Mirza Kusrini Temukan Kembali Si Katak Merah yang Hilang

Mizra Kusrini dengan Kata Merah-nya.
Mirza Kusrini dengan Kata Merah-nya.

TEMPOINTERAKTIF – Di bawah suhu 14 derajat Celsius dan siraman air terjun yang membuat siapa pun yang berada di dekatnya basah kuyup, Mizra Dikari Kusrini dan lima orang mahasiswanya menemukan sebuah koloni katak. Bukan katak biasa tetapi jenis katak yang endemik Jawa Barat [= di dunia hanya ditemukan di Jawa Barat] dan nasibnya memprihatinkan.

Lantaran amat sulit ditemukan, hewan kecil yang dijuluki ‘katak merah’ (Leptophryne cruentata) dan tergolong katak katai ini diberi status critically endangered pada IUCN Redlist 2006, daftar merah dari badan internasional yang membela kelangsungan hidup keberagaman hayati.

Pada 1960-an, survei yang dilakukan D. S. S. Liem, peneliti asal Queensland, Australia, menunjukkan bahwa katak merah Jawa Barat ini banyak sekali hidup di kawasan Cibeureum, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Liem menemukan 149 ekor selama penelitiannya.

Tapi dalam waktu 40 tahun, populasinya menurun. Bahkan pakar amfibi dari Institut Teknologi Bandung, Djoko T. Iskandar, menulis dalam bukunya, ‘Amfibi Jawa dan Bali’ pada 1998, “katak ini tak melompat lagi di Curug Cibeureum“.

Kabar raibnya katak endemik inilah yang membuat dosen Mirza Dikari Kusrini PhD dan lima mahasiswa didikannya di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor bertekad melacak si katak mungil, yang sering disebut katak berdarah karena totol merah di kulitnya.

Terhadang Macan dan Lumpur

Tekad mereka itu ternyata menghadapi cobaan yang menegangkan. “Bukan sekali-dua kali kami harus membatalkan survei karena mendeteksi kehadiran macan,” kata Mirza.

Di beberapa lokasi di Gunung Gede memang masih sering dijumpai macan tutul Jawa (Panthera pardus melas). Bila tanpa sengaja bertemu, pilihan terbaik adalah lari menghindar secepatnya. “Pernah waktu kami jalan malam, terdengar bunyi geraman,” kata Mirza. “Makin lama makin kencang. Kami yakin itu macan karena suaranya khas dan tercium bau pesing. Kami langsung mundur, karena petugas pun lebih takut daripada kami.”

Bukan cuma macan yang menguji ketahanan Mirza dan timnya selama melakukan survei pemantauan amfibi di pedalaman Jawa Barat. Mobil yang dikendarai salah seorang mahasiswa untuk mengantar anggota tim peneliti ke stasiun riset Bodogol di Gunung Gede pernah terbalik karena jalan yang berlumpur sehabis hujan lebat.

Mereka juga pernah terpaksa pulang karena badai yang merobohkan pohon di sekeliling kamp dan memorakporandakan peralatan mereka. Berjalan malam dan begadang pun tak terelakkan karena katak adalah hewan nokturnal atau aktif di malam hari.

Namun semua cobaan tersebut samasekali tidak memupuskan semangat Mirza dan tim. Akhirnya, di awal Januari 2007, mereka menemukan tiga ekor katak dengan ciri-ciri yang persis seperti si katak merah Jawa Barat yang bertubuh kecil ramping itu. Pada hari berikutnya, di salah satu lokasi air terjun mereka menemukan sebuah ceruk yang menjadi rumah katak-katak itu. “Meski harus kedinginan, itu layak,” kata Mirza. “Kami menemukan markas mereka.”

Jumlah katak merah Jawa Barat yang mereka temukan berjumlah total 15 ekor. Semuanya berada di sebuah celah batu yang tertutup lumut hijau, tersembunyi di dinding pertama dari tiga air terjun Cibeureum.

Suatu temuan yang amat besar untuk pelacakan dalam satu hari, dan itu pun dilakukan pada siang hari saat katak biasanya bersembunyi. Mereka juga menemukan beberapa ekor berudu di perairan dekat air terjun itu. “Hasil penelusuran spesimen, katak ini hanya diperoleh di daerah Gunung Salak Halimun dan Gunung Gede Pangrango,” kata Mirza yang meraih gelar doktor dari James Cook University, Australia.  “Semuanya pada perairan yang mengalir dan jernih, sering kali di dekat air terjun, pada dataran tinggi di atas 1.000 meter dengan suhu 10-24 derajat Celsius.”

Mirza Duga Katak Merah Tertular Jamur Katak Lembu

Meski telah membuntuti katak ini sejak 2004, Mirza belum bisa memastikan populasi katak endemik ini. Mereka juga belum mengetahui data dasar katak ini, seperti pakan, jumlah telur, perilaku, dan daerah jelajahnya. Dalam survei selama dua minggu pada 2004, mereka hanya menemukan tiga ekor katak. Survei ulangan pada Januari 2007 mencatat peningkatan penemuan katak sampai belasan ekor. “Kami menduga jenis ini memerlukan microhabitat yang sangat spesifik,” ujarnya.

Habitat yang amat spesifik dan terletak di lokasi yang dilindungi membuat keberadaan katak ini dapat digunakan sebagai sinyal perubahan lingkungan, termasuk pemanasan global. Apalagi katak ini tidak dimanfaatkan manusia karena dianggap kurang cantik untuk dijadikan binatang peliharaan. Katak merah ini juga tak bisa dimakan karena termasuk suku Bufonidae atau katak sejati, yang umumnya memiliki kelenjar racun.

Ada beberapa teori mengapa populasi katak merah Jawa Barat ini menurun. Djoko Iskandar menduga populasinya turun akibat meletusnya Gunung Galunggung beberapa tahun lalu. Debu gunung berapi itu diduga menutupi habitat tempat memijah. “Dugaan lain, katak ini terserang chytridimycosis,” kata Mirza.

Suhu di Gunung Gede dan Halimun 13,5-28 derajat Celsius dengan kelembaban yang amat tinggi, 63-100 persen, amat optimal bagi perkembangan chytrid. “Sebuah model yang meramalkan penyebaran global chytrid berdasarkan variabel lingkungan menunjukkan daerah pegunungan Jawa dan Sumatera adalah tempat yang cocok untuk jamur ini,” katanya.

Ada kemungkinan jamur ini disebarkan katak lembu Rana catesbeiana. Pada 1980-an, Indonesia mengintroduksi katak itu untuk meningkatkan ekspor paha katak. Sejumlah penelitian asing menunjukkan katak ini adalah salah satu pembawa penyakit tersebut karena mampu menularkan chytrid kepada katak lokal.

Untuk menguji kemungkinan chytridimycosis, Mirza telah mengirimkan 10 sampel skin-swabbing katak merah Jawa Barat dan jenis katak lainnya ke Australia. Metode pengujian ini sama sekali tidak melukai katak, karena kulit katak diusap menggunakan kapas steril dan kapas itu yang diuji melalui reaksi rantai polimerase (PCR). Pengujian ini amat penting untuk memastikan uji histologis yang menunjukkan adanya chytrid. “Sayangnya, analisis ini relatif mahal. Satu sampel Rp 135-180 ribu dan hanya bisa dilakukan di laboratorium khusus di Amerika Serikat atau Australia,” ujar Mirza.

Mirza membutuhkan analisis uji sampel kulit katak tersebut untuk memastikan apakah penyakit yang diduga telah membunuh sepertiga populasi katak dunia itu telah menyerang Indonesia. Saat mengirim sampel ke Australia, penyakit akibat jamur chytrid belum pernah terdeteksi di Tanah Air.

Pada bulan April 2008, Mirza Dikari Kusrini terpilih sebagai salah satu dari 10 peraih Tribute to Women 2008 yang diadakan LKBN Antara, Kompas dan Plaza Indonesia. Penghargaan ini ditujukan bagi perempuan Indonesia yang dinilai memberikan inspirasi kepada perempuan Indonesia lainnya.

naskah asli >> http://www.tempointeractive.com/hg/iptek/2007/07/18/brk,20070718-104703,id.html

foto dari blog Mizra Kusrini >> http://umibakrie.blogspot.com/

Leave a Reply