Telur Asin Asap Dwi Mulyanti Perkaya Makanan Khas Semarang

 

Dwi Mulyanti, penghasil telur asin asap.

[SUARAMERDEKA] ~ Pada bulan Oktober 2008, ia mendapat penghargaan dari MURI [Museum Rekor-Dunia Indonesia] sebagai orang pertama yang menciptakan telur asin asap. Begitu meluasnya kabar tentang kelezatan telur asin asap ini sampai akhirnya menjadi salah satu makanan khas Semarang yang diincar bahkan di luar Jawa Tengah. Tidak mengherankan apabila produknya yang diberi label ‘Eltama’ tersebut kini sudah tersedia di supermarket-supermarket besar maupun kecil dengan harga rata-rata hampir dua kali lipat harga telur asin biasa.

Mulanya tidak ada yang percaya telur asin asap buatan Dwi Mulyanti (44) bisa laku terjual. Dengan harga Rp 2.500,- per butir, tentu jauh di atas rata-rata telur asin yang hanya dijual di kisaran Rp 1.100,- sampai Rp 1.300,- per butir. Pertama diluncurkan 20 Desember 2006, telur asin asap buatan Dwi Mulyanti boleh dibilang langsung menggebrak. Harga yang tinggi rupanya termaklumkan oleh keunikan rasanya yang membuat para konsumen jatuh cinta pada cicipan pertama.

Ketika ditemui penulis Suara Merdeka di kediamannya di Jl. Berlian I/D-272, Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tembalang, Semarang, Dwi Mulyanti menjelaskan kenapa harga telur asin asap jauh lebih mahal katimbang telur asin biasa. Pertama, katanya, dibutuhkan waktu kurang-lebih satu bulan untuk memprosesnya. Pada dasarnya, cara pembuatan serupa dengan membuat telur asin biasa. Perbedaan terletak hanya pada proses pengasapan yang cukup pelik namun memberi beberapa nilai tambah yang membuatnya unik, seperti: hilangnya bau amis, corak khas pada kulit telur, dan aroma khas asap yang menggugah selera.

”Risiko pecahnya cukup tinggi, antara 10-15 persen, makanya harganya lebih mahal,” kata Dwi yang didampingi suaminya Amos Kumaidi dalam menjalankan wirausahanya. Dwi menggunakan telur bebek yang dua kali seminggu didatangkan dari penyelia di Demak. Sekali datang bisa sampai 2.000 butir telur.

Pengasapan telur selama 12 jam yang dilakukannya juga menuntut sumber asap yang khas. ”Sebenarnya yang cocok untuk mengasap hanya kayu petai cina, batok kelapa, dan sekam. Dua yang pertama sulit sekali mencarinya, makanya kita pakai sekam,” ujar Amos yang sebelumnya menekuni usaha sol sepatu. Sekali pengasapan butuh satu karung sekam yang dibelinya di tempat penggilingan padi di desa Sendangmulyo. Sekam pun kini mulai terbatas persediaannya karena para penjual tanaman di sekitar Semarang juga membutuhkan sekam untuk campuran tanah tanaman pot.

Sebuah oven setinggi 1,8 meter buatan sendiri, yang berkapasitas 600 butir telur, dipakai untuk mengasap telur. Pasangan suami-isteri ini bercita-cita membangun sebuah sentra pembuatan telur asin asap dan sebuah koperasi untuk menyertakan masyarakat setempat dalam membangun kesejahteraan melalui usaha ini. Pelatihan telah dilaksanakan bagi warga-warga yang berminat  dan Disnakertrans Kota Semarang memberi komitmen untuk menyediakan bantuan dua buah oven yang masing-masing berkapasitas 1.000 butir ditambah dengan kompor dan peralatan produksi lainnya.

Ketika mulai pada tahun 2006, Dwi hanya memproduksi sekitar 200 butir per minggu. Ia menjajakannya secara berkeliling dan menitipkan sebagian di beberapa supermarket kecil di sekitar kediamannya. Sekarang, hanya dua tahun kemudian, telur asin asap asli buatannya bergulir deras, mencapai 2.000 butir per minggu, menembus pasar ritel tingkat lokal maupun nasional dengan kekuatan modal Rp 20-25 juta per bulan. Sejajar dengan ikan bandeng asap dan lumpia, telur asin asap ciptaan Dwi Mulyanti kini hadir menggiurkan sebagai oleh-oleh dari Semarang yang sangat dinantikan keluarga dan kerabat di rumah.

foto: pengrajin telur asin asap membersihkan kulit telur yang baru selesai 12 jam diasap.

sumber:

  • ‘Telur Asin Asap Tembus Pasar Ritel Besar’ oleh Modesta Fiska/Suara Merdeka CyberNews/Jan2008 >> http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0801/16/dar16.htm
  • http://www.muri.org/

 

 

Leave a Reply