Perempuan Pinggiran Hutan Masih Terpinggirkan

 

KPSHK.ORG – Wilayah hutan mencakup 30% wilayah daratan, oleh karena itu hutan menjadi salah satu sumberdaya alam yang potensial untuk diusahakan, tentunya tanpa melupakan kelestariannya. Wilayah hutan yang luas ini diusahakan oleh masyarakat yang tinggal di desa-desa di daerah pinggir hutan. Hampir semua penduduk pinggir hutan mata pencahariannya adalah sebagai petani dan peternak.

Namun tidak banyak yang bisa dilakukan oleh sebagian besar perempuan yang berada di sekitar hutan. Perempuan sering dianggap hanya sebagai pengurus rumah tangga.  Sementara pekerjaan berat seperti berkebun, berburu, dan mengumpulkan berbagai jenis hasil hutan hanya dapat dilakukan oleh laki-laki. Tidak heran bila masih banyak perempuan yang masih dipandang sebelah mata, apalagi di daerah pedalaman atau pinggir hutan dimana isu-isu persamaan gender hampir tidak pernah terdengar ataupun muncul ke permukaan. Isu persamaan gender masih menjadi hal yang tabu.

Keterbatasan Data dan Informasi Sumberdaya Hutan

Permasalahan lain, sebagai salah satu sumber penting pembiayaan pembangunan, sumberdaya alam berupa hasil hutan kayu dan non-kayu yang ada masih belum dirasakan manfaatnya secara nyata oleh sebagian besar masyarakat di pinggir hutan. Terlebih lagi pengelolaan hutan sebagai sumberdaya alam tersebut belum memenuhi prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan. Masih banyak praktek-praktek kecurangan yang terjadi di hutan, seperti illegal logging, penebangan liar dan eksploitasi besar-besaran, yang jelas-jelas mematikan kelestarian hutan itu sendiri. Salah satu permasalahan pokok yang dihadapi dalam pengelolaan hutan adalah keterbatasan data dan informasi dalam kuantitas maupun kualitas sumberdaya hutan. Keterbatasan data dan informasi yang akurat berpengaruh pada kegiatan pengelolaan dan pengendalian sumberdaya hutan yang sampai saat ini belum dapat berjalan dengan baik.

Selain itu, terbatasnya sumberdaya manusia yang ada, belum optimalnya pengelolaan sumberdaya alam, kurangnya pengetahuan tentang teknologi pengelolahan, kurangnya modal, keterbatasan sarana dan kondisi lingkungan yang terpencil membuat kesejahteraan masyarakat pinggir hutan kurang terjamin sehingga perlu ada pemberdayaan masyarakat pinggir hutan, terutama bagi perempuan.

Oleh karena itu, pengembangan ekonomi desa pinggir hutan harus menitikberatkan pada pengelolaan hutan untuk meningkatkan kesejahteraan yang dirancang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan komunitas atau wilayahnya. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakat desa harus secara bersama-sama mengambil inisiatif dalam pengembangan ekonomi lokal. Salah satunya, dengan program pemberdayaan masyarakat.

Harus Fokuskan Program Terpadu Pada Kualitas Hidup Perempuan

Program terpadu pemberdayaan masyarakat untuk penanganan kemiskinan harus melibatkan perempuan dengan fokus utama pada peningkatan status dan kedudukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat agar dapat meningkatkan kualitas hidup, kesejahteraan, dan kesetaraan gender. Dengan demikian diharapkan partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan dapat memberikan kontribusi yang berarti.

Untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas kaum perempuan di pinggir hutan perlu adanya peningkatan kapasitas dan kapabilitas perempuan melalui proses belajar yang terus menerus. Proses pembelajaran ini terutama berfokus pada pengelolaan sumberdaya alam khususnya hasil hutan non-kayu. Perempuan dapat mengolah dan memberi nilai tambah bagi berbagai hasil hutan non-kayu seperti dengan menganyam rotan, membuat panganan dari buah atau umbi seperti rengginan ubi kayu, dodol nangka, manisan pepaya, dan pisang sale seperti yang dilakukan oleh perempuan di daerah Sesaot, Lombok Barat. Melalui tangan-tangan perempuanlah hasil hutan non-kayu (non timber forest product) dapat berkembang. Tangan-tangan perempuan yang terampil dapat mengubah hasil hutan non-kayu menjadi produk yang memiliki keindahan dan nilai tambah. Mengelola hasil hutan non-kayu sama saja menjaga kelestarian hutan karena mengolah hasil hutan kayu berarti melakukan banyak penebangan, yang secara langsung mengancam keberlanjutan hutan. Sedangkan hasil hutan non-kayu bila diambil dengan secukupnya tidak akan mengganggu kelestarian hutan karena niscaya akan dapat tumbuh kembali dengan cepat, tidak seperti kayu yang sekali ditebang butuh waktu berpuluh-puluh tahun untuk menumbuhkannya kembali. Dengan mengolah dan mengelola hasil hutan non-kayu, perempuan dapat meningkatkan nilai jual hasil hutan tersebut sehingga dapat mendongkrak kesejahteraan hidupnya sekaligus menjaga kelestarian hutan. Oleh karena itu perempuan memiliki peranan penting dalam menjaga kelestarian hutan.

Perlu Dibangun Solidaritas Antar Perempuan

Selain itu juga perlu dibangun solidaritas antar perempuan di dalam kelompok agar perempuan dapat tumbuh bersama-sama menjadi kelompok yang kuat dan solid. Kita perlu membangun opini publik tentang persoalan-persoalan yang dihadapi oleh kaum perempuan pinggir hutan agar suara mereka dapat terdengar oleh pejabat pemerintah di luar sana. Untuk menghadapi berbagai persoalan kebijakan ada baiknya perempuan pinggir hutan diberikan pendidikan politik. Selain itu kita juga harus menganalisa dampak dan keterkaitan kemiskinan dengan perempuan. Kemiskinan yang disandang perempuan di pinggir hutan berhubungan langsung. Tidak adanya kemandirian, kurangnya akses pada sumberdaya ekonomi dan kurang mampunya perempuan menangkap peluang-peluang ekonomi membuktikan hal ini.

Beberapa program pengembangan masyarakat yang ada meliputi hutan bersama dan pemberdayaan perempuan. Hutan bersama adalah suatu wilayah hutan yang tidak diclaim kepemilikannya (bukan milik siapa-siapa) sehingga wilayah hutan ini dikelola secara bersama-sama oleh masyarakat pinggir hutan. Sedangkan program pemberdayaan perempuan merupakan program untuk menghimpun perempuan agar dapat produktif mengolah sumberdaya hutan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Program-program pengembangan perempuan harus bisa mengatasi  kesulitan-kesulitan hidup mereka dan menjadi program pemberdayaan yang mendukung pengembangan dan pemanfaatan hasil hutan non-kayu serta dapat meningkatkan taraf hidup bagi masyarakat sekitar hutan. Tantangan yang dihadapi dalam pemberdayaan perempuan adalah bagaimana meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kesadaran perempuan untuk mau dan mampu mengeksplorasi hasil hutan non-kayu menjadi berbagai inovasi produk yang mampu mendobrak pasar dan menjadi komoditas unggul yang baru, bahkan mengungguli hasil hutan kayu.

Bentuk Bantuan Hanya Menciptakan Kebergantungan

Dengan adanya program pemberdayaan masyarakat pinggir hutan diharapkan dapat terjadi transformasi yang mengarah kepada peningkatan kehidupan, kesehatan, ekonomi, kebijakan, penyelenggaraan kekuasaan dan iklim politik yang peduli terhadap kelompok perempuan.

Namun yang sering terjadi saat ini adalah Pemerintah maupun berbagai lembaga yang peduli pada masyarakat pinggir hutan membantu rakyat miskin bertahan dalam kemiskinannya dengan memberikan bantuan. Bentuk bantuan ini sangat beraneka ragam mulai dari penyediaan berbagai kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, kesehatan, maupun pendidikan dan hibah peralatan serta modal.

Sehingga harus diakui pula pendekatan ini telah menimbulkan berbagai persoalan serta berkembangnya sikap ketergantungan dan melemahnya mentalitas masyarakat sehingga akar masalah penyebab kemiskinan tidak selesai, yaitu ketimpangan distribusi dan akses terhadap sumberdaya ekonomi dan masih dipinggirkannya perempuan.

Oleh karena itu, melalui pemberdayaan perempuan diharapkan perempuan menjadi lebih terampil dan mampu menyokong kehidupannya sendiri, tidak lagi bergantung hanya pada suami atau bantuan Pemerintah, melainkan dapat berdiri dengan kaki sendiri melalui berbagai keterampilan yang dimiliki. :: BINASWADAYA.ORG/jan2011

sumber >> http://kpshk.org/2011/01/12/nasib-perempuan-di-pinggir-hutan/

Leave a Reply