Para Perempuan Penjaga Taman Nasional Tesso Nilo

Anyaman pandan, salah satu kerajinan adat pemukim asli Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. (foto > Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia)

MONGABAY.CO.ID – Imas baru menyelesaikan racikan menu tradisional ikan tapah asam pedas khas Desa Lubuk Kembang Bunga Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau. Masakan ini berasa pedas dan segar. Tapah (Wallago sp), adalah jenis ikan di perairan Sungai Kampar — induk Sungai Batang Nilo yang membelah Taman Nasional Tesso Nilo, Riau.

Warga Desa Lubuk Kembang Bunga biasa menangkap tapah dengan pengile (kawat besi berbentuk segi empat yang makin mengecil di ujung). Ada juga pakai bubu, alat tangkap ikan dari bambu berujung lancip.

Aroma wangi tercium dari tungku. Masakan ini, kata Imas adalah kuliner unggulan yang selalu mereka sajikan kala menyambut tamu atau wisatawan ke Taman Nasional Tesson Nilo (TNTN).

Imas adalah ketua Kelompok Perempuan Batang Nilo, yang beranggotakan sekitar 25 perempuan. Imas, yang bernama lengkap Masni Daniati, selanjutnya mengatakan bahwa kelompok Batang Nilo berdiri pada 2015 dengan harapan bisa menjadi wadah yang memberi manfaat.

“Rata-rata perempuan di desa kita tak memiliki kegiatan setelah membantu suami dari kebun karet. Ada yang hanya di rumah, tak ikut ke kebun,” katanya.

 

Kelompok Batang Nilo di dalam kegiatan.

 

Perempuan Pengembang Sumberdaya Lokal

Pandangan dia, perempuan harus bisa mandiri dan dapat memberi masukan bagi ekonomi keluarga. “Kelompok ini mencoba menjawab pola-pola pengembangan sumber daya untuk perempuan.”

Kelompok Perempuan Batang Nilo tengah menggagas paket ekowisata berbalur budaya dan tradisi di tatanan masyarakat. Imas bercerita, mereka bersama-sama menyiapkan dua penginapan merupakan rumah panggung hingga nuansa desa dan adat Melayu kental terasa.

“Kita menyiapkan rangkaian, mulai dari mengemas tari tradisional Tari Zapin sebagai tari penyambutan tamu sampai penginapan bernuansa Melayu bagi tamu dan wisatawan. “Bisa juga mengikuti pelatihan masak masakan Melayu bersama-sama,” katanya.

Kelompok Batang Nilo melakukan beberapa pengembangan kemampuan anyaman. Sejak awal 2017, mereka mendapat dukungan modal dari Tropical Forest Conservation Action (TFCA) dalam bentuk pembelian dua mesin jahit untuk pembuatan berbagai tas, dompet, tempat tisu, sandal dan kerajinan tangan lain berbahan dasar daun pandan.

 

Perempuan perajin anyaman pandan dari Desa Lubuk Kembang Bunga. Foto > Ayat S Karokaro / Mongabay Indonesia

Pandan Menghilang, Menganyam Pun Juga

Menganyam bukan hal baru bagi kebanyakan perempuan Melayu karena keterampilan ini mutlak dimiliki perempuan dewasa yang akan beranjak menikah, menurut tradisi lama.

“Kalau dulu anak gadis yang mau menikah harus bisa menganyam. Sekarang tak begitu lagi, makin sulit menemukan anak-anak perempuan yang bisa menganyam,” kata Melda, perajin anyaman pandan di Desa Lubuk Kembang Bunga.

Pelatihan menganyam dilakukan setiap bulan dengan melibatkan anggota yang sebagian masih remaja. Melda bercerita, keterampilan menganyam mulai bangkit lagi, hanya permasalahan mereka kekurangan bahan baku.

Pandan, katanya, sekarang sulit diperoleh, karena hutan yang seharusnya banyak menyediakan bahan baku sudah beralih fungsi jadi perkebunan sawit skala besar dan pemukiman pendatang.

“Banyak datang dan seenaknya buka hutan, mereka bikin kebun sawit, bikin pemukiman,” katanya.

Kelompok ini mencoba menanam pandan di beberapa lokasi tetapi tak membuahkan hasil bagus. Kesuburan tanah berkurang, tanah kering. Kata Melda, kemungkinan besar karena sawit.

10 Jenis Bibit Nabati Terpilih Untuk Pulihkan Hutan

Saat ini, mereka juga membibit tanaman buah dan tanaman hutan sebagai upaya restorasi, seperti meranti, durian, cempedak, nangka, tampui, kabau, dan jengkol.

“Ada 10 macam bibit kita kembangkan, total 10.000-an bibit akan ditanam di lokasi-lokasi untuk pemulihan Taman Nasional Tesso Nilo,” katanya.

Dari data WWF, wisatawan berkunjung ke TNTN dari 2011- 2017 cenderung naik. Selama 2017, pengunjung mencapai 1.123 orang.

Kedatangan turis ternyata belum signifikan terhadap pemasukan kelompok ini. Untuk itu, katanya, perlu dukungan pemerintah dalam pengembangan dan pemasaran kerajinan mereka.

Damsir Caniago, Fasilitator TFCA untuk wilayah Sumatera Bagian Tengah dan Selatan, menyebutkan bahwa kerja-kerja promosi juga jadi tanggungjawab pemerintah setelah fasilitasi dibantu oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat lokal.

“Pemerintah punya tanggungjawab membantu memasarkan produk yang mereka produksi, ‘kan setiap kabupaten ada Dekranasda, harusnya itu diperkuat. Kerajinan ini bukan hanya pemoles setiap pameran,” katanya.

Menurut dia, perlu pembentukan lembaga keuangan mikro dalam memperkuat kelompok-kelompok perempuan hingga lebih mandiri.

Di beberapa tempat, seperti Jambi dan Sumatera Barat, katanya, terbukti kelompok perempuan mampu mandiri dan berkembang di dalam lembaga keuangan mikro. :: MONGABAY.CO.ID/feb2018

 

Leave a Reply