Ayu Utami Tanggapi Keresahan Taufik Ismail Pada ‘Gerakan Syahwat Merdeka’

Ayu Utami - dw

 

Jakarta, 10/7/2008 | DETIKNEWS – Penyair Taufik Ismail belum lama ini kembali menegaskan keresahannya akan ‘Gerakan Syahwat Merdeka’. Gerakan ini salah satunya muncul lewat sastra. Mereka yang masuk dalam barisan yang dituding Taufik adalah para penulis fiksi yang suka mencabul-cabulkan karya.

Salah satunya yang kena tuding adalah Ayu Utami, si pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998 lewat novel fenomenal ‘Saman’. Taufik menyebut ‘si Parasit Lajang’ ini sebagai pelopor angkatan sastra Fraksi Alat Kelamin (FAK). Itu gara-gara novel ‘Saman’ yang ditulis Ayu yang menabrak tabu seks menjadi trend dan banyak diikuti penulis lainnya.

Bagaimana pandangan Ayu atas tudingan yang dilontarkan Taufik Ismail? Di sela-sela memenuhi permintaan penggemar untuk menandatangani novel ‘Bilangan Fu’ dan foto bersama, Ayu menjawab semua tudingan itu.

Perempuan kelahiran Bogor itu mengaku surprise, karena meskipun ia dituding sebagai pelopor angkatan sastra Fraksi Alat Kelamin, ternyata sejumlah penggemarnya yang datang adalah dari kalangan perempuan berkerudung.

Berikut wawancara Ayu Utami dengan Iin Yumiyanti dari detikcom:

Apa pandangan anda terhadap sastra Indonesia kini? Taufik Ismail belum lama ini kembali menegaskan munculnya Gerakan Syahwat Merdeka. Apa pendapat anda?

Pernyataan Pak Taufik Ismail itu kurang baik karena ia suka memberi stigma. Itu sama seperti orang-orang PKI saja. Cara-cara seperti itu kurang sehat. Menurut saya itu terjadi karena pemikiran Pak Taufik terlalu sederhana, picik.

Saya merasa Pak Taufik seperti ini, seumpama melihat perempuan, dia kan punya mata, tangan, kaki, tapi Pak Taufik melihatnya kok hanya dari alat kelaminnya saja. Mengapa yang dia pikir hanya itu? Fokus dia hanya melihat pada syahwat dan kelamin. Saya pikir ada masalah dengan fokus Pak Taufik.

Menurut saya, kita boleh saja tidak setuju dengan sesuatu, tapi tidak boleh dengan memberikan stigma.

Tapi kalau diamati, setelah novel Saman yang anda buat, di dunia sastra memang seperti kebanjiran tema yang mengangkat masalah seks secara berani dan kebanyakan ini dilakukan para penulis perempuan. Tanggapan anda?

Sekarang soal sastra, atau baiklah soal novel. Kalau kita lihat setelah Saman atau tepatnya setelah reformasi, tiba-tiba novel atau fiksi yang mengangkat masalah seks meningkat. Ini kita harus melihatnya secara menyeluruh dan rileks. Jangan dilihat hanya sepotong-sepotong.

Harus diketahui masa itu kita baru saja mendobrak zaman yang represif. Situasi chaos dan terjadi euforia kebebasan setelah rezim Orba yang represif tumbang. Pada masa itu memang terjadi euforia kebebasan, termasuk masalah seks.

Euforia seks tidak hanya dilakukan sastrawan perempuan, ada juga laki-laki, Moammar Emka yang membuat Jakarta Undercover, itu kan laris luar biasa.

Tapi sekarang, setelah 10 tahun, pendulum beralih lagi. Sekarang pendulumnya pada agama. Setelah masa chaos, orang rindu pada hal-hal yang berbau spiritual, maka novel seperti Ayat Ayat Cinta pun laris.

Jadi apapun sebenarnya bisa jadi pasar bagi industri, penerbit juga film. Seks bisa jadi pasar, agama juga bisa.

Jadi menurut anda tidak ada Gerakan Syahwat Merdeka dalam sastra?

Saya tidak setuju dengan tudingan soal Gerakan Syahwat Merdeka. Yang dituduh itu kan salah satunya saya. Itu pandangan yang picik. Ada banyak hal dalam tulisan-tulisan saya, mengapa yang dilihat kok hanya seksnya?

Maksudnya kalau ada syahwat merdeka, lawannya apa sih? Syahwat terikat? Itu sadomasokis namanya. Kalau mau menyalurkan syahwat harus diikat-ikat dulu.

Menurut anda, sebaiknya bagaimana memandang seks?

Seks harus diakui sebagai bagian dari kekuatan manusia. Maka harus diregulasi dengan baik. Diberi tempat aman, diberi ruang untuk berfantasi. Silakan mau syahwat merdeka, syahwat terikat, tapi jangan memberi gembok pada tukang pijat. Silakan saja liar dalam berfantasi, tapi dalam bertindak tetap dibatasi.

Saya sebetulnya mengajak orang untuk terbuka. Jangan membuat peraturan karena ketakutan. Kita takut begini lantas kita larang. Di negeri yang banyak VCD porno tidak semua terjadi perkosaan. Tidak ada relevansi antara pornografi dengan perkosaan. Kita ambil contoh di Jepang. Di sana, di restoran yang juga dikunjungi anak-anak , banyak disediakan komik yang isinya mengerikan sekali, seksnya kasar. Tapi di sana, jumlah perkosaan tidak tinggi.

Tingkat perkosaan tinggi, justru di mana perempuan sebagai individu tidak dihargai, dimana perempuan dianggap sebagai obyek.

Saya kira banyak kok laki-laki beradab yang merasa gengsi untuk memerkosa.

Kesimpulannya sastra masih aman-aman saja dan tidak perlu terlalu dikhawatirkan?

Tidak perlu takut dengan seks. Aku heran, kenapa sih takut pada seks? Kalau mau tahu, data IKAPI justru memperlihatkan buku yang laku itu adalah buku pendidikan dan buku agama. Jadi tidak usah takut atau takut berlebih-lebihan pada seks. Nanti malah jadi neurotis.

Biodata:

Nama Lengkap: Justina Ayu Utami
Lahir: Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968
Pendidikan: S-1 Sastra Rusia Universitas Indonesia

Buku yang ditulis:
Saman (memenangkan Sayembara Mengarang Dewan Kesenian Jakarta 1998)
Larung
Parasit Lajang
Sidang Susila
Bilangan Fu

Leave a Reply