Karena Tsunami, Perempuan Manokwari Tanam 32.000 Bibit Mangrove

Rika Rumadas di tengah hasil jerih payah yang diratakan oleh ekskavator. (foto > Rika R)

MONGABAY.CO.ID – Ini cerita perempuan-perempuan dari Manokwari, Papua, yang sadar akan keterancaman bencana tsunami lalu menanam puluhan ribu mangrove. Kelompok ini terdiri dari kalangan perempuan berusia rata-rata 50 tahunan.

Berawal dari peristiwa 10 Oktober 2002, ketika gempa menguncang Ransiki, distrik Manokwari, Papua Barat, yang kini menjadi ibukota Kabupaten Manokwari Selatan. Rika Rumadas, terpaut ratusan kilo meter dari distrik itu, tepatnya di Kampung Wamesa, distrik Manokwari Selatan, Manokwari. Dia terhempas di atas perahu karena kiriman gelombang tsunami usai gempa. Malam itu, Rika usai memancing di sekitar pantai, beruntung tsunami tak merengut nyawanya.

Itu kejadian 15 tahun silam.

“Beruntung ombak (tsunami) tak mematikan. Saya hanya kaget karena perahu terhempas dan berusaha mendayung ke kampung. Saya mendayung ternyata sudah jalan raya,” katanya, memulai bercerita.

Kabupaten Manokwari Selatan merupakan daerah rawan gempa. Pada 2002, gempa di siitu terjadi dua kali, pada September 6 skala Richter dan pada Oktober 7,6 skala Richter, diikuti tsunami. Tsunami terpantau di Pesisir Ransiki, Oransbari hingga Manokwari. Di Manokwari, ketinggian terpantau satu meter. Akibat gempa, delapan orang meninggal dunia, 632 terluka, dan 1.000 rumah hancur di Ransiki, Oransbari dan Manokwari.

Saat itu, Rika sedang ditunggu keluarga. Warga lain di kampung berpenduduk sekitar 97 keluarga itu sudah berlari ke bukit sekitar satu kilometer dari kampung. “Keluarga laki-laki menunggu saya bersama-sama lari ke daerah aman.”

Selviana Yoweni, perempuan lain di kampung itu, bercerita tentang kepanikan warga saat tsunami. “Saya lagi masak ada gempa. Menyusul tsunami. Kami yang perempuan diminta keluar rumah, berlari ke bukit,” katanya.

Dampak dari tak memadainya informasi tentang bencana alam itu, tsunami yang dialami tidak jadi pelajaran berharga bagi warga. Mereka kembali hidup normal seperti tak pernah ada bencana.

 

Kota Manokwari, kabupaten Manokwari Selatan, Papua Barat

Pemahaman Baru Satu Dasawarsa Kemudian

Sepuluh tahun kemudian, pada 2013, warga Manokwari Selatan, termasuk Rika dan Selviana beserta tujuh perempuan lain di kampung itu, baru tahu bahwasanya mereka bisa selamat dari tsunami karena pantai memiliki pelindung alami yakni, mangrove. Di Manokwari, tanaman itu mulai berkurang karena sering ditebang.

Kesembilan perempuan dari Kampung Wamesa itu baru tahu mangrove sebagai pelindung utama dari hantaman gelombang tsunami setelah mengikuti edukasi dari sebuah lembaga yang datang ke kampung pada 2013.

“Kami kelompok mama-mama yang tadinya sering mengambil mangrove untuk dijadikan kayu bakar, bahkan kadang dijual, jadi merasa bersalah. Kami akhirnya tahu tentang pentingnya menjaga mangrove, lalu berhenti menebang mangrove,” ujar Rika.

Kelompok perempuan ini konsisten menanam mangrove. Mereka diajar cara mencari bibit mangrove, menyiapkan koker (polybag), menentukan lahan, menanam, hingga merawat.

Akhirnya pekerjaan dimulai pada Maret 2013. Tiap pagi, selepas menyiapkan sarapan keluarga dan membereskan pekerjaan rumah, mereka berjalan kaki ke hutan mangrove yang berjarak sekitar satu kilometer dari kampung. Mereka mencari bibit mangrove yang jatuh dari pohon induk. Bibit-bibit dikumpulkan di pinggir hutan. “Pekerjaan itu kami lakukan tiga kali seminggu,” kata Rika.

Kelompok perempuan kampung Wamesa membibit mangrove dengan koker (foto > Rika R)

Semangat yang Tak Kenal Usia

“Kami kadang dimarah suami. Kami bilang mangrove kami tanam itu nanti pele (menghalangi-red) kita dari tsunami,” kata Lea Dubri (37), satu-satunya anggota yang masih muda. Rika, Selviana dan teman-teman mereka Orpa Dubri, Hermalina Suabei, saat itu berusia 50an. Sementara Paulina Inggesi Mansumber meninggal dunia karena tumor kandungan di usia 75 tahun. Rika Dubri, satu lagi anggota yang berusia 69 tahun, jatuh sakit.

Rika mengatakan, meski Paulina sudah lanjut usia namun almarhumah sangat bersemangat. Hampir setiap mereka bekerja dia selalu terlibat. “Ibu Paulina kalau duduk sambil koker sampai keram. Kalau mau berdiri kami harus bantu. Setelah itu harus menunggu sampai keram hilang baru kami pulang,” kataya. “Rika Dubri juga sangat bersemangat.”

Setelah masuk polybag, para perempuan tangguh itu menanam anakan mangrove. Dengan kaki telanjang mereka giat menanam di sela-sela pohon mangrove pada area yang lebih luas.

Bahkan, kala menyiapkan lahan di lokasi dengan tumbuhan berduri tajam, tubuh mereka sampai luka-luka berdarah. “Kami bekerja di hutan mangrove dari pukul 9.00 sampai 18.00. Hujan pun kami bertahan.”

Orpa Dubri mengatakan, masyarakat lain di kampung itu menggunjing aktivitas mereka selama ini. “Mereka kira kami dibayar. Mereka bilang kalau dibayar itu kasih tahu supaya kita bantu. Kami tak dibayar. Kami bekerja menebus ‘dosa kami’. Kami sadar pentingnya memelihara mangrove,” katanya. “Suami saya tak marah. Dia mendukung saya.”

Rika dan rekan melewati papan penunjuk arah evakuasi di kampung Wamesa. (foto > Duma Sanda)

32.000 Bibit Mangrove selama 2,5 Tahun

Perjuangan mama-mama Wamesa menanam mangrove terus berlangsung selama 2 tahun 6 bulan, berakhir di tahun 2015. Selama itu mereka berhasil menanam 32.000 bibit mangrove di lahan seluas 6 hektar. Bibit diperoleh dari dari Gunung Botak, yang terletak di kabupaten Manokwari Selatan dan Teluk Bintuni, di mana terdapat habitat mangrove terluas di Indonesia.

Kadang aktivitas mereka dibantu anak-anak sekolah Minggu. Mereka juga pernah dibantu komunitas lain, bahkan mantan Bupati Manokwari Bastian Salabai pernah ikut menanam. Perawatan mereka lakukan seperlunya. Kadang mereka juga harus menanam ulang bibit yang mati atau terseret air pasang.

Sayangnya, jerih payah kelompok perempuan itu kemudian ada yang merusak. Bibit yang sudah jadi pohon rimbun kini sebagian rata dengan tanah. Dua alat eskavator diam-diam masuk melalui pantai dan menerjang pohon-pohon yang tumbuh subur itu. Bibit-bibit yang mereka siapkan di koker untuk pengganti bibit yang mati juga hancur.

Pemilik lokasi itu disebut-sebut menghabiskan pohon-pohon ini untuk menyambut program Pemerintah. Mereka tak bisa berbuat banyak. Upaya mereka bertemu bupati belum membuahkan hasil. “Kami ingin tahu batas tanah kami ini sampai di mana. Kami pikir lahan yang kami tanami itu milik kami,” ucap Rika.

Rika bersama warga di Kampung Wamesa dikenal sebagai suku pendatang. Tanah yang mereka tempati adalah pemberian tuan tanah setempat. Dulu ukuran cukup luas, namun menyusut perlahan karena desakan pembangunan. :: MONGABAY.CO.ID/DumaSanda/April2017

Leave a Reply