[video] Tasrif Award 2017 Untuk Perempuan Kamisan dan Petani Kendeng

 

Suciwati, isteri alm. Munir (kedua dari kanan); Sumarsih, ibunda Wawan (ketiga dari kanan); dan Sutinah Srikandi Kendeng (keempat dari kanan) dan Giyem, meraih Tasrif Award 2017 yang diumumkan pada HUT Aliansi Jurnalis Independen Indonesia di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (7/8/2017). (Adib Muttaqin Asfar/JIBI/Solopos)

 

SOLOPOS.COM — Penghargaan Suardi Tasrif Award 2017 diberikan kepada dua kelompok perempuan di balik rangkaian aksi damai yang konsisten selama bertahun-tahun. Mereka adalah para perempuan di balik Aksi Kamisan dan Aksi Petani Kendeng yang bergerak dari kawasan karst tersebut hingga ibukota.

Dewan juri menilai keduanya sama-sama memiliki kesamaan kekuatan dalam menggelar aksi damai untuk memperjuangkan hak-hak warga sipil. Karena itu, keduanya sama-sama meraih penghargaan tersebut.

“Bagi kami keduanya layak menjadi pemenang, keduanya digerakkan perempuan, melakukan aksi damai serupa, dan rantai aksi ini menjadi ruh yang akan menghancurkan impunitas seperti dalam kasus Novel Baswedan baru-baru ini,” kata salah satu juri, Dhyta Caturani, dalam pidatonya di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (7/8/2017) malam.

Menurutnya, keduanya mendorong pers untuk mengungkapkan fakta-fakta yang kadang ditutupi. Mereka juga dinilai mendorong pemerintah untuk tidak abai terhadap pelangaran HAM. “Agar pemerintah ingat menjalankan amanatnya, bukan menjadikan rakyat sebagai tumbal pembangunan,” lanjutnya.

Aksi Petani Kendeng

 

Sutinah, salah satu petani Kendeng yang menjadi inisiator aksi damai –- termasuk long march dari Kendeng ke Semarang dan aksi cor kaki -– mengucapkan apresiasinya atas penghargaan ini. Dia mengungkapkan nilai yang diperjuangkan oleh para petani Kendeng menolak keberadaan pabrik PT Semen Indonesia di kawasan karst utara Jawa itu.

“Sejak 2013, saya dan rekan-rekan petani Kendeng melakukan protes tapi tidak didengarkan. Tahun 2016, saya dan saudara-saudara Kandeng melakukan long march 135 km, itu demi agar bumi tetap lestari. Itu pun tidak bisa membuka hati gubernur dan bupati, akhirnya kami cor kaki dan Bu Patmi meninggal dunia,” kata Sutinah dalam sambutannya.

Sementara itu, penghargaan serupa untuk aksi Kamisan diberikan melalui dua orang inisiator, yakni Suciwati, istri Almarhum Munir, dan Sumarsih, ibunda Wawan (korban tragedi Semanggi I). Sumarsih yang konsisten meminta keadilan dalam 501 aksi Kamisan mengingatkan utang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Kalau Presiden SBY pernah bikin Tim Gabungan Pencari Fakta [TGPF], tapi tidak ada hasilnya. Kemudian Presiden Jokowi, kasus-kasus pelangggaran HAM masuk dalam visi misi dalam [kampanye] pilpres, tapi kenyataannya 3 tahun tidak ada apa-apa,” kata Sumarsih dalam pidatonya.

Sumarsih kembali menyatakan alasan penolakannya terhadap ajakan rekonsiliasi dari pemerintah. Dia mengaku tak percaya dengan tim rekonsiliasi jika melibatkan orang yang diduga terlibat pelanggaran HAM. Selain itu, menurutnya, rekonsiliasi harus dilakukan setelah proses hukum ditegakkan.

“Kalau bikin tim rekonsiliasi, tapi Menkopolhukamnya diduga terlibat pelanggaran HAM, kami menolaknya. Pemerintah Jokowi rupa-rupanya akan ingkar janji, karena [kasus-kasus pelanggaran HAM] akan diselesaikan secara nonjudicial,” kata dia.

Aksi Kamisan

Suciwati, dalam sambutannya, menyayangkan rangkaian aksi panjang hingga ratusan kali tidak didengarkan oleh pemerintah. “Sebetulnya tragis, dari 500 kali aksi, tapi tidak didengarkan. Hal yang kadang-kadang perlu dipikir panjang berkali-kali, benarkah itu presiden saya? Dengan mengangkat orang-orang yang diduga terlibat pelanggaran, tidak heran juga kalau kebrutalan itu berhenti jika pelakunya tetap ada,” kata dia.

Kedua kelompok ini mendapatkan hadiah senilai Rp7,5 juta untuk mendukung aktivitas mereka. Suciwati menyatakan uang tersebut untuk membiayai aksi-aksi Kamisan berikutnya. Begitu pula dengan Sutinah yang menyatakan akan menggunakan hadiah untuk pesta rakyat 17 Agustus di Kendeng.

Tasrif Award diberikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kepada individu/kelompok/lembaga yang dinilai gigih menegakkan kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan nilai-nilai keadilan serta demokrasi. Penghargaan ini diberikan dalam rangkaian Hari Ulang Tahun AJI.

Latar Belakang Tasrif Award

Suardi Tasrif, Bapak Kode Etik Jurnalistik Indonesia, semasa hidupnya tak kenal menyerah dalam memperjuangkan kemerdekaan pers. Suardi Tasrif juga gigih memperjuangkan kemerdekaan berpendapat, hak konstitusional yang selalu disebut-sebut sebagai hak fundamental yang menjadi jalan bagi dipenuhinya berbagai hak asasi manusia lainnya.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengabadikan namanya sebagai penghargaan bagi perorangan maupun kelompok atau lembaga yang gigih memperjuangkan kemerdekaan pers dan kemerdekaan berpendapat pada umumnya. Penghargaan Suardi Tasrif atau Suardi Tasrif Award, disingkat menjadi Tasrif Award mulai diberikan pada 1998, dan Munir, koordinator Badan Pekerja Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) menjadi orang pertama yang menerima Tasrif Award.

Bersama Kontras, Munir memenangi Tasrif Award karena kegigihan mereka dalam mengungkapkan kasus penculikan terhadap para aktivis oleh para anggota Koppasus (Komando Pasukan Khusus) Angkatan Darat Indonesia. Munir kemudian meninggal karena dibunuh di dalam pesawat Garuda dalam perjalanannya  menuju Amsterdam, Belanda dari Jakarta, karena tak pernah surut mengungkap berbagai tindakan aparat negara merampas hak asasi warganya. :: Aji.or.id + SoloPos/Agus2017 + aksikamisan.net

sumber >> http://www.madiunpos.com/2017/08/08/perempuan-kamisan-petani-kendeng-raih-tasrif-award-2017-841008

Leave a Reply