Solidaritas Perempuan

Sejarah Solidaritas Perempuan

Solidaritas Perempuan (SP) di dirikan pada 10 Desember 1990 Pada awalnya berbadan hukum Yayasan dan pada 1 April 1993 berubah menjadi organisasi perserikatan dengan keanggotaan individu

Tirani Yang Melahirkan Solidaritas

Dasawarsa tahun 80-an, merupakan kurun waktu saat rejim otoriter Orde Baru telah sampai pada satu bagian dari puncak-puncak tertinggi bangunan menara kekuasaannya. Bagi rakyat Indonesia, waktu-waktu itu merupakan suatu babak di mana penyelenggaraan kekuasa­an di republik ini semakin kuat dikendalikan dan digerakan oleh cara pandang dan pola tindak mengikuti logika penimbunan dan pelenyapan. Di bawah kekuasaan Orde Baru, tindak menimbun dan melenyapkan telah dipasang sebagai mata kembar dari satu pedang yang sama. Dari waktu ke waktu, semakin kentara bahwa keberadaan yang satu merupakan syarat, bagi keberadaan yang lainnya. Dalam perjalanan untuk sampai pada puncak-puncak keku­asaannya itu, Orde baru harus secara terus-menerus mempraktekkan aksi menimbun yang dibarengi dengan aksi melenyapkan. Harus menimbun dan harus melenyap­kan, dipraktekkan sekaligus sebagai hukum keniscayaan agar kekuasaan tetap ada dalam genggaman.

Model pembangunan Orde Baru yang ditopang oleh dua tiang utamanya berupa kekuatan modal konglomerasi dan kekuatan represi militer, menjadi pola dasar bagi praktek sistem kekuasaan tersebut. Ia telah membuahkan kemak­muran luar biasa yang hanya dinikmati segelintir kelas elit ekonomi dan politik. Mereka ini tak lain adalah kaum elit birokrat sipil dan militer serta kekuatan ekonomi konglo­merasi yang memutar modal usahanya dengan bersandar pada kekuatan operasi militer dan sistem birokrasi yang korup. Akibatnya, telah berlangsung sentralisasi dan konsen­trasi berbagai aset fasilitas yang ditimbun sebagai hasil dari praktek penggusuran atau pelenyapan dan kesewenang-­wenangan yang berpola primitif. Pengabdian ‘tunduk’ dan pengorbanan ‘pasrah’ adalah hukum wajib yang diberlaku­kan secara paksa bagi massa rakyat. Titah perintah, upeti dan ‘peng-intel-an’ adalah hak absolut di tangan pemegang kekuasaan. Garis pemisah yang ‘tercipta dari model pem­bangunan yang dianut oleh rejim Orde Baru tersebut dari waktu ke waktu menjadi semakin jelas dan nyata. Di satu pihak adalah pusat dan di pihak lain adalah kaum pinggiran. Di pihak pusat mengalir bertimbun kekayaan dan di pihak pinggiran bertumbuh kantong-kantong kelangkaan dan kemiskinan. Pendeknya, ada kelimpah-ruahan seiring deng­an kelangkaan. Pengerucutan struktur masyarakat di bawah kekuasaan rejim Orde Baru, tak terhindarkan lagi, mengakibatkan kesenjangan yang makin. menganga antara elit kelas penguasa yang memegang kendali sumber daya eko­nomi-politik-sosial dan massa rakyat yang posisinya terus dipinggirkan.

Kondisi ini sesungguhnya melukiskan kenyataan pada dua sisinya sekaligus. Satu sisi, pretasi hasil pembangungan ekonomi yang mengalirkan surplus hanya bagi kelas elit; dan sisi lain, proses peminggiran dan penelantaraan ter­hadap massa rakyat yang berlangsung makin massif sehing­ga makin memperluas bidang kontradiksi sosial. Kontradiksi antara desa-kota, daerah-pusat, kaya-papa, kuasa-paria dan Jawa-luar Jawa. Di sana-sini meletup dan merebak konflik yang membangkitkan aksi perlawanan akibat perampasan sumber-sumber kekayaan dan lahan-lahan penghidupan rakyat. Kedung Ombo, Cimacan, Sugupa, Pulau Panggung, Badega, Dompu adalah sebagian dad kasus-kasus perampasan tanah yang berlangsung pada dasawarsa tahun delapan puluhan. Atas nama ‘pembangunan’, rakyat petani kecil dipaksa keluar dari tanah-tanah garapan yang menjadi gantungan hidupnya. Atas nama ‘kebersihan dan ketertiban’ kota, para pedagang kecil dan pengasong dikejar-kejar dan digusur. Atas nama ‘persatuan dan kesatuan’, perbedaan dan kemajemukan ditindas dan di­haramkan. Atas nama ‘pembangunan’ pula, kekayaan sumber daya alam di luar pulau Jawa dieksploitasi secara gila-gilaan bersamaan dengan proses peminggiran masya­rakat lokal tradisionalnya. Di penghujung tahun 1980-an penggusuran dan peram­pasan di banyak tempat itu, kemudian memunculkan ber­bagai kelompok solidaritas untuk massa rakyat yang tergusur dan terampas hak-hak dasariahnya. Di antaranya, adalah Kelompok Perempuan Untuk Solidaritas Badega (KPSB) yang mengadakan demonstrasi ke DPR untuk mendukung perjuangan rakyat petani Badega. Bersamaan waktu dengan berdirinya kelompok tersebut, juga lahir Kelompok Kerja Soiidaritas Perempuan (KSP) yang melaku­kan investigasi dan pembelaan kasus-kasus Pulau Pang­gung dan Sugapa pada tahun 1989.

Pada saat kelahirannya, kelompok-kelompok solidaritas itu hadir secara spontan dengan struktur organisasi yang sederhana, bersifat sementara dan lebih banyak dibimbing oleh spirit voluntarisme (kesukarela-an). Bentuk aktifitasnya meliputi mulai dari pengumpulan fakta-fakta di lapangan hingga melancarkan aksi-aksi protes secara terbuka. Fokus sasarannya secara umum diarahkan pada satu agenda utama pada waktu itu: penguatan perjuangan rakyat untuk merebut kembali tanah-tanah garapannya.

Dalam perjalanannya, kelompok-kelompok solidaritas yang digerakkan oleh para aktivis perempuan tersebut kemudian mendapati banyak kenyataan yang mengarahkan mereka pada temuan-temuan dalam rupa ‘tema-tema baru’. Dari pengalaman praktik diskusi dan refleksi atas kondisi masyarakatnya, secara setahap demi setahap mereka mulai dapat mengenali watak dasar dari sebuah sistem kekuasaan dengan siapa mereka sedang behadapan. Di titik puncak kekuasaan otoriter Orde Baru itu, gagasan dan cita-cita bentuk masyarakat yang demokratik-egaliter dan emansipatorik dipandang oleh penguasa sebagai pikiran-­pikiran subversif yang paling berbahaya. Sebaliknya, pengu­asa memaksakan absolutisme dan mono-interpretasi ide-ide dan pemikiran di tengah kehidupan masyarakat sipil mengenai ‘persatuan dan kesatuan’ dan ‘bahaya ancaman radikalisme dan pikiran- pikiran revolusioner’. Demi tujuan itu, pembangunan dan pengajaran dilakukan di hampir semua kegiatan dan semua lingkup kehidupan: pribadi (penindasan kebebasan berpikir dan berpendapat), sosial budaya (sosialisasi perilaku kekerasan, penyangkalan ke­aneka ragaman, pembatasan kebebasan berserikat dan berekspresi), politik dan ekonomi (monopoli kekuasaan dan aset ekonomi oleh kelas elit). Kenyataan ini tak lain meru­pakan konsekuensi dari akumulasi terus menerus selama dua puluh lima tahun lebih kebuasan kapitalisme primitif yang dibangun oleh rejim otoriter Orde Baru. Kerakusan primitif kapitalisme dan logika penaklukan militeristik telah bertemu dan bersenyawa membentuk watak dasar dan rejim Orde baru di republik ini. Kesewenang-wenangan yang dipamerkan oleh rejim Orde Baru tersebut makin jelas dalam memberikan gambar­an perihal apa kandungan esensi dari persenyawaan itu: watak congkak keyakinan mistis dari ‘pembangunanisme’ yang ditopang oleh struktur politik kekerasan. Persenyawa­an antara mistifikasi ‘pembangunan’ dengan struktur politik kekerasan ini pada akhirnya menempatkan masyarakat sipil di bawah sub- ordinasi negara. ‘Pembangunan’, adalah sama dan sebangun dengan prestasi menimbun setinggi-tinggi dan sebanyak-banyak yang bisa dicapai melalui aksi penguasaan dan penundukan di bawah kepemimpinan elit negara.

Membangun, bagi negara Orde Baru artinya adalah menguasai dan menundukkan. Inilah yang menjadi motif utama yang menggerakkan seluruh mesin pembangunan selama lebih dari dua puluh lima tahun itu. Kekuasaan yang ada di tangan elit, kemudian dimanfaatkan secara maksimal untuk menyedot sumber-sumber ekonomi dan kekayaan sosial-budaya rakyat demi kemakmuran mereka bersama kroninya. Dalam rangka mewujudkan motif tersebut, diper­syaratkan adanya kaum mayoritas di masyarakat yang diposisikan harus tunduk menanggung beban demi berjalan­nya mesin pembangunan. Dan itu, tiada lain adalah ‘kaum mayoritas yang dibisukan’. Mereka adalah kaum yang ‘hak-­hak suaranya disenyapkan’ sebagai bagian pokok dari berbagai desain program pembangunan. Salah satu bagian utama dari desain ini adalah menem­patkan kaum perempuan di bawah kepemimpinan negara dalam rangka memutar roda pembangunan. Dalam desain ini kaum perempuan ditempatkan tak lebih sebagai bagian utama dari rantai kapital pembangunan dan pembangunan kapital. Dunia ide dan keberadaan sosial kaum perempuan pun menjadi demikian ditumpulkan dan dikerdilkan dalam gemuruhnya deru roda pembangunan, yang sarat dengan nilai-nilai dan praktik patriarkhi. Penemuan utama inilah yang kemudian mengantarkan KSP untuk meluaskan cakrawata pandangan dan meman­tapkan langkah-langkah ke-depannya. Bagi para aktivis KSP, tema utama tentang kenyataan di masyarakat telah ada dalam genggaman; dan karenanya keputusanpun mutlak harus ditetapkan: menggalang solidaritas di antara kaum mayoritas yang diperlakukan secara sewenang-­wenang oleh sebuah slstem kekuasaan yang rakus dan otoriter. Itulah kaum perempuan.

Solidaritas Perempuan

Jl. Jati Padang Raya Gg. Wahid No. 64
Pasar Minggu
Jakarta 12540
Indonesia
website >> http://www.solidaritas-perempuan.org
email >>
tel >> (62-21) 7802529, 7826008
fax >> (62-21) 7802529

Leave a Reply