Kenapa Permasalahkan Perempuan Berpolitik?

Oleh Astrid Ayu Septaviani

 

Perempuan parlemen Indonesia

 

Tiga puluh persen keterwakilan perempuan di legislatif baru ramai diperbincangkan pada Pemilu 2009. Hal tersebut dinilai sebagai kurangnya dukungan masyarakat Indonesia kepada kaum perempuan untuk berpolitik. Padahal Nabi Muhammad SAW bersabda : “Wanita itu tiang Negara”, ini berarti tak ada yang mengharamkan perempuan melakukan kegiatan bernegara termasuk berpolitik dan menjadi pemimpin. Lalu apa dan siapa yang kemudian mempermasalahkan perempuan dalam berpolitik?

Sebelum kemerdekaan, perempuan Indonesia sebenarnya telah berperan dalam “politik” perjuangan memerdekakan Indonesia. Pramoedya Ananta Tour dalam novel “Larasati” menceritakan bagaimana tokoh Larasati, seorang aktris yang aktif memperjuangkan kemerdekaan dengan caranya sendiri. Larasati menggunakan tubuhnya sebagai alat perjuangan. Meski hanya cerita novel, Pram ingin menceritakan apa yang mungkin terjadi dan tak diketahui oleh banyak pihak, bahwa perjuangan dan politik adalah milik siapa saja. Bukan hanya milik para pejuang yang memakai bambu runcing, bukan pula hanya milik para kaum intelektual muda yang belajar di sekolah khusus kaum bangsawan atau sekolah – sekolah ternama di Belanda, Swiss, Inggris, atau negara lainnya.

Kembali ke dunia nyata. Indonesia mencatat perjuangan seorang wartawati bernama S.K. Trimurti yang keluar masuk penjara karena tulisan- tulisannya yang aktif mengajak masyarakat melawan penjajahan Belanda dan Jepang dengan caranya sendiri – sendiri. Selama dipenjara, Ia mendapat siksaan dari Jepang yang memukul kepalanya hingga pingsan di hadapan suaminya sendiri. Ia bahkan melahirkan anak keduanya di penjara. Kini namanya diabadikan dalam sebuah penghargaan bernama “S.K. Trimurti Awards”.

Anda pasti mengenal Inggit Garnasih. Banyak masyarakat yang mengira Bu Inggit adalah istri pertama Bung Karno, namun fakta berbicara Utari, putri pahlawan nasional H.O.S. Tjokroaminoto adalah istri pertama Bung Karno, yang kemudian dicerai oleh Bung Karno sebelum menikahi Bu Inggit. Keterlibatan Bu Inggit dalam politik dan perjuangan kemerdekaan memang tidak secara langsung. Beliau menjual bedak dan jamu buatan tangannya, lalu menggunakan hasil penjualan bedak dan jamu untuk kebutuhan rumah tangga dan kegiatan perjuangan Bung Karno. Bu Inggit pula yang dengan cerdas menyelundupkan buku – buku, Koran, dan bahan bacaan untuk Bung Karno selama Bung Karno dipenjara. Bahan bacaan itulah yang menjadi bahan kerangka pidato pembelaan Bung Karno pada sidangnya di tahun 1930.

Megawati Soekarno Putri memimpin Indonesia selama 3 tahun. Kontroversi seputar kepemimpinan perempuan mewarnai perjalanannya sebagai Presiden. Banyak yang menentang kepemimpinan perempuan, apalagi bila dikaitkan dengan aturan Agama. Prestasi dan kinerjanya masih menjadi pro kontra hingga kini. Terlepas berhasil tidaknya Megawati menjadi Presiden, Mega telah memberi contoh konsistensi dalam berpolitik kepada masyarakat Indonesia. Beberapa kali, Sang Penerus, Puan Maharani didekati rival politiknya sebelum dan sesudah Pemilu 2009. Terakhir, saat isu reshuffle kencang berhembus, nama Puan pun disebut akan mengisi kursi menteri. Di saat seperti ini, sebagai politisi, Mega tetap tegas menunjukkan konsistensinya sebagai partai di luar Pemerintah yang tidak mungkin masuk dalam Pemerintahan. Ya, sekali lagi terlepas dari benar tidaknya isu tersebut, namun harus diakui ketangguhan mental seorang Mega ketika masa Orde Baru. Masalah kinerjanya sebagai presiden, kita berhak memiliki penilaian yang mungkin berbeda.

Sifat keras dan tegas juga dimiliki walikota perempuan pertama Surabaya, Tri Rismaharini. Sejak pelantikannya pada Oktober 2010, Risma tak pernah berhenti diterpa masalah. Mulai dari penolakannya menutup lokalisasi Dolly secara langsung, penolakannya terhadap Tol Tengah Kota, rencana pengusiran Persebaya dari Mess Persebaya, kenaikan Pajak Reklame, RAPBD yang tak pro-rakyat, upaya pemakzulan oleh DPRD, hingga retail yang tak berijin. Tapi lihatlah apa yang sudah diberikannya untuk Surabaya. Risma menghijaukan setiap sudut kota, membangunkan taman- taman kota, sarana bagi pejalan-kaki, kali yang lebih bersih, hingga lahirnya tender online e-procurement sebagai upaya mencegah korupsi dalam proses pengadaan. Perempuan yang sempat akan dimakzulkan itu, hingga detik ini masih menjadi pemimpin warga Surabaya. Melihat kembali peran para perempuan di atas dalam politik, masih haruskah kita memperjuangkan perempuan dalam berpolitik? Satu hal yang sering dilupakan: perempuan Indonesia telah berpolitik, bahkan ketika Indonesia belum Merdeka. :: AAS/04042011

http://astridseptaviani.wordpress.com

Leave a Reply