupakan satwa liar. Kecintaannya pada unggas-unggasan berawal saat ia ditawari mengisi posisi nutrisionis yang sedang kosong di kebun binatang. Emy sempat menolak. Kesan kotor kebun binatang tidak menarik minatnya.

Namun, tawaran itu terus datang mendesaknya, hingga suatu saat ia berhadapan dengan segerombolan anak asing yang berceloteh riang tentang unggas dengan lugas. Emy kagum saat mendengarkan pengetahuan anak-anak yang usianya tidak sampai belasan tersebut. Kekaguman itulah yang mengantarnya mempelajari lebih jauh ornitologi, ilmu tentang unggas-unggasan.

Sarjana lulusan tahun 1984 itu sempat terkejut. Buku mengenai ilmu burung masih jarang. Apalagi yang berbahasa Indonesia. Ia prihatin mendapati kenyataan belum banyak peneliti Indonesia yang berkeinginan mempelajari lebih jauh ilmu perunggasan. Saat itulah ia merasa terpanggil. Tidak terasa waktu bergulir, hingga saat ini ia mengepalai Bagian Nutrisi Taman Burung TMII.

Tingkat kerumitan mempelajari nutrisi untuk satwa liar, menurut Emy, jauh berbeda dengan hewan ternak yang sudah terukur. Namun, kerumitan itu justru membuatnya tertantang. “Selalu saja mereka memiliki tingkah aneh- aneh sehingga tidak pernah membosankan,” katanya. Semakin dalam menekuni, semakin banyak menimbulkan rasa penasaran. Emy menyalurkan rasa penasaran itu melalui penelitian-penelitian terhadap burung yang sifatnya sangat individual seperti manusia, sehingga selalu menarik diamati.

Ia tidak hanya mengabdikan hidupnya mengurusi koleksi unggas Taman Burung yang jumlahnya berkisar 3.000 ekor. Ia juga aktif dalam organisasi seperti Asosiasi Pelestari Jalak Bali, Asosiasi Kebun Binatang Indonesia, bahkan ia menjabat Sekjen Perkumpulan Pelestari Burung Indonesia. Ia menyayangkan jumlah peneliti burung di Indonesia, apalagi peneliti dari kaum perempuan, masih sangat kurang.

Memang, ia mengakui ada kalanya merasa jenuh berkutat dengan dunia unggas. Pada saat seperti itu, ia “melarikan diri” melakukan hobinya yang lain seperti berkebun dan memasak. Kecintaannya menyantap makanan enak membuatnya senang mencoba memasak. “Saya sangat menikmati kegiatan selingan itu saat sedang bosan,” ujar Emy yang memiliki motto: setiap hari harus dilalui dengan enjoy, menikmati setiap momen yang diberikan Tuhan.

Berada satu hari di Taman Burung, katanya, waktu seakan berjalan lambat. Sesekali ia hanya ingin duduk menikmati keindahan taman, mendengarkan nyanyian alam. Merupakan kenikmatan sendiri menonton keindahan merak jantan berlenggak-lenggok atau angsa hitam berenang anggun mengelilingi danau mini buatan, atau juga hilir-mudik burung-burung eksotis yang keindahannya tidak cukup dilukiskan dengan kata-kata.

Belajar dari Burung

Burung-burung tertentu, kata Emy, ternyata juga memiliki sifat dan kelakuan layaknya manusia. Ada yang latah jika dikagetkan. “Jenis beo nias yang selama ini dianggap sebagai salah satu jenis burung pintar, ternyata ada juga yang bodoh,” tuturnya.

Emy juga mengemukakan kekagumannya kepada sifat-sifat dasar alam terutama burung yang diamatinya bertahun-tahun. Menurutnya alam mengajarkan banyak hal yang harusnya ditiru manusia.

Ia menggambarkan tingkat inteligensia burung yang lebih suka mengamati dan menganalisis keadaan sekitarnya sebelum mengambil keputusan.

Belum lagi sifat dasar burung yang selalu mengambil makanan sesuai kebutuhannya. Tidak pernah berlebih, tidak pernah menyimpan sampai lama. Kearifan tersebut menurut Ey harusnya dicontoh para koruptor.

“Burung saja tahu porsi dan kebutuhannya. Seharusnya manusia, makhluk mulia, dapat bersikap lebih baik daripada hewan,” ujarnya, tertawa.

“Mengamati kelakuan hewan membuat kita mengingat bagaimana alam mengajarkan manusia cara memperlakukan sesamanya, seperti kesetiaan dan kerja sama burung kepada sesamanya,” katanya.

Ia mencontohkan cara burung rangkong jantan menghidupi keluarganya. Setelah melahirkan anaknya, rangkong betina akan mengurung diri bersama anak-anaknya dalam rongga pohon. Mereka menggantungkan hidupnya kepada si jantan untuk dapat bertahan hidup mencari makan. Kearifan dan kesetiaan burung jantan tersebut menurut Emy patut ditiru manusia.

Ia juga berbagi kisah si bangau tongtong koleksi Taman Burung TMII yang mencari cinta. Karena merasa kesepian tidak memiliki pasangan jenis di Taman Burung, si bangau terbang hingga puluhan kilometer mencari teman hidupnya. Bisa dibayangkan bagaimana si burung rela pergi jauh untuk memenuhi kebutuhannya berkembang biak. Akibat kenekatan tersebut akhirnya sayap si bangau harus dipotong agar tidak kabur lagi.

“Burung saja memiliki kesetiaan yang begitu besar. Akan lebih baik jika manusia mulai untuk mempelajari salah satu bentuk kesetiaan seperti yang dilakukan para makhluk kecil ini,” ujar Emy. [Chrisantum Ayumi Tanggo / Suara Pembaruan / April 2008]

Leave a Reply