Kisah Pendiri Sekolah Perempuan Pertama di Bandung

Oleh Nurul Wachdiyyah

Wanita keturunan menak ini lahir di Bandung 4 Desember tahun 1866. Pernah hidup berkecukupan dan selama beberapa tahun kemudian beliau mesti berjuang sendirian melawan lapar dan cacian di rumah pamannya. Sempat pula beliau meminta bantuan kepada orang yang dulunya menjerumuskan sang ayah ke tanah pengasingan di Bengkulu. Yang terjadi kemudian adalah sekolah yang didirikannya tersohor kemana-mana. Sekolah Kautamaan Istri, sekolah khusus untuk perempuan pribumi.
Saat Dewi Sartika berumur 8 tahun, Pemerintah Kolonial menghukum Raden Rangga Somanagara yang dianggap memberontak karena rencana dan aksi pengebomannya di upacara peresmian Bupati Bandung yang baru. Rangga Somanagara adalah ayahanda Dewi Sartika. Beliau tidak menyetujui pengangkatan bupati Bandung yang baru karena menurutnya bupati itu bukan orang asli Bandung. Pihak Belanda membuang mantan Patih Bandung itu ke Pulau Ternate. Beberapa priyayi lain yang ikut dalam aksi pengeboman juga turut diasingkan, termasuk kakek Dewi Sartika. Dewi Sartika dan kakaknya tinggal berpencar di antara kerabat keluarganya. Sementara Raden Ayu Rajapermas, ibu Dewi Sartika, memilih mengikuti suaminya di tanah pengasingan.
Dewi Sartika dan Masa Kecilnya
Kehidupan ala menak yang diperoleh Dewi Sartika kecil berhenti seketika semenjak ayahnya diasingkan ke Pulau Ternate. Dewi Sartika tinggal di rumah kakak kandung ibunya di Cicalengka, Raden Demang Aria Surakarta Adiningrat. Perlakuan tidak ramah dan kasar kerap kali dialami oleh Dewi kecil. Dewi Sartika dianggap sebagai anak pemberontak. Siapapun yang membela atau memperlakukan Dewi dengan baik akan dicap sebagai pro pemberontak. Karena alasan itulah, paman ibu Dewi yang juga Patih Cicalengka, memperlakukan Dewi Sartika sebagai abdi dalem di rumahnya.
Dewi mulai menjalani hidupnya yang sangat berbeda jauh dengan gaya hidup sebelumnya. Babak ini dimulai dengan drop out dari sekolahnya. Dewi menjadi abdi dalem alias pembantu di rumah pamannya sendiri. Beliau mulai terbiasa dengan pekerjaan yang layaknya dilakukan oleh para pelayan, yaitu mencuci, menjemur, menyapu, memasak dan menghidangkannya, serta semua pekerjaan sehari-hari lainnya. Yang membedakan Dewi dengan para abdi dalem lainnya adalah bahwa Dewi Sartika dapat membaca dan menulis. Semasa kecilnya di Bandung, Ibu Dewi sempat bersekolah di Sekolah Kelas Satu (Eerste Klasse Inlandsche School) di Bandung, sekolah khusus anak-anak Belanda dan priyayi.
Diluar tugasnya sebagai abdi dalem, Dewi yang sejak kecil rajin puasa senin kamis ini hanya merasa senang saat dirinya bisa mengikuti pelajaran dari Agan Eni, istri keempat pamannya. Agan Eni mengajarkan para perempuan menak bawah tentang kepandaian bertutur, bertingkah laku, memasak makanan sehat, berdandan, dan semua hal yang sudah seharusnya wanita kuasai untuk menyenangkan suami. Hanya dua hal yang tidak diajarkan Agan Eni, yaitu kemampuan baca dan tulis. Tentu saja, satu-satunya murid kelas Agan Eni yang bisa membaca dan menulis adalah Dewi.
Masa Remaja
Dewi kecil beranjak menjadi gadis remaja yang anggun dan cantik. Pada umurnya yang ke 18, seorang pria sekaligus sepupunya bernama Raden Kanjun Surianingrat berniat untuk melamar Dewi. Dewi menolak secara halus ajakan dari anak dari istri ketiga pamannya itu. Tidak lama, terdengar kabar kematian Raden Rangga Somanagara, ayahnya. Ibunya pun telah kembali ke Bandung. Dewi Sartika langsung mengepak barang-barangnya dan pergi meninggalkan Cicalengka tanpa pamit.
Di umur yang masih belia, Dewi Sartika yang akrab disapa Uwi, sudah mampu berkaca pada kehidupan disekelilingnya. Dimulai dengan memori beliau akan ibunya yang lebih memilih mendampingi ayahnya di pengasingan daripada mengasuh anak-anaknya sendiri. Dewi melihat ketergantungan ibunya pada sang Ayah. Begitu juga saat Dewi tinggal selama delapan tahun di rumah pamannya, poligami dan kepasrahan para istri pada suaminya itu berseliweran di benaknya.
Seakan belum lengkap, memori itu ditambah dengan kebiasan teman-teman perempuan Dewi di Cicalengka dulu. Banyak diantara mereka yang minta dibacakan surat cinta karena mereka tidak bisa membaca. Dewi berulang kali ‘menipu’ mereka dengan memutarbalikkan isi surat tersebut. Misalnya surat yang isinya minta putus cinta dia bacain seolah-olah menyatakan cinta. Meski merasa geli dan ingin tertawa, di satu sisi Dewi Sartika merasa sangat prihatin. Betapa mudahnya para perempuan ini ditipu karena mereka tidak bisa membaca dan menulis, begitu mungkin pikir Dewi Sartika.
Tahun 1906 Dewi memutuskan untuk mendirikan sekolah. Atas bantuan Bupati Bandung dan pemerintah kolonial berhati baik, Dewi membangun sekolah pertamanya yang bernama Sakola Istri. Waktu ditanya oleh Inspektur Hindia Belanda, C.Den Hammer mengenai alasan pendirian sekolah tersebut, Ibu Dewi menjawab: Saya ingin menanamkan kepada perempuan bumi putera, sebagai perempuan mereka harus bisa segala-gala. Agar mereka punya rasa percaya diri terhadap kemampuannya dan tidak melulu bergantung pada suami, apalagi pada belas kasihan orang lain.
Sakola Kautamaan Istri
Semenjak itu, Hammer bersimpati pada pejuangan Ibu Dewi dan menghubungkannya dengan Bupati Bandung yang dulu membuang ayahnya ke pengasingan. Akhirnya sekolah pertama di Indonesia (Hindia Belanda) khusus untuk kalangan perempuan pribumi didirikan. Para pengajarnya hanya ada 3 orang, termasuk ibu Dewi sendiri.
Keberadaan sekolah ini menarik minat banyak orang tua dan mereka menyekolahkan anak perempuannya disini. Yang daftar ada 60 orang! Animo negatif justru datang dari sebagian besar (perempuan) kalangan menak. Menurut mereka, tidak seharusnyalah pelajaran-pelajaran tata krama yang khusus untuk mereka diajarkan pada kalangan rakyat biasa. Lalu apa bedanya kami dengan mereka, begitu protesnya. Tapi Ibu Dewi cuek aja, maju terus pantang mundur.
Saking banyaknya peminat, setahun kemudian, sekolah ini dipindahkan ke Ciguriangweg, sekarang jl. Kautamaan Istri (Deket Kepatihan). Makin lama sekolah ini makin beken, banyak surat kabar yang ikut memberitakan Sakola Istri. Tahun 1910, Sakola Istri berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri. Sekolah yang punya moto Cageur Bageur ini biasa memamerkan karya murid-muridnya di sekolah mereka sendiri, semacam bazar gitu. Pernah pula pameran di Jaarbeurs.
Ibu Dewi mulai sibuk. Selain mengajar, beliau juga sering menulis di koran dan memberikan ceramah di luar kota. Selain membicarakan sekolah dan pendidikan perempuan, Ibu Dewi juga kerap kali membahas perihal pertentangnnya akan poligami, perjodohan, prostitusi, dan semacamnya. Ibu Dewi juga sempat berguru membuat Batik pada kakaknya Kartini, Raden Ajeng Kardinah, di Kendal. Ilmu membatik ini kemudian diajarkannya pada murid-muridnya di Bandung.
Sayangnya kejayaan sekolah perempuan ini tidak berlangsung lama. Jepang memporak-porandakan sekolah ini. Nama sekolah dirubah, kurikulum dirubah, murid-murid juga berkurang banyak. Penderitaan ini dilanjut dengan agresi militer Belanda. Bandung Lautan Api adalah klimaks dari berakhirnya sekolah yang didirikan ibu Dewi tersebut. Dewi Sartika dan penduduk lainnya berjalan kaki mengungsi ke arah selatan pada waktu Bandung dibakar. Di Ciamis lah Ibu Dewi tinggal dan mulai sakit-sakitan. 11 September 1948, Ibu Dewi wafat. Ruhnya pergi mengembara ke alam baka dengan membawa segala kenangan tentang sekolah yang dicintainya.
Cerita di atas saya rangkum dari biografi yang ditulis Yan Daryono, Biografi Pahlawan Nasional Raden Dewi Sartika Sang Perintis. Mengutip tulisan WS Rendra, Kartini dan Dewi Sartika adalah pelopor kesadaran perempuan akan emansipasi perempuan. Namun bedanya, Kartini tidak memiliki naluri seorang aktivis. Ia lebih tepat disebut sebagai sastrawan dari sastra surat. Sedangkan Dewi Sartika adalah sebaliknya. Lebih tegas, berani, tidak anarkis dan berwibawa dalam membawakan dirinya yang kontroversial. Mendirikan sekolah perempuan untuk semua kalangan, menolak perjodohan dan menikah dengan laki-laki pilihan sendiri.
Catatan Penulis: Sebenarnya banyak lagi cerita yang lebih detil.  Kalau mau beli bukunya, cari di Palasari. Harganya Rp 15.000. Biografi ini terdiri dari 143 halaman saja jadi baca sekali duduk. Asyik buat jadi ‘temen’ di angkot.

 

Leave a Reply