Renungan: Merah Putih Setengah Tiang untuk Perempuan Indonesia

Oleh Lola Amelia, peneliti Kebijakan Sosial, The Indonesian Institute

Tanggal 8 Maret 2011 bertepatan dengan peringatan 100 Tahun Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day). Sebenarnya Hari Perempuan Internasional pertama kali diselenggarakan pada tahun 1990 di Copenhagen yang dihadiri oleh 100 perempuan dari 17 negara. Namun Hari Perempuan untuk pertama kalinya diperingati secara internasional di beberapa negara antara lain Austria, Denmark, Jerman, Swiss, Amerika Serikat dan berbagai negara lainnya adalah pada tahun 1911. Kemudian bagaimana wajah perempuan di tingkat global dan nasional pada 100 Tahun Hari Perempuan Internasional ini? Di tingkatan global, menurut Ban Ki-moon, Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada Hari Perempuan Intenasional yang ke seratus tahun ini, kita merayakan kemajuan yang signifikan terkait advokasi untuk kebijakan publik yang lebih pro perempuan. Namun demikian, Ban Ki-moon menyatakan bahwa masih dijumpai di banyak negara, bahwa perempuan menjadi warga negara kelas dua.

Misalnya terkait pendidikan. Banyak negara yang sudah memberikan akses yang sama bagi perempuan dan laki-laki, untuk tingkatan dasar sampai perguruan tinggi. Tapi tidak sulit dijumpai di beberapa negara bahwa anak-anak perempuan ditolak masuk sekolah, angka putus sekolah pelajar perempuan lebih tinggi dari pelajar laki-laki, dan jika pun berhasil lulus, pelajar perempuan lulus dengan keterampilan yang minim serta kesempatan yang sedikit.

Di tingkat nasional, kaum perempuan Indonesia baru merayakan Hari Perempuan Internasional ini di era reformasi, paska krisis 1998. Bagaimana wajah perempuan Indonesia saat ini?

Dari sisi Hak Asasi Manusia, status pemenuhan hak asasi manusia untuk perempuan di Indonesia masih memprihatinkan. Hal ini selaras dengan temuan beberapa lembaga. Lembaga Bantuan Hukum untuk Perempuan (LBH APIK) pada tahun 2010, menerima 925 pengaduan kasus dengan kurang lebih 1851 orang/mitra penerima manfaat. Rifka Annisa, Pusat Pengembangan Sumber Daya untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, mencatat kenaikan sebesar 13,8 % kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2010.

Sementara itu menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) ada 105.103 kasus kekerasan yang dialami perempuan di ranah personal, publik dan negara. Di ranah personal 101.128 kasus, merupakan jumlah kasus terbanyak yaitu 96% dari total jumlah kasus. Kemudian di ranah publik sebanyak 3.530 kasus. Sedangkan di ranah negara sebanyak 445 kasus. Meskipun jumlah kasus di ranah negara adalah yang paling sedikit, namun jumlah ini 8 kali lipat lebih tinggi dibanding data tahun sebelumnya, 54 kasus.

Kekerasan di ranah negara meliputi kekerasan pada perempuan korban gusuran dan juga kekerasan atas nama agama dan moral, yaitu terkait kasus pembakaran mesjid dan penghentian kegiatan keagamaan.

Selain itu, perempuan juga dikriminalkan akibat dari keberadaan kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan. Komnas Perempuan mencatat ada 189 kebijakan diskriminatif terhadap perempuan di tingkat nasional dan daerah. 54 kategori kriminalisasi perempuan (perda terkait prostitusi dan khalwat), 25 kategori kontrol terhadap tubuh perempuan (cara berpakaian dan jam malam), 10 kategori pembatasan beragama bagi komunitas Ahmadiyah, 96 kategori pengaturan ibadah/kegiatan keagamaan dan 4 kategori pengaturan buruh migran. Kebijakan diskriminatif ini tersebar di lebih dari 100 kabupaten di 25 provinsi di Indonesia.

Selain mengkriminalkan perempuan, negara juga gagal memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi perempuan. Barisan Perempuan Indonesia menunjukkan fakta bahwa dalam 1 hari, ada 12 buruh migran perempuan mati di negara tempat mereka bekerja, 1600 buruh perempuan di PHK, 20 perempuan diperdagangkan untuk komoditi seksual, 12 perempuan menjadi korban kekerasan seksual, 48 ibu meninggal saat melahirkan, serta 5,3 juta perempuan usia di atas 15 tahun mengalami buta aksara.

Dari uraian di atas tersimpulkan bahwa perempuan Indonesia saat ini masih dililit berbagai persoalan dan negara adalah aktor atau pelaku utama kekerasan terhadap perempuan Indonesia. Kekerasan oleh negara merupakan kekerasan yang sistematis dan formal karena berdalih kebijakan.

Lola Amelia, Peneliti Kebijakan Sosial, The Indonesian Institute

http://www.theindonesianinstitute.com

Leave a Reply