Perempuan Dayak Bela Kearifan Lokal Tembawang Dari Ancaman Sawit

Masyarakat di sekitar hutan Tembawang, Kalimantan Barat. (foto > programsetapak.org)

 

SAMPANKALIMANTAN.ORG – Istilah “Tembawang” masih dianggap asing di Kalimantan Barat. Bukan hanya bagi masyarakat luar Kalbar, masyarakat lokal sendiri pun tidak semuanya mengetahui makna Tembawang. Selain itu, banyak juga masyarakat yang tidak memahami peran dan pentingnya keberadaan Tembawang. Istilah Tembawang, jika ditinjau melalui perspektif linguistik dan dialek penyebutannya, identik dengan bahasa yang digunakan oleh suku Dayak. Suku dengan sejarah dan peran penting dalam perkembangan peradaban kebudayaan, ekonomi, sosial, dan politik di Kalbar.

Bagi suku Dayak, Tembawang merupakan definisi yang mengarah pada wilayah atau tempat yang ditumbuhi oleh pepohonan. Kemudian, wilayah itu didominasi oleh tanaman buah-buahan dan tumbuhan sejenis lainnya. Tembawang merupakan hasil proses perkembangan pemukiman dan budidaya, sesuai dengan sistem dan hukum adat yang berlaku, serta memiliki manfaat ekonomi, ekologi, tradisi seni dan budaya. Jadi, tidak salah apabila berargumentasi tentang Tembawang kemudian dihubungkan dengan suku Dayak.

Menelusuri istilah dan sejarah Tembawang berarti menelusuri kehidupan suku Dayak. Hal inilah yang membuat rasa keingintahuan penulis terhadap Tembawang muncul sangat kuat. Rasa ingin tahu itu muncul tidak begitu saja. Sudah satu tahun lebih mendengar Tembawang di berbagai media maupun dari teman sejawat bersuku Dayak. Tembawang sampai menjadi pemicu imajinasi di benak.

Rasa haus akan informasi tersebut mulai menemukan titik terang ketika seorang teman menceritakan kisah seorang ibu dan dua anaknya, di desa Tanjung Maju Kabupaten Ketapang, yang menjaga Tembawang dari kehancuran melalui masuknya perkebunan sawit.

Tidak mudah memang mengilustrasikan kisah tersebut di kepala. Ada perbedaan latar belakang suku dan serta lingkungan hidup yang belum pernah menjamah keberadaan Tembawang. Namun, ketika mendengar ada seorang ibu dan dua anaknya, yang menjaga Tembawang dengan segala upaya dan rela mengorbankan diri, muncul keberanian serta kekuatan rasa ingin tahu untuk mengungkap persoalan Tembawang.

Tanjung Maju, Desa Ibu-ibu Berani Maju

Perjalanan dimulai sedini pagi itu. Matahari baru lahir dari kandungan langit. Lokasi desa Tanjung Maju sekitar tiga jam tiga puluh menit dari kota Pontianak. Sesampainya di sana, keheningan menyambut. Rumah berbaris rapi dengan daun atap sagu serta dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang menjulang tinggi ke langit. Air masih menetes dari daun-daun yang membasahi lantai bumi. Cahaya matahari terpancar melalui celah-celah daun rindang. Terasa masih begitu melegakan udara di pagi itu.

Roda motor terhenti di depan sebuah kerumunan ibu-ibu yang tengah sibuk menganyam daun kelapa menjadi karpet. Sebagian lagi sedang membuat tanggui, alat kepala penghindar panas layaknya topi. Tidak lama kemudian, lontaran pertanyaan terucap dari ibu paruh baya. Nada suara ramah memecah keheningan. Maksud dan tujuan kedatangan disampaikan sembari berbasa-basi mengakrabkan diri. Namanya Ibu Simon. Tidak disangka, Ibu Simon, sang tokoh perempuan yang menjadi buah bibir teman sejawat, ternyata berada di antara kerumunan tersebut. Ibu Simon betul menunjukkan pribadi ramah, seperti yang dikatakan oleh temanku.

Derap kaki mulai melangkah meninggalkan kerumunan. Sampailah di sebuah rumah yang terletak di ujung kampung. Sebuah pohon besar menyambut kunjungan kami di pekarangan rumah. Daun-daun tertata rapi menjadi sebuah tumpukan. Disitu pula ada sebuah kursi dan meja tempat melepas lelah. Di situ Ibu Simon mulai bercerita.

 

Contoh Tembawang milik masyarakat adat Kalimantan. (foto > Meki/borneoclimatechange.org)

Makna Timbawang Bagi Orang Dayak

“Masyarakat suku Dayak di sini mengenal Tembawang dengan istilah Timawang atau “kampung lama”.

“Disebut kampung lama karena dulunya pedukuhan diawali dengan berladang serta di sekelilingnya ditanami kebun buah seperti durian, cempedak, langsat, dan tanaman buah lainnya,” katanya. Lanjutnya lagi, “Kampung akan menjadi Tembawang jika lokasi tersebut tidak digunakan lagi untuk berladang. Sayang jika tanaman buah ditebang karena sudah besar dan menghasilkan buah,” tuturnya.

Tembawang adalah sumber penghidupan masyarakat. Meskipun panen buah dilakukan hanya setahun sekali, namun hasilnya berlimpah. Cukup membantu perekonomian keluarga. Masyarakat lokal memiliki adat istiadat dalam memelihara kelangsungan Tembawang. Sebelum berbunga, ada upacara adat agar bunga yang tumbuh tidak gugur sehingga hasil buah berlimpah. Pada saat panen, ada lagi ritual adat sebagai rasa syukur akan hasil panen. Banyak aturan adat yang mengatur Tembawang sehingga kondisinya masih terjaga sampai sekarang.

Sanksi adat diberlakukan jika menebang satu pohon saja tanpa ada sosialisasi dengan masyarakat setempat tentang alasan mengambil kayu di Tembawang. Beruntung, kunjungan ke desa Tanjung Maju bertepatan dengan musim buah. Ibu Simon mengantar ke Tembawang pada saat buah-buah lahir dari batangnya.

Perempuan Menjaga Rapat Di Musim Panen

Perjalanan menyusuri lokasi Tembawang serasa seperti jalan di pasar pagi. Terdapat banyak titik cahaya terpancar dari pembakaran ranting kering. Setiap titik terlihat 5-6 orang sedang berkerumun. Kebanyakan perempuan dan anak-anak usia 10-15 tahun.

Ibu Simon bercerita, pada saat musim panen, ibu dan anak-anak akan berjaga di Tembawang. Mereka menunggu buah matang jatuh dari pohon. Mereka berkumpul 5-10 orang sambil membuat api-api untuk menghangatkan badan dan menghalau nyamuk. Rutinitas dilakukan setiap hari selama musim panen. Masyarakat turun dari rumah mulai jam 10 malam dan pulang setelah matahari muncul di ufuk Timur.

Pada saat menunggu, orang yang dituakan akan bercerita sejarah Tembawang, sejarah suku, dan nilai-nilai di masyarakat yang menjadi adat dan istiadat. Nilai-nilai diceritakan sampai pendengar mengerti dan mampu menceritakannya kembali. Adat istiadat tersebut sudah dilakukan sejak dulu. Sehingga generasi penerus mengerti nilai-nilai di masyarakat yang mereka harus patuhi.

Perjalanan semakin jauh ke hutan. Semakin kedalam semakin banyak terlihat kerumunan orang. Hutan yang bisanya hening menjadi ramai. Keriangan kaum perempuan dan cercah-cerah cahaya di sela-sela pohon menyatu menyatu menghidupakan suasana Tembawang. Langkah kaki terhenti di sebuah pohon besar. Ibu Simon mengambil ranting-ranting kering untuk menyalakan api. Sembari membersihkan lokasi di sekeliling agar bisa diduduki.
Sesaat kemudian, Ibu simon melanjutkan ceritanya.

 

Dengan naungan sementara yang mereka dirikan dalam kawasan tembawang digunakan untuk menginap dan menunggu jatuhnya buah durian dari pohonnya. (Ketapang, 28/06/2014 © Armin Hari)

 

Sumber Ekonomi, Sosial Budaya, Pendidikan dan Pemersatu

“Itulah kenapa Tembawang penting,” tutur Ibu Simon. “Tidak hanya menjadi sumber tambahan ekonomi masyarakat. Ia juga memiliki nilai sosial dan budaya…sumber air bersih bagi masyarakat…pemersatu masyarakat. Jika ada kerumunan tidak memperoleh hasil panen buah karena buah belum masak, yang lain akan membagikan buahnya. Masa panen juga masa mendidik generasi muda. Mengajarkan pentingnya hutan dan waktu bagi orangtua untuk memberikan nilai moral kepada generasi muda.”

Bagi kaum perempuan, menurut Ibu Simon, Tembawang diwariskan rata dengan laki-laki. Mereka diberi kuasa memiliki Tembawang, bahkan hak menjual. Sangat jarang ada perempuan menjual Tembawang. Nilai Tembawang penting bagi perempuan untuk menularkan nilai-nilai moral bagi anaknya. Tembawang tempat bagi kaum perempuan untuk membantu perekonomian keluarga. Tembawang juga tempat perempuan belajar cara pengobatan tradisional.
Itulah kenapa Tembawang penting tidak hanya bagi laki-laki. Perempuan menjaga dan merawat Tembawang bagai anaknya. Terutama ketika pihak-pihak pengusaha perkebunan sawit mulai bermanis-mulut menawarkan peluang ekonomi jika direstui membuka perkebunan di wilayah Tembawang mereka.

Perempuan Pembela Tembawang Bersatu Menolak Sawit

Nada suara Ibu Simon mulai meninggi. Semangatnya bercerita semakin menguat. Layaknya seorang orator yang menegaskan identitas diri.

“Masyarakat beruntung mempunyai contoh. Dua kampung di sekitar sini sekarang hidupnya tidak tenang karena merestui perkebunan sawit masuk. Setiap harinya, ada saja masalah muncul. Tembawang di sana tinggal sedikit. Tinggal dimiliki beberapa keluarga. Gaya hidup generasi muda mulai aneh-aneh. Orang luar banyak berdatangan dari seluruh penjuru. Masyarakat bekerja sepanjang hari. Tidak banyak waktu lagi untuk bercerita menularkan nilai-nilai sosial ke generasi muda. Sudah 5 tahun perkebunan sawit masuk. Tidak ada perubahan muncul.”

Kenyataan tersebut menjadi bekal Ibu Simon mengajak perempuan di kampungnya untuk teguh menjaga Tembawang. Satu persatu perempuan didatangi untuk bersama-sama menjaga Tembawang. Pekerjaan yang tidak mudah bagi Ibu Simon. Banyak yang setuju. Tidak sedikit menolak. Tekadnya yang membara sedikit demi sedikit menuai hasil. Kaum perempuan mulai mengerti kenapa Tembawang tidak untuk perkebunan sawit. Hingga akhirnya masyarakat satu suara tidak menyerahkan Tembawang menjadi sawit.

Tidak terasa, matahari mulai muncul dari ufuk Timur. Ibu Simon beranjak meninggalkan hutan. Pengalaman hidupnya telah ia tumpahkan satu persatu. Ceritanya memberikan gambaran tentang Tembawang secara utuh. Tidak terpotong-potong. Rasa ingin tahu tentang Tembawang terbayar sudah. Rasa lelah sepanjang malam terbayar dengan kisah inspirasi dari seorang perempuan tidak berpendidikan. Muncul niat di hati ini untuk ikut bersama Ibu Simon menjaga Tembawang. :: SAMPANKALIMANTAN.ORG/DN+OS/24des2015

Leave a Reply