Shinta Widjaja Kamdani Pegang Kata Kunci “Sustainable Business”

ELLE INDONESIA — Terlahir sebagai anak dari pebisnis ulung, Shinta Widjaja Kamdani mewarisi bakat berbisnis sang ayah. Oey Kim Tjiang, sang kakek, merintis usaha perkebunan karet pada 1919 yang kemudian menjadi perusahaan trading di tahun 1959 dengan nama PT Tigaraksa di bawah kepemimpinan ayahnya. Lulusan Harvard Business School dan Barnard College of Columbia University ini memiliki misi untuk membentuk sustainable business dengan merangkum seluruh legacy keluarga dalam satu holding company yang dinamakan Sintesa Group.

Sebagai CEO sejak 1999, Shinta membagi 16 perusahaan yang ada di bawah naungannya dalam empat pilar, yakni properti, industri, consumer product, dan energi. Melalui empat pilar tersebut, kelompok usaha Sintesa Group tumbuh menjadi perusahaan konglomerasi yang berkembang pesat.

Shinta menyelaraskan tujuan bisnis yang berkelanjutan dengan sustainable development goals. Salah satunya pengembangan energi bersih dan terbarukan. Sementara pada ranah industri, kelompok usaha ini memproduksi komponen untuk industri otomotif, pertambangan, elektronik, dan lain-lain. Dalam bidang produk konsumen, Sintesa Group juga memiliki anak perusahaan yang bergerak dalam produksi dan distribusi suplemen kesehatan berbahan natural dan sustainably-resourced. Di luar wilayah bisnis, Shinta juga aktif berperan sebagai Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Selain itu juga anggota International Board Member di World Wide Fund for Nature (WWF).

Atas pencapaiannya, Shinta menerima berbagai penghargaaan: 50 Powerful Businesswomen versi Forbes Asia 2012, 2013, dan 2016; Women Entrepreneur of The Year dalam Women in Leadership Forum 2013; dan Women of Power dalam ajang Asian Business Leadership Forum Abu Dhabi 2012.

TANYA-JAWAB

foto > WWF

Dalam didikan seperti apa Anda tumbuh dan berkembang?

“Yang pertama ialah kemandirian. Saya dididik untuk sebisa mungkin melakukan sesuatu tanpa tergantung orang lain. Meski lahir dari keluarga berkecukupan, saya juga diajarkan bagaimana hidup sesederhana mungkin. Dari kecil, saya terbiasa untuk bekerja. Ada satu daya tarik ketika kita terbukti mampu menghasilkan lewat jerih payah sendiri. Pada usia 13 tahun, saya mulai berjualan buku secara door to door. Sistem direct selling ini pengalaman pertama saya sebagai sales yang sangat berkesan bagi saya. Tidak jarang saya ditolak, gagal, namun ada kepuasan tak terbayarkan ketika seseorang mau membeli dagangan saya. Salah satu pengalaman yang membentuk saya kini sebagai pebisnis.”

Bagaimana kisah keterlibatan Anda di Sintesa Group?

“Jiwa sebagai pengusaha sepertinya telah mengalir dalam hidup saya. Lulus kuliah, saya kembali ke Indonesia dan bergabung ke perusahaan keluarga. Status sebagai anak pemilik perusahaan tidak berarti langsung menempati posisi tertinggi. Saya pernah punya atasan. Bahkan ia sangat keras dan disiplin. Awalnya, tahun 1989, saya ditempatkan di bagian promosi dan pemasaran di PT Tigaraksa Satria. Predikat ‘anak pemilik’ justru mengharuskan saya bekerja lebih keras. Butuh bertahun-tahun untuk mencapai promosi jabatan. Meneruskan perusahaan keluarga yang telah berdiri sejak tahun 1919, Tigaraksa Satria dan perusahaanperusahaan warisan lainnya yang bergerak di beragam sektor, bukan perkara mudah. Tahun 1999, saya mengkonsolidasikannya menjadi Sintesa Group. Termasuk mengubah manajemen lebih profesional dan sistematis. Dahulu, perusahaan membentuk banyak kerjasama dengan berbagai pihak. Pada saat restrukturisasi, saya menerapkan satu positioning. Mana perusahaan yang harus ditutup, mana yang harus dijual, mana yang ingin kita kembangkan. Holding company ini harus bisa berperan untuk menentukan arah jangka panjangnya.”

Sistem seperti apa yang Anda terapkan?

“Transformasi paling penting ialah mengubah bisnis keluarga, di mana saya tetap memegang legacy yang diwariskan orangtua, ke arah professional management company yang diisi oleh para profesional di bidangnya. Saya membentuk Executive Comittee agar semua keputusan dapat diambil secara sistematis dan objektif. Semua yang berada di Sintesa Group juga mesti memiliki satu benang merah dan itu terwujud pada empat corporate values dalam organisasi. Pertama empowerment, di mana saya selalu meyakini pentingnya untuk saling memberdayakan. Kedua, entrepreneurship yang artinya saya berusaha mengeluarkan jiwa entrepreneurship sebab sumber daya manusia merupakan salah satu yang penting. Kemudian excellence, untuk memberikan yang terbaik dalam hal servis maupun produk. Terakhir ialah empathy yang berarti kita harus punya kepedulian dan kepekaan.”

Seberapa besar tantangan mengurus perusahaan keluarga?

“Yang sulit sebagai anak pemilik, kita mesti keluar dari bayangan orangtua. Mengerahkan seluruh kemampuan untuk menunjukkan kapabilitas dan potensi diri. Tidak terhitung berapa kali ketika saya mencapai suatu keberhasilan, selalu ada suara-suara menyatakan ‘Jelas saja dia bisa, dia kan anaknya pemilik perusahaan’. Sebuah tantangan untuk memecah persepsi orang lain tentang kita. Setiap pekerjaan tidak melulu berujung pada sukses. Ada kalanya gagal dan kecewa. Penting sekali menjaga profesionalisme dan kepercayaan diri sembari kita memberikan yang terbaik. Dalam memimpin holding company, paling penting memonitor semua portolio investasi. Ada empat pilar di perusahaan ini dan kami berupaya menjadikannya seimbang dalam keterkaitan satu sama lain.”

Menerima penghargaan Woman Entrepreneur of The Year pada ajang The Asia Corporate Excellence & Sustainability (ACES) Awards 2019 di Bangkok. (dok. Sintesa)

Apa rencana atau mimpi besar Anda?

“Saya tak terpisahkan dengan entrepreneurship dan itu pula sebabnya saya menjadikan visi perusahaan ini ialah sustainable excellent company. Titik baliknya tahun 1999, ketika saya melihat bahwa struktur perusahaan saat itu mengandung banyak ‘independent operating company’. Tidak ada penyatuan dalam bentuk holding. Pada saat itulah saya melakukan konsolidasi anak-anak perusahaan serta membuat satu pemetaan, yang melahirkan Sintesa Group. Ketika mengutarakan ini kepada ayah, saya harus mengeluarkan sisi kewirausahaa dalam diri saya. Tidak hanya bertindak sebagai karyawan, tapi juga pemilik. Ayah saya pun mulai melihat saya sebagai mitra, tidak hanya bawahan ataupun anak.

Ke depannya, kami tidak hanya mementingkan profit. Saya meyakini pentingnya menciptakan bentuk bisnis yang terintegrasi dengan Sustainable Development Goals (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) sebagai agenda dunia pembangunan yang dicanangkan PBB. Beberapa di antaranya yakni pengentasan kemiskinan, mengakhiri kelaparan, memastikan pendidikan berkualitas, mencapai kesetaraan gender, memastikan akses air dan energi berkelanjutan, dan mempromosikan pertumbuhan ekonomi inklusif. Salah satu yang sedang saya perjuangkan yakni mengedepankan energi yang dapat diperbarui. Meski saya mengetahui ini sangat sulit sebab pemerintah masih sangat bergantung pada bahan bakar yang berasal dari fosil tumbuhan dan hewan.”

Apakah jiwa entrepreneurship yang membuat Anda membentuk program pendanaan pengusaha?

“Ya, saya mengajak teman-teman untuk ANGIN (Angel Investor Network Indonesia) Women Fund. Lebih dari sekadar funding, kami melakukan mentoring dan networking serta membuka akses kepada pasar, modal, dan capacity building. Ketiga aspek ini penting untuk mengembangkan usaha-usaha rintisan. Kami bergerak bersama generasi-generasi muda dalam usaha kecil menengah dan startup-startup yang kini tengah menjamur di Indonesia. Ada lebih dari 2500 startup yang telah kami dukung bisnisnya.”

Anda juga aktif di organisasi lingkungan, sosial, termasuk menyuarakan kepedulian bagi kesetaraan gender. Apa yang menggerakkan Anda?

“Saya akrab dengan isu lingkungan sejak kecil. Lingkungan hidup menjadi salah satu unsur yang saya lihat secara global. Saya merangkul para pebisnis dalam IBCSD (Indonesia Business Council For Sustainable Development) dan mengajak perusahaan-perusahaan besar untuk ikut memerhatikan isu lingkungan. Hal yang sama juga saya duplikasi melalui Indonesia Business Council on Women Empowerment (IBCWE). Kesetaraan gender di tempat kerja sangat relevan karena saya mengalaminya sendiri. Ini sebetulnya sangat bagus bagi bisnis karena artinya kita memaksimalkan potensi yang mungkin belum tergali.”

Apa saran Anda bagi para pebisnis perempuan?

“Persoalan utama bagi perempuan berkarier ialah keseimbangan hidup. Sebagai perempuan, kita punya satu kodrat yang mustahil ditiadakan. Menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui merupakan fase hidup yang diikuti berbagai peran serta tanggung jawab di dalamnya. Bagi saya, penting untuk menyeimbangkan urusan domestik dan pekerjaan profesional. Sulit sekali untuk fokus pada pencapaian kerja dan pertumbuhan bisnis, jika kita meninggalkan kekacauan di rumah. So, balance is a must. Termasuk kehidupan sosial dan lingkaran pertemanan yang membuat hidup kita semakin dinamis.”

Banyak orang mendefinisikan kesuksesan dengan merelasikannya pada kekayaan. Bagaimana Anda melihat hubungan antara sukses dan kaya?

“Sepanjang hidup, saya tidak melihat semua hal berujung pada perkara uang dan hitungan ekonomi. Tentu semua orang ingin berlimpah kemakmuran dan kekayaan untuk bisa hidup dalam kenyamanan. Namun perjalanan hidup berisi berbagai pengalaman yang membawa kita pada titik di mana kita menyadari pentingnya ‘giving back’. Kita akan dihadapkan oleh pertanyaan ‘Hidup seperti apa yang ingin kita jalani?’ dan ‘Dampak apa yang ingin kita perbuat dalam hidup?’ Saya telah tiba pada satu kenyataan bahwa manusia tidak bisa hanya berpikir untuk selalu menerima, tapi juga mesti segera menentukan apa yang hendak kita berikan.” :: ELLE.CO.ID/13apr2019

Shinta Widjaja Kamdani: Kisah Kepemimpinan CEO Sintesa Group : Elle Indonesia

Leave a Reply