Kuliner Bali Tertolong Para Abdi Tradisi Klepon

oleh Luh De Suriyani

Perempuan Tabanan bertengkuluk menjajakan klepon khas Bali.

[BALEBENGONG] – Puluhan perempuan Desa Beraban, Tabanan, Bali, mengenakan tengkuluk (penutup kepala dari handuk) berwarna-warni di suatu festival kuliner yang diadakan di Bali pada bulan Juli 2010. Tengkuluk adalah penanda khas, karena tidak biasa seorang perempuan dengan kebaya dan kain di Bali menggunakan kain tebal yang dibebat menutupi rambut mereka.

Masing-masing banjar di Desa Beraban diwakili empat perempuan bertutupan kepala tengkuluk yang siaga di depan meja panjang penuh dengan jajaan klepon, kue bola-bola tradisional yang biasanya terbuat dari tepung beras. Terdapat sedikitnya 18 meja menggelar wadah-wadah cantik berisi klepon yang dihias dengan sangat indah.

Di meja perwakilan Banjar Batan Buah, empat perempuan dengan tengkuluk cokelat, yang senada warna bajunya, menata empat loyang besar berisi aneka klepon tiga warna. Pertama klepon berwarna hijau, yang dibuat dengan zat alami daun, lalu klepon warna ungu dari ketela ungu, dan klepon dari ketan hitam. Klepon, biasa dijajakan oleh sejumlah perempuan di sekitar areal obyek wisata Tanah Lot. Inilah kawasan wisata yang masih menyisakan jejak kuliner tradisonal Bali. Yang dijual biasanya klepon berbentuk bulat-lonjong  dan berisi gula merah.

Namun, dalam Festival Klepon kali itu, yang dihelat dalam rangkaian “Tanah Lot Art Festival” 26 Juli – 1 Agustus 2010, para pembuat klepon tradisional dan warga sekitar Tanah Lot menciptakan aneka varian klepon. Tak hanya berbahan baku tepung beras melainkan juga singkong dan lainnya. Isiannya juga tak hanya gula merah cair, melainkan sangat bervariasi, seperti durian, nangka, nanas, dan lainnya.

“Kami sudah sebulan menyiapkan klepon-klepon gaya baru ini. Kami juga penasaran dengan kreasi peserta lain,” ujar Ni Ketut Kasni riang. Selama ini, menurutnya, penjual klepon tidak mendapat dukungan untuk berkreasi menciptakan klepon-klepon jenis baru.

Menurut Kasni, para pedagang makanan tradisional Bali perlu mendapat dorongan untuk terus berusaha dan peningkatan wawasan bidang kebersihan. “Tengkuluk ini, selain dipakai sebagai alas menjunjung meja tempat jualan klepon, juga untuk menjaga rambut tertutup sehingga kelihatan bersih,” ujar Kasni yang baru paham soal ini.

Di tangan-tangan para perempuan Beraban, desa lokasi Tanah Lot ini, klepon tampil menarik secara estetis dan rasa. Masing-masing peserta festival menyajikan kleponnya di wadah yang berbeda. Misalnya ada yang memakai tempurung kelapa, potongan kelapa utuh, sampai rangkaian janur.

Ratusan warga yang datang mengapresiasi aneka klepon dan gaya penyajiannya ini pun terlihat senang karena bisa mencicipi satu persatu dengan gratis. Panitia membagikan piring-piring khas dari janur untuk pengunjung, termasuk para turis.

Di kawasan areal Tanah Lot, klepon dijual sederhana di pinggiran jalan. Dijual secara eceran per bungkusnya. Biasanya para pedagang membawa wadah besar tempat menata klepon dan menyiapkan kelapa parutan yang menjadi topping di atasnya.

Di Kota Gianyar, sekitar 50 kilometer dari Tabanan, ada beberapa pedagang setempat yang berhasil menjual klepon dalam jumlah besar. Salah satunya Desak Ketut Rai, yang bertahan sejak 1975. Ia bertahan berjualan di rumahnya karena kebanyakan melayani pesanan. Sedikitnya 2.000 butir klepon dibuatnya per hari.

Jajanan tradisional Bali memang tidak mendapat upaya revitalisasi sederajat seperti halnya sarana fisik pariwisata. Bahkan sejumlah pedagang di pasar-pasar tradisional di Denpasar saja harus berjualan secara ‘nomaden‘ (berpindah-pindah) karena tak mendapat tempat di dalam pasar. Mereka terserak berjualan di emperan namun tetap dipungut biaya harian oleh petugas keamanan setempat.

Menurut I Made Sujana, yang mewakili pihak pengelola obyek wisata Tanah Lot, para pedagang klepon di kawasannya akan terus dilestarikan karena khas. Salah satunya dengan memberikan tempat berjualan di areal wisata. :: [balebengong.net/juli2010]

Leave a Reply