Institut Perempuan: Sejumlah UU RI Abaikan HAM Anak dan Perempuan

Masyarakat internasional memperingati 10 Desember sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM). Pada hari ini, 60 tahun setelah PBB mendengungkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, negara Republik Indonesia dan komunitas HAM di negeri ini diingatkan kembali pada peran masing-masing dalam menegakkan HAM seluruh rakyat Indonesia. UUD 1945 menyebutkan,”Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan” (Pasal 28I ayat 5). Sudah seharusnyalah negara hukum Indonesia menyusun peraturan perundang-undangan yang menjamin HAM.

Sejumlah UU telah diundangkan untuk memberikan jaminan HAM bagi perempuan dan anak, antara lain UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Selain itu, Indonesia telah pula meratifikasi dan mengundangkan Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women/CEDAW sebagai UU No. 7 Tahun 1984; serta Convention on the Rights of the Child/CRC sebagai Keppres No 36 Tahun 1990. Kedua instrumen HAM ini merupakan instrumen HAM terpenting yang mengatur mengenai hak asasi perempuan dan hak asasi anak. Namun demikian, sejumlah UU belum mencerminkan adanya jaminan hak asasi perempuan dan hak asasi anak.

Sebagai contoh, UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengizinkan perkawinan dengan anak perempuan yang berusia 16 tahun, telah melanggengkan praktek perkawinan anak (early child marriage), suatu praktek diskriminatif dan bertentangan dengan CEDAW dan CRC. Dalam hal usia anak, hingga kini negara belum menyelesaikan perbedaan usia mayoritas pada berbagai urusan dan menyatukannya dalam batas universal definisi anak, yaitu 18 tahun.

Dalam konteks pekerja anak, beberapa peraturan perundangan saling berbenturan misalnya UU Perlindungan Anak, UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; dan UU No. 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja, mengakibatkan luputnya perlindungan terhadap anak yang bekerja.

Diundangkannya UU Pornografi merupakan kemunduran. Dalam proses penyusunannya, UU ini mengalami penolakan dari masyarakat sejak berbentuk RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi hingga saat diundangkan menjadi UU Pornografi. UU ini bertentangan dengan semangat HAM, serta diskriminatif terhadap perempuan dan anak. Substansi UU Pornografi yang diskriminatif dapat ditemukan pada definisi pornografi dan muatan yang mengkriminalisasi perempuan, anak, lesbian dan melanggar hak individu untuk berekspresi, penguasaan tubuh dan seksualitas (Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 8, Pasal 10).

Pada peringatan Hari HAM tahun ini, sangat penting mendorong komitmen negara menegakkan HAM, hak asasi perempuan, dan hak anak. Untuk itu, kami, INSTITUT PEREMPUAN menuntut: Pemerintah melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang terkait perempuan dan anak agar sesuai dengan CEDAW, CRC, serta dan instrumen HAM lainnya.

Bandung, 10 Desember 2008
Demi Keadilan, Kesetaraan, dan Kemanusiaan,

INSTITUT PEREMPUAN

R. Valentina Sagala, SE., SH., MH.

Chairperson of Executive Board

INSTITUT PEREMPUAN

Jl. Dago Pojok No. 85,
Coblong, Bandung 40135
Telp./Faks.: +62.22.2516378
E-mail:
Web: www. institutperempuan. or. id

sumber >> Siara Pers Institut Perempuan pada Hari HAM Sedunia, 10 Desember 2008 yang berjudul “Salah Satu Wujud Penegakan HAM: Negara Menjamin HAM melalui Peraturan Perundang-undangan”.

Leave a Reply