“Satu Harapan” Karya Yuli Andari Menang StoS Award 2010

[BERITABUMI] ~ Film dokumenter berjudul Satu Harapan karya Yuli Andari Merdikaningtyas meraih penghargaan South to South Festival Award (StoS ) di Jakarta (24/1/2010) setelah film berdurasi 20 menit ini menyisihkan lima film lain yang dinominasikan.

Film Satu Harapan bercerita tentang perjuangan seorang ibu yang sehari-harinya bekerja sebagai penggarap hutan di Sesaot, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Setiap harinya ibu ini memetik pisang hasil kebunnya untuk dijual pada pengepul. Pendapatannya yang tak seberapa ia gunakan untuk keperluan sehari-hari dan mencoba tetap menabung. Ia bercita-cita kelak anaknya punya pendidikan tinggi agar hidupnya lebih baik. Ibu Safiah punya satu harapan dalam hidupnya. Harapan yang ia yakini akan datang suatu hari nanti.

Yuli Andari saat dihubungi beritabumi. or. id (26/1/2010) mengaku senang atas penghargaan tersebut. Bagaimanapun merupakan kepuasan bagi pembuat film yang hasil karyanya ditonton, ditanggapi dan direspon serta isu yang diangkat bisa menjadi masukan bagi pembuat kebijakan di bidang lingkungan hidup dan gender, katanya. Award ini baginya merupakan nilai tambah setelah isu yang ada dalam film tersampaikan dan bermanfaat bagi penontonnya dan masyarakat seputar hutan.

Dalam pembuatan film, Andari tidak mengalami kesulitan berarti karena masyarakat setempat mau bekerjasama dalam pengambilan gambar aktifitasnya. Tim pembuat film akhirnya bisa berinteraksi dengan mereka yang sibuk dengan aktifitasnya. “Bagaimana masyarakat terutama pemeran utama Ibu Safiah bisa bertutur sambil melakukan kebiasannya tanpa menghiraukan kamera yang mengambil gambar mereka,” kata Andari.

Andari membuat film dokumenter Satu Harapan dengan pendekatan yang berbeda. Tidak wawancara atau narasi saja tetapi bagaimana film ini menangkap langsung kejadian tanpa ada skenario. Semuanya serba natural atau alami dan tidak dibuat-buat karakternya. Kamera secara terus menerus mengikuti aktifitas Safiah, keluarganya dan masyarakat sekitarnya.”

Sesuatu yang alami ini terkadang bisa membuat penonton merasa adanya kejadian yang dramatis. Misalnya saat Ibu Safiah hujan-hujanan. “Nah seperti inilah kebiasaan kesehariannya yang juga masyarakat lain alami juga,” jelasnya.

Film ini ingin menangkap dan menyampaikan bagaimana kedekatan ibu, anak, suami dan hutan beserta lingkungan sekitarnya. Pesan-pesan yang ada di film ini seperti kebiasaan seorang perempuan yang sangat berpengaruh dalam keluarga dan kehidupan sekitarnya, kemiskinan masyarakat di seputar hutan yang mencapai 40% dan sangat ironis dengan kekayaan yang tersimpan di hutan itu.

Film yang mengangkat isu gender ini mengisahkan perjuangan seorang ibu bernama Safiah dengan dua orang anaknya. Melalui pengemasan alur cerita yang sealami mungkin, film ini menyuguhkan keseharian Safiah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menurut Hayu Wibawa dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), salah satu produser film, sesaat setelah mewakili menerima penghargaan di malam puncak StoS Film Festival (24/1/2010), Safiah sebagai pemeran utama menuturkan kisah sehari-harinya selama menjalani kebiasaannya yang berladang dan memanen buah-buahan di hutan kemasyarakatan di mana masyarakat bisa menanam tanaman musiman atau tahunan di sekitar tegakan hutan. Dia memetik pisang dan menjualnya kepada pengepul, lalu membagi hasil penjualannya yang tidak seberapa untuk memenuhi kebutuhannya.

Isu Gender Kuat

Cerita film ini merupakan bagian dari proyek pengembangan skema sertifikasi hasil hutan bukan kayu di Lombok oleh LEI dan Konsepsi NTB. Sebuah cerita tentang pengelolaan hasil hutan di Lombok. Kebiasaan ini telah terjadi di sebagian besar kawasan di Desa Sesaot, Lombok Barat, dan daerah lainnya di Nusa Tenggara Barat.

“Cerita ini diangkat menjadi sebuah film tersendiri karena ada isu gender yang kuat untuk mencapai sebuah harapan. Kami melihat ada seorang ibu yang bekerja dengan anak-anaknya untuk memenuhi harapannya mempunyai tanah sendiri,” kata Wibawa.

Dari cerita film ini nampak ketangguhan seorang perempuan dalam kemandiriannya. Ia melahirkan, menyusui dan berkembang atas daya sendiri, mendampingi suami yang tidak bekerja. Diharapkan dari film dokumenter masyarakat membuka diri kepada keterlibatan perempuan yang nyata dalam pengorganisasian dan pengambilan keputusan ke depannya nanti.

Keenam film nominasi kompetisi StoS Film Festival ini tidak hanya berbicara tentang persoalan lingkungan hidup, namun juga mengandung cerita-cerita inspiratif dalam menangani persoalan lingkungan hidup yang diinisiasi oleh individu maupun kelompok tanpa keterlibatan negara di dalamnya. Dengan pesan yang kuat dan dapat memberi inspirasi bagi penonton, akhirnya Satu Harapan mendapatkan penghargaan award ini.

South to South (StoS) adalah gerakan penyadaran dan penggalangan solidaritas dengan menggunakan film dan media visual. Gerakan ini bertujuan melibatkan masyarakat kota, utamanya generasi muda dan perempuan, untuk memahami bagaimana potret eksploitasi yang terjadi di Negara Selatan, serta kaitannya dengan mereka. Sejak awal diadakan pada 2006, gerakan ini meluas baik dari sisi dukungan lembaga dan mobilisasi publik. Untuk info lengkap tentang StoS, kunjungi >> http://www. stosfestival. org/

Sumber: artikel BeritaBumi.or.id oleh Ani Purwati/26jan2010 + sinopsis di www.benang-merah.com

Leave a Reply