Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan Di Hari Bumi 2013

Aksi Solidaritas Perempuan Sumbawa, 24 September 2010. Foto: Sollidaritas Perempuan
Aksi Solidaritas Perempuan Sumbawa, 24 September 2010. Foto: Sollidaritas Perempuan

soliper-logo[SOLIDARITASPEREMPUAN] – Dalam rangka memperingati Hari Bumi “Hentikan Eksploitasi Bumi dan Kriminalisasi Perempuan Pejuang Lingkungan” 22 April 2013,  pada tanggal yang diperingati sebagai hari Bumi internasional ini, ironisnya, Bumi semakin mengalami kerusakan akibat eksploitasi sumber daya alam secara massif, termasuk di Indonesia. Industri sawit serta tambang memberi kontribusi yang signifikan terhadap perusakan lingkungan dan konflik sosial yang semakin meruncing. Industri ekstraktif cenderung rakus akan lahan, sehingga penyerobotan lahan dan pengggusuran masyarakat pun tidak dapat dihindarkan.

Sejak dahulu hingga kini, industri-industri ekstraktif mengincar kawasan hutan. Kawasan hutan banyak dialihfungsikan menjadi perkebunan besar kelapa sawit, karet, dan juga areal per tambangan. Dengan kondisi ini, kawasan hutan yang selama ini dijadikan tempat hidup dan tempat masyarakat adat dan masyarakat lokal mencari nafkah menjadi sangat mudah untuk serebot dan diambil alih untuk keperluan perusahaan.

Masyarakat, terutama perempuan memiliki kedekatan yang sangat erat dengan hutan. Perempuan dengan pemikiran tradisionalnya mengelola sumber daya hutan, mereka bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan keluarga, menanam tanaman obat untuk menjaga kesehatan keluarga, tanpa merusak kelestarian hutan. Melihat ketergantungan perempuan yang sangat besar pada sumber daya hutan, maka tidak heran perempuan menjadi kaum yang berada di garda terdepan saat berhadapan dengan aparat perusahaan/militer saat memperjuangkan tanah /lahan mereka dari perampasan dan penyerobotan lahan, baik oleh Negara maupun oleh perusahaanyang didukung lembaga keuangan internasional (World Bank, ADB, IFC).

Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2012 tercatat 198 konflik dengan luasan areal konflik mencapai lebih dari 963.411,2 hektar, serta melibatkan 141.915 kepala keluarga. Sepanjang tahun 2012, 156 orang petani telah ditahan, 55 orang mengalami luka dan penganiayaan, 25 petani tertembak dan 3 orang tewas dalam konflik agraria.[1] Sedangkan menurut pemantauan Solidaritas Perempuan, banyak perempuan yang menjadi korban dalam kasus-kasus sengketa lahan, dan menjadi korban kriminalisasi dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

Kriminalisasi terjadi pada Nurjanah Gazali (Hj. Mimi), pada tahun 2010 yang dilaporkan oleh PT Celebes Agro Lestari (PT CAL) atas tuduhan penggerak untuk pengrusakan perkebunan kelapa sawit secara bersamaan. Atas tuduhan tersebut yang menghasilkan kerugian pada perusahaan, Hj. Mimi dituntut secara perdata oleh PT. CAL dan mengharuskan Hj. Mimi membayar Rp. 500 juta. Padahal sengketa lahan yang terjadi adalah antara Masyarakat adat Sambawa dengan PT Sultra Prima Lestari (PT SPL) bukan dengan PT CAL, yang diduga satu group. Hj. Mimi, mengalami kriminalisasi karena memperjuangkan hak tanah adat masyarakat Sambawa, dari penyerobotan lahan untuk dijadilkan perkebunan besar kelapa sawit, setelah melalui proses sidang yang melelahkan, perjuangkan Hj. Mimi berhasil, dengan dimenangkannya kasus ini oleh pihak Hj. Mimi pada tingkat banding, yang dibebaskan tanpa harus membayar denda apapun dan status lahannya dinyatakan status quo. Namun, kriminalisasi kembali menimpa Hj. Mimi, yang 2 minggu lalu mendekam di balik jeruji besi. Kali ini Hj. Mimi dilaporkan oleh PT. Pertambangan Bumi Indonesia (PBI), karena dianggap menggerakkan massa yang menyebabkan keresahan. PT. PBI melakukan aktivitas penambangan di lahan yang masih menjadi kawasan kelola adat SAMBAWA. Ibu berumur 57 tahun ini, kembali berurusan dengan polisi karena kembali mempertahankan tanah ulayat masyarakat adat Sambawa.

Regulasi yang dibuat pemerintah pun sering kali malah berpotensi mengkriminalisasi masyarakat di sekitar hutan. Belum tuntas permasalahan dari UU Kehutanan, RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H), yang akan segera disahkan juga berpotensi mengkriminalisasi perempuan, karena pada pasal 11 huruf k jo Pasal 82 ayat (2), RUU tersebut menyebutkan bahwa “Menjual hasil hutan yang dipungut secara tidak sah dalam kawasan hutan dilakukan orang di sekitar dan dalam kawasan hutan, mendapat sangsi pidana penjara 3 bulan-10 tahun, denda Rp500 ribu-Rp5 miliar”. Pasal ini, sangat berbahaya karena perempuan yang beraktivitas di hutan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-harinya ataupun sebagai sumber ekonominya, seperti yang dilakukan oleh perempuan sekitar kawasan hutan di Lembah Napu, Kab. Poso, Sulawesi Tengah, yang mengambil rempah-rempah dan obat-obatan tradisional di hutan ataupun memetik pandan di kawasan hutan dan mempergunakannya sebagai bahan baku tikar untuk dijual, menjadi rentan terjerat pasal tersebut.

RUU ini membuka peluang lebih besar untuk kriminalisasi masyarakat, terutama perempuan yang mengambil hasil hutan hanya untuk kebutuhan hidupnya, sedangkan perusahaan-perusahaan yang mengambil hasil hutan dalam skala besar, dilegalkan atas nama investasi untuk pertumbuhan ekonomi, maupun proyek perubahan iklim. Melihat semakin masifnya ekploitasi sumber daya hutan Indonesia, oleh perusahaan multinasional/transnasional yang berdampak pada maraknya kriminalisasi perempuan pejuang HAM, yang memperjuangkan Bumi dari kerusakan yang semakin parah,

Solidaritas Perempuan menuntut:

1. Negara untuk menghentikan ekploitasi sumber daya alamatas nama pertumbuhan ekonomi maupun perubahan iklim, agar terciptanya kesejahteraan masyarakat, laki-laki dan perempuanyang seluas-luasnya.

2. Negara melindungi, menghormatidan menjaminhakmasyarakatdan hak perempuanuntuk mengakses sumber daya di bumi Indonesia.

3. Menghentikan produksikebijakan (UU/Perda/Perpres/Kepmen) yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat, laki-laki dan perempuandalam pengelolaan sumber daya alam.

4. Menghentikan tindak kriminalisasi terhadap perempuan perjuang HAM / lingkungan.

5. Membebaskan Hj. Mimi, dan aktivis-akivis HAM lainnya yang saat ini masih ditahan di penjara.

 

Jakarta, 22 April 2013

Wahidah Rustam

Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

Kontak person: Nisa Anisa (08128464430)

________________________________

[1] Data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Laporan Akhir Tahun 2012.

Leave a Reply