Khofifah Indar Parwansa Daki Hampir Semua Gunung Jawa Timur

Oleh Tim Radar Surabaya

Khofifah Indar Parwansa

Khofifah Indar Parawansa, yang sedang menjalani kampanye pencalonan diri sebagai Gubernur Jawa Timur periode 2008-2013, semasa kuliah di Universitas Airlangga aktif sebagai anggota  Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam (Impala) dan sudah menaklukkan hampir semua gunung di Jawa Timur, termasuk Gukung Klotok, Kelud, dan Semeru.

Khusus di Gunung Semeru, Khofifah mempunyai pengalaman yang tidak dapat ia lupakan. Ia mengatakan bahwa bila gabung dengan rombongan mendaki gunung, ia selalu berjalan terdepan, dan seringkali meninggalkan teman-temannya karena derapnya yang cepat. Saat berusaha ‘potong kompas’ di Gunung Semeru, ia bepergokan dengan ‘makhluk asing’ bersosok tinggi, putih, berambut panjang, tidak mengenakan baju kecuali kemaluannya yang ditutupi sehelai plastik. Tangan kiri makhluk itu menggenggam celurit. “Saya gemetaran, ketakutan — untunglah teman-teman cepat menyusul!” kenangnya kembali.

Selanjutnya, pada pendakian yang sama di Semeru, Khofifah makhluk lain yang membuatnya terhenyak, yaitu seekor harimau bersama anak-anaknya. Khofifah langsung diam di tempat, pelan-dia melangkah mundur menjauhi binatang buas itu. Kemudian ia bermalam di sebuah gubuk kecil yang letaknya di tempat bernama Ranu Gembolo. Ia dinasehati oleh teman-teman agar menjelang subuh, jangan buka pintu gubuk, sekalipun terdengar desisan atau auman. “Itu harimau atau ular,” cerita Khofifah. “Benar saja, menjelang subuh saya mendengar suara itu. Mereka mengendus bau manusia! Tapi nggak terjadi apa-apa, mereka menyingkir saat matahari terbit.” katanya.

Pengalaman sering bertemu ular atau harimau ketika mendaki gunung justru membuat mentalnya semakin kuat, katanya. Di ranah politik, Khofifah pun tak gentar bertemu banyak ‘ular’ dan ‘harimau’. “Jadi, saya sudah biasa dengan manuver- manuver politik. Wong saya sering ketemu macan,” ujarnya bercanda dengan dialek Jawa Timur yang kental.

Sewaktu kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga itu juga Khofifah dipercaya untuk menjadi Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Surabaya. Sepanjang sejarah PMII, ia adalah perempuan pertama yang memangku jabatan ketua. Khofifah rajin menghadiri diskusi kebangsaan yang diisi oleh Kiai Haji Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. “Waktu itu saya gak tahu Gus Dur itu siapa. Yang jelas, saya nilai dia pintar,” katanya.

Perempuan cerdas dan berani ini, yang ternyata mantan pemain hoki dan sampai sekarang gemar sepakbola,  setelah lulus kemudian terjun ke ranah politik. Pada 1992 ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dari Partai Persatuan Pembangunan. Ketua PPP Jatim Sulaiman Fadli kala itu dinilai sangat berjasa mengangkat karir politiknya ke tingkat nasional, dan istri Sulaiman menjadi guru kepribadian Khofifah. Khofifah mengakui, bahwa walau sudah menjadi anggota DPR Pusat, dirinya kurang pandai ‘berdandan’.

“Saya diberi tahu, kalau sudah jadi anggota dewan pakai sandal yang haknya minimal lima senti. Warna baju minimal dua macam,” kata Khofifah. Kenapa harus haknya tinggi? “Agar jalannya bisa pelan dan diatur. Toh, saya tetap saja jalan cepat karena kebiasaan mendaki gunung itu,” katanya sambil tertawa.

Dijuluki Ugal-ugalan Karena Ingin Jadi Pembalap

Jemurwonosari, Jemurngawinan, dan Wonokromo. Di tiga kampung di Surabaya itulah Khofifah Indar Parawansa menghabiskan masa kecil hingga remajanya. “SD di Jemur Ngawinan, SMP dan SMA di Wonokromo, kuliah di Unair,” cerita Khofifah yang lahir pada 19 Mei 1965.

Menurut ibu empat anak ini, masa kecilnya tak ada yang istimewa. Sama dengan anak-anak lain. Hanya saja, Khofifah cilik itu ternyata perempuan pemberani. Setiap pulang sekolah dia bersama teman-teman laki-laki terjun ke sungai di Jemur untuk mencari kerang air tawar. “Waktu itu sungai yang ada di Surabaya masih bagus, sehingga banyak kerang. Sekarang kerang seperti itu harganya sangat mahal,” kenang Khofifah.

Khofifah Indah Parwansa, pendaki gunung handal. (Foto > Elshinta.com)
Khofifah Indah Parwansa, pendaki gunung handal. (Foto > Elshinta.com)

Orangtuanya, Haji Achmad Ra’i dan Hajah Rochmah–keduanya sudah almarhum–tidak melarang Khofifah pergi bermain-main di sungai. Syaratnya: saat sore menjelang magrib harus sudah berada di rumah untuk mengaji. Iklim tempat tinggalnya memang sangat mendukung untuk menjalankan ibadah. Bahkan, ketika berada di bangku kelas empat sekolah dasar, Khofifah sudah berkumpul dengan para ibu-ibu tibaan. Dia dipercaya sebagai bendahara.

“Dari sanalah saya diajarin oleh ibu saya untuk mengelola keuangan, bagaimana agar uang itu bisa dibelikan alat-alat pendukung seperti piring dan tikar,” kenang Khofifah.

Pada tahun 1970-an, masih sangat jarang orang yang punya televisi. Satu-satunya warga yang punya televisi adalah dosen IAIN Sunan Ampel. Khofifah tak absen menonton Dunia dalam Berita di TVRI pada pukul 21.00 WIB. Tuti Aditama menjadi pembaca berita favoritnya. Khofifah pun ingin seperti Tuti Aditama. Perempuan pintar, yang tahu perkembangan dunia. “Waktu itu yang ada di pikiran saya, Tuti itu hebat, bisa tahu begitu banyak peristiwa-peristiwa di dunia,” kata Khofifah.

Menginjak bangku kuliah, Khofifah dikenal di kampungnya sebagai anak perempuan yang ugal-ugalan. Ini karena dia suka mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Kenapa? “Soalnya, saya ingin menjadi pembalap,” kata Khofifah lalu tertawa kecil. Keinginan itu bahkan diwujudkan dengan mendatangi seorang pembalap mobil.

Lalu, dia melihat-lihat aktivitas si pembalap serta kendaraannya. Namun, niatnya menjadi pembalap batal setelah tahu kalau mobil balapan itu dibuang begitu saja sehabis dipakai. “Kalau saya jadi pembalap, pakai uangnya siapa?” katanya.

Diringkas dari sumber: Blog Orang Kampung,  Lambertus L. Hurek, http://hurek.blogspot.com/2008/06/khofifah-pendaki-gunung-calon-gubernur.html

Leave a Reply