Film Payung Hitam Ingatkan Pelupaan Atas Ketidakadilan

[BALAI SOEDJATMOKO + KOMPASIANA] – Film Payung Hitam karya sutradara Chairun Nissa bersama Kiki Febriyanti yang berdurasi sekitar tiga puluh menit diproduksi tahun 2011 oleh Peace Women Across the Globe. Film ini menceritakan perjuangan dua orang yang mencari keadilan dan melawan lupa. Berawal dari tokoh Neneng (35 th), salah seorang warga Rumpin, yang tanah miliknya seluas 1.000 hektare diambil secara paksa oleh Angkatan Udara pada 2007. Selain itu ada juga kisah Sumarsih (57 th), orangtua Wawan (Mahasiswa Universitas Atma Jaya) korban penembakan pada era reformasi, yang hingga kini kasusnya belum ditindaklanjuti.

Aksi Kamisan

Mereka berdua bertemu di hari Kamis, di aksi diam. Acara ini disebut “Kamisan”, di mana setiap hari Kamis para pejuang dari berbagai macam kasus, dari era ’65 hingga sekarang selalu berdiri di depan istana, memegang payung hitam, membawa pesan-pesan para pejuang untuk disampaikan ke Presiden.

Aksi Kamisan mendapat banyak respon dari berbagai kalangan termasuk dari pihak penulis. P. Mutiara Andalas, S. J. menulis sebuah buku yang berjudul Penyair Kebenaran di Republik Kekerasan. Mutiara Andalas menuliskan sejarah tercetusnya `Kamisan’ yang berawal dari perbincangan sederhana orang tua almarhum Bernardinus Realino Norma Irmawan, Sigit Prasetyo, dan Yap Yun Hap. Dalam perjalanan pulang dari pertemuan paguyuban, mereka menilai kinerja aparat terhadap tragedi kemanusiaan Semanggi belum mengarah pada kemajuan, apalagi penyelesaian. Ketiganya kemudian menggagas sebuah aksi hening di depan istana presiden untuk menekan lembaga negara agar menuntaskan kasus Semanggi dan melawan pelupaan atasnya.

Bukan Pengerahan Massa

Pada awalnya jauh dari bayangan menyelenggarakan aksi dengan pengerahan massa. Pergerakan tersebut dimulai hanya dari tiga orang dengan atribut duka cita dan selebaran kemanusiaan. Mereka kemudian menawarkan aksi kepada keluarga korban lain. Sebagian kesulitan untuk terlibat dalam aksi karena tanggung jawab finansial atau alasan kesehatan. Sebagian bahkan mengundurkan diri dari paguyuban karena capek dengan capaian perjuangan. Kelelahan serupa menimpa pendampingnya. Aksi Kamisan pertama berlangsung pada hari Kamis, 18 Januari 2007 dengan peserta paguyuban keluarga korban tragedi Trisakti-Semanggi I-II, Mei 1998, penculikan aktivis 1997/1998, Tanjung Priok 12 September 1984, Talangsari 7 Februari 1989, 1965, 27 Juli 1996, penggusuran dan Munir.  

Kesaksian Akan Ketidakadilan 

Chairun Nissa dalam diskusi yang berlangsung di Balai Soedjatmoko, Solo, 9 Juni 2012, mengatakan bahwa film yang ia buat diangkat dari buku “Payung Hitam Keadilan”. Buku ini berisi kisah 11 perempuan penyintas dengan kisah kehidupan yang penuh dengan ketidakadilan. Nissa memilih dua perempuan dengan latarbelakang Ibu Neneng dari desa dan Ibu Sumiarsih dari kota. Wilayah yang berbeda dengan ketidakadilan yang sama dan masih sama sama berjuang untuk keadilan.

Cerita film ini semakin diperkuat dengan hadirnya Ibu Sumiarsih yang juga turut memberikan pandangan tentang apa yang diberikan negara setelah anaknya, BR Norman Irmawan, meninggal tertembak dalam tragedi semanggi I. Ibu Sumiarsih memangdang pemerintah belum memberikan tanda-tanda keadilan. Sebagai seorang Katolik, ia telah mengikhlaskan kepergian anaknya. Tapi dia akan terus memperjuangkan tegaknya supremasi hukum sebagai bentuk rasa cinta pada anaknya. Selama perjuangannya, banyak orang yang silih berganti mendampinginya. Namun yang hingga saat ini masih terus bersama sama dengan Ibu Sumiarsih dan keluarga berjuang adalah seorang romo, Romo Mutiara Andalas, SJ.

Romo Mutiara Andalas SJ mendampingi  dan menuliskan aksi Kamisan yang dilakukan Ibu Sumiarsih di depan Istana Merdeka dalam buku “Penyair Kebenaran di Republik Kekerasan”. Secara keseluruhan, buku ini lebih dari sekadar esai yang menceritakan kesaksian-kesaksian para korban pelanggaran hak asasi manusia berat. Perjuangan para korban dan aktifis HAM merupakan pengingat pemerintah yang sering lupa ketidakadilan masa lalu karena saat ini keberadaan lembaga hukum negara justru menjadi lembaga kebohongan.

Curahan Hati Jejer Wadon

Hal yang menarik dalam kegiatan ini adalah saat anggota Jejer Wadon, Sartika Dian Nuraini, membacakan puisi “Tirani Harus Tumbang” karya Wiji Thukul (korban penghilangan paksa 1997-1998). Sebelum membaca, ada semacam prolog yang lebih pas disebut curhat dari sang pembaca. Sartika Dian Nuraini adalah anak seorang tentara, ia merasa sangat tersiksa dengan stigma tentara yang merupakan pelaku kekerasan dalam beberapa tragedi dan konflik yang terjadi di Indonesia. Dia juga mengalami keterkucilan karena lingkungannya yang mungkin kebanyakan anak para korban kekerasan yang sangat  membenci  tentara. Stigma tentara sebagai pelaku kekerasan ini terus disandingkan dengannya, padahal dalam hati nuraninya sebagai seorang manusia, dia tidak ingin mendapatkan pandangan tersebut. Dia ingin menjadi pribadi yang mengasihi sesama, khususnya mereka yang menjadi korban kekerasan tragedi dan konflik. Curhatnya hampir membuatnya menangis keras, tapi karena dia membaca puisi,  kesedihannya terungkaplah dalam puisi.

Tak dapat dipungkiri bahwa hingga saat ini, masih banyak yang berjuang untuk mendapatkan keadilan atas ketidakadilan dan ketidakpedulian pemerintah terhadap konflik terdahulu. Walaupun mungkin ada langkah yang dilakukan pemerintah terhadap korban dan keluarga korban, kalau tidak ada rasanya, ya sama saja belum adil. :: balaisoedjatmokosolo/NarilaPutri-Kompasiana

 

sumber

Leave a Reply