Ide Luhur Mbak Ningsih Itu Bernama Sekolah Hijau

plang sh dan ibu2[VHRMEDIA.COM] – Aku masih menyelesaikan tulisanku, ketika suara SMS menyapaku dengan kabar yang dikirimkan seorang kawan. Permintaannya sederhana, “tolong smsku diketik dan dimuat di internet ya”. Ningsih namanya. Akhir-akhir ini aku memang sering mendapatkan kabar darinya, tentang apa pun yang terjadi dengan Sekolah Hijau. Sekolah yang diinisiasi kelahirannya oleh perempuan yang kukenal sejak dua tahun lalu ini. Perempuan satu ini memang luar biasa, dia ingin hidupnya berguna buat sesama. Puisi yang dibacakan pada kongres Sarekat Hijau Indonesia dua tahun lalu mengingatkanku pada nilai-nilai perjuangan bagaimana memanusiakan manusia.

Karena itulah, di tengah himpitan ekonomi yang dihadapi sehari-hari, semangat itu terus menyala dalam hati dan pikirannya. Kontrakan rumahnya yang mungil disulap menjadi tempat berkumpul ibu-ibu tetangga yang bisa mendatangkan manfaat. Dengan bekal keterampilan dan pengetahuan selama ini yang didapatkan dari organisasi lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Barat dan Sarekat Hijau Indonesia, kumpulan tersebut diberi nama “Sekolah Hijau”.

Yuk, Ngulik Sampah di Sekolah Hijau

sekolah-hijau-isi

[DETIK.COM] – Dalam hitungan detik sampah menumpuk dan mengotori berbagai tempat dan tak jarang membuat polusi dan pencemaran. Tapi jika kita pandai mengolahnya, sampah tak melulu haya bisa mengotori dan mencemari.

Seperti yang dilakukan Prapti Wahyu Ningsih (31) yang akrab disapa Ningsih, ia menyulap berbagai sampah yang sudah terbuang menjadi bermacam alat yang bisa digunakan kembali.

Sampah bisa ia sulap menjadi sandal, bunga, tas, nampan, hiasan hingga undangan pernikahan. Barang-barang ini kemudian mempunyai nilai jual dengan harga yang terjangkau tergantung barangnya, ada yang Rp 3 ribu, ada juga yang Rp 10 ribu.

“Semiskin-miskinnya orang pasti menghasilkan sampah. Daripada sampah kembali kepada kita berupa penyakit dan bencana, lebih baik kita mengolahnya,” kata Ningsih.

Ningsih dan warga sekitar Kelurahan Pasir Wangi, RW 3 RT 3, Ujung Berung, belajar bersama mengolah sampah dalam naungan Sekolah Hijau yang ia dirikan sekitar dua bulan lalu. Ningsih ditemani temannya Dani Simbada (31) mengajarkan cara mengolah sampah kepada siapa saja, tak terbatas umur dan juga tak dipungut biaya.

“Kita di sini ingin membantu mengurangi sampah sekaligus, mudah-mudahan bisa membantu ekonomi warga sekitar, dan anak-anak justru biasanya yang paling cepat belajar,” ujar Ningsih semangat.

Ningsih dalam menjalankan daur ulang sampah di sekolah Hijau melakukan subsidi silang.? Jadi Ningsih menerima sampah dari relasinya di kota, kemudian ia mengolahnya menjadi barang yang mempunyai nilai jual. Ketika sudah mendapatkan uang, ia membeli sampah-sampah warga sekitar yang kebanyakan ekonominya menengah ke bawah.

“Warga sini suka mengeluh, karena sampah mereka tidak seperti sampah dikota, misalnya sampah plastik detergen atau pengharum,” ujar Ningsih. Tapi, Ningsih mengatakan ia tetap memilah dan menanyakan dari mana warga mendapatkan sampahnya sebelum ia beli.

“Saya biasa menyebut cara ini dengan jemput zakat sampah dan berkarya dengan sampah,” kata Ningsih sembari tertawa.

Ningsih mengaku barang-barangnya sering dipesan orang-orang, entah untuk butik, undangan pernikahan, sampai perusahaan-perusahaan pariwisata international. Namun begitu, Ningsih mengaku masih kesulitan jika ada yang memesan dalam jumlah besar.

Dalam pengerjaanya, sampah-sampah Ningsih cuci terlebih dahulu, tapi Ningsih juga menegaskan cara cuci yang ia pakai harus tetap hemat air. “Jadi sampah seperti plastik saya lap dengan spon bersabun yang kemudian saya lap kembali dengan spon basah yang bersih,” tegas Ningsih sambil memperlihatkan caranya.

Saat ini Ningsih sibuk dengan tehnik barunya dalam mengolah sampah. Ia dapat membuat kertas kembali menjadi sekeras kayu, yang akhirnya dapat menjadi tempat pensil atau hiasan lainnya.

Ningsih hanya berharap dari Sekolah Hijau yang ia dirikan, ia dapat membantu menjaga lingkungan. Selain itu, ia juga berharap dapat membuat kampung wisata di daerah Ujung Berung, sehingga nantinya para turis luar Bandung tidak hanya mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan jika ke Bandung, tapi juga mengunjungi daerah Ujung Berung.

“Jadi kemacetan yang selama ini tersentralisasi saat liburan juga bisa berkurang,” ujar Ningsih seraya tersenyum. – (Aji Hutomo Putra/detikBandung/22apr2009)

Bukan hanya label hijau yang tertera pada namanya, Sekolah ini memang peduli terhadap lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan konsep yang ditawarkan dalam mengelola sampah. Maaf, Sekolah Hijau sampai saat ini memilih tidak bekerja sama dengan industri yang menghasilkan banyak sampah. Yang paling penting bagi perusahaan adalah bagaimana mengubah pola produksinya agar tidak merusak lingkungan. Sekolah Hijau mendapatkan sampah dari kegiatan yang disebut dengan zakat sampah.

Zakat Sampah

Apa itu zakat sampah? Sekolah Hijau menerima sumbangan barang-barang yang sudah dianggap tidak layak dipakai oleh pemiliknya. Barang-barang inilah yang dikreasikan menjadi berbagai produk sampah seperti tas, dompet, sepatu, sandal, tempat pensil, dan payung yang dibuat oleh ibu-ibu dan remaja putri. Barang ini kemudian dijual dan dari sinilah sedikit demi sedikit ibu-ibu di sekitar Sekolah Hijau bisa mendapatkan penghasilan tambahan bagi keluarga. Yang menarik lagi, pemilu legislatif yang lalu juga dimanfaatkan oleh sekolah ini untuk membuat berbagai produk “sampah” dari alat-alat kampanye caleg seperti spanduk dan banner. Luar biasa kreatif. Dan pasti yang seperti ini tidak dilirik para caleg, apalagi sebagian besar mereka kan tidak peduli terhadap urusan lingkungan.

Sekolah Hijau juga memproduksi minuman lidah buaya. Bukan hanya untuk menghilangkan dahaga, minuman ini juga dipercaya dapat menyembuhkan sakit mag, batuk, asma, dan paru-paru. Alasannya juga sederhana. Selama ini kita bergantung pada obat kimia, padahal banyak tumbuhan yang bisa diolah menjadi obat. Aku percaya seratus persen bahan-bahan minuman yang digunakan ini aman dan sehat, karena ibu-ibu di Sekolah Hijau juga telah memiliki alternatif bumbu-bumbu masakan yang dibuat sendiri, sebagai pengganti vetsin dan bahan pengawet. Keren kan, tingkat berpikir komunitas ini bahkan melampaui human development indeks
(HDI)-nya.

Sekolah Hijau mendirikan taman kanak-kanak. Tentu saja jangan dibandingkan dengan taman kanak-kanak seperti banyak sekolah alam yang muncul di kota-kota besar. Karena TK yang dibangun ini murni swadaya dari masyarakat yang tingkat sosial ekonominya berada di garis bawah. Bersama dengan teman-temannya yang juga menjadi relawan guru sedang merumuskan konsep pendidikan lingkungan dengan mimpi yang menurutnya sederhana, yakni bagaimana orang-orang kampung seperti Mbak Ningsih ini memiliki rasa percaya diri karena mempunyai kemampuan. Dan bagiku, ini bukan cita-cita yang sederhana, karena tidak sedikit orang yang mengalami krisis kepercayaan diri meskipun dilahirkan dari kelas sosial tinggi.

Sekolah Hijau membuka sarana konsultasi persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Respons dari masyarakat luar biasa, terutama dari ibu-ibu dan remaja putri. Kebanyakan dari mereka menceritakan persoalan biaya sekolah, tayangan televisi, lapangan pekerjaan, hamil di luar nikah, sampai mencari pacar atau jodoh. Bagi Sekolah Hijau, media konsultasi ini sebagai sebuah ruang interaksi yang dibangun bersama masyarakat. Menurut Mbak Ningsih, selain harus menjadi pembicara yang baik, Sekolah Hijau juga harus menjadi pendengar yang amanah.

Bagus juga idenya. Hari gini mana ada konsultasi gratis buat orang miskin? Padahal sehari-hari mereka dihadapkan pada pertarungan ekonomi global yang begitu sengit, dibutuhkan daya lenting yang tinggi dari masyarakat yang secara ekonomi dan politik berada pada posisi yang lemah. Dan negara lagi-lagi absen melakukan tugas-tugasnya. Kebayang pasti bahagia jika ada anggota DPR/DPRD mempunyai keinginan mendengarkan keluhan-keluhan rakyat seperti ini.

Pemerintah Bantu Doa

Pernah ada seorang wartawan yang bertanya kepada Mbak Ning, apakah sekolah hijau dibantu oleh pemerintah. “Alhamdulillah, kami dibantu dengan doa,” begitu jawabnya lugas. Dia memang tidak berharap banyak dari pemerintah, meskipun dalam penilaianku apa yang dibangun Mbak Ning dan komunitasnya merupakan hak konstitusional warga negara yang seharusnya dijamin pemenuhannya oleh pengurus negara.

Namun kerja kerasnya tidak sia-sia. Beberapa kali komunitas Sekolah Hijau diundang ke berbagai tempat untuk menceritakan pengalamannya dan bahkan beberapa kali muncul di layar kaca dan koran-koran lokal di Bandung. Berharap ide dari kampung ini bisa didukung oleh banyak pihak.

Apa yang dituturkan oleh Mbak Ningsih melalui pesan singkat itu hanya sekilas cerita dari begitu banyak dan besar ide-ide perubahan yang ada di benak komunitas miskin yang tinggal di kaki Gunung Manglayang kota Bandung, yang mungkin banyak yang tidak sempat terpikirkan dalam benak kita. Tulisan yang dihadirkan ini sesungguhnya hendak menghubungkan gagasan yang telah dibangun Mbak Ning dan teman-temannya di Sekolah Hijau dengan komunitas lain di mana pun. Saya jadi teringat kampanye Jaringan Advokasi Tambang, “Kita Terhubung”, dan tampaknya di sinilah rajutan nilai-nilai yang harus dibangun antar-perempuan dan komunitas untuk mengembangkan kerja-kerja alternatif untuk bisa saling berbagi dan saling mendukung.

Sarekat Hijau Indonesia juga percaya, dominasi tatanan ekonomi politik global yang telah melahirkan krisis harus dilawan dengan kerja-kerja alternatif lokal seperti yang dibangun Sekolah Hijau. Mungkin tidak gampang, karena yang dihadapi adalah sebuah sistem yang sudah mapan, tapi bukan mustahil cita-cita membangun tatanan dunia baru yang adil bisa diwujudkan. – [30 Juli 2009/Khalisah Khalid/vhrmedia.com]

Khalisah Khalid
Biro Politik dan Ekonomi
Sarekat Hijau Indonesia
Jl Jatipadang Raya No.5
Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12540
Telp/Fax +62-(0)21-7816501
http://www.sarekathijauindonesia.org

sumber artikel >> http://www.vhrmedia.com/Ide-Luhur-Itu-Bernama-Sekolah-Hijau-opini1921.html

Leave a Reply