Buku>> Buruh Harian Lepas: Studi Kajian Hubungan Kerja, Upah dan Kesejahteraan Di Perkebunan Sumatera Utara

Dari segi orientasi maupun strategi merupakan wujud nyata proses Negara neo-liberal. Di tengah krisis ekonomi yang belum pulih, muncul kebijakan Negara seperti pencabutan subsidi pada sektor non produktif (BBM, Pupuk, Pendidikan, Kesehatan, Listrik dll), privatisasi perusahaan milik Negara, pembebasan pasar untukbarang-barang import dan penetapan undang-undang SDA-SDM yang lebih berpihak pada kekuasaan modal.

Di bidang urusan ketenagakerjaan misalnya Negara telah melegalkan buruh di atur oleh pasar terbuka. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dimana pada pasal 64 menyatakan bahwa “ Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksana pekerjaaan atau penyediaan jasa pekerja secara tertulis”. Dalam prakteknya ketentuan tentang penyediaan jasa pekerja yang diatur dalam undang-undang tersebut akhirnya memunculkan istilah outsourcing dalam hal ini dimaksudkan penggunaan tenaga kerja (buruh) dari pihak di luar perusahaan. Melegalkan praktek outsourcing terlihat bahwa peran Negara semakin terpinggirkan dalam upaya perlindungan warganya (buruh). Meskipun dalam pasal 59 UU tersebut jelas mensyaratkan bahwa outsourcing hanya pada waktu kerja tertentu (PKWT) namun dalam praktik sistem kerja yang demikian telah diberlakukan pada setiap jenis pekerjaan di perusahaan perkebunan.

Kedua, perubahan organisasi produksi di perusahaan. Organisasi produksi di tingkat perusahaan umumya, khusus di perusahaan perkebunan muncul kecenderungan berlakunya skema perekrutan tenaga kerja (buruh) dengan harga murah. Beberapa pengamat menyatakan hal ini muncul sebagai konsekwensi dari perdangangan bebas, termasuk sektor ketenagakerjaan baik di tingkat regional maupun internasional sebagaimana sering disebut strategi labour flexibilitas. Argumen yang dikemukakan bahwa strategi ini menguntungkan buruh karena memberi kesempatan kerja yang lebih luas dengan menciptakan sistem paruh kerja, memudahkan negosiasi antara buruh-majikan yang fleksibel, buruh dapat bernegosiasi langsung dengan perusahaan tanpa perantaraan pihak lain.

Tetapi kenyataannya jauh panggang dari api. Meskipun kesempatan kerja terbuka luas, namun dari segi kualitas justru menyengsarakan buruh. Stategi labour fleksibility jelas lebih menguntungkan perusahaan semata. Salah satu akibat pelonggaran hubungan majikan-buruh menempatkan posisi tawar yang sangat rendah seperti mudahnya perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja, dan yang paling terpenting adalah mempermudah perusahaan dapat mengakumulasi modalnya tanpa terbebani oleh biaya produksi yang tinggi serta tanggung jawab sosial tenaga kerja (buruh) dengan cara pemindahan perselisilihan atau konflik perburuhan keluar dari arena perusahaan.

Dalam prakteknya pasca UU No 13 Tahun 2003 perusahaan perkebunan telah melonggarkan hubungan kerja, sehingga dikenal skema perekrutan tenaga kerja melalui Sistem Kontrak. Buruh terikat kontrak dengan perusahaan selama kurang dari tiga bulan dengan upah pokok yang sama dengan buruh tetap, tetapi tanpa tunjangan dan bonus. Pada akhirnya masa kontrak mereka mendapat kesempatan untuk diperbaharui dengan persyaratan harus dapat memenuhi target produksi di tentukan sepihak oleh perusahaan perkebunan. Dalam situasi krisis atau perusahaan mengalami masalah, mereka paling cepat “dikorbankan”. Dan karena statusnya sebagai buruh bukan SKU, mereka tidak mendapat pesangon dan pemberitahuan sebelumnya oleh perusahaan.

(sumber >> posting Kelompok Pelita Sejahtera di Goodreads.com)

Leave a Reply