Bunga Jeruk Permata Pekerti Melukis Untuk Lucu-lucuan

luk_sipandaimemasak“Memang mula-mula jenis kelamin masih dibawa-bawa. Namun akhirnya tak jadi masalah. Mungkin karena perempuan perupa sedikit, ada saja orang yang tertarik dan meneliti. Itu normal,’ kata Bunga Jeruk Permata Pekerti, seorang perupa yang karya-karyanya banyak ditunggu kolektor.

Namun, lanjutnya, kini suasana sudah “lintas gender”. “Bukankah laki-laki belajar di sekolah kejuruan yang semula didominasi perempuan, dan sebaliknya?”

Lukisan Bunga sebagian besar menampilkan imaji menyenangkan. Bahkan maut pun – itulah tema lukisan terbaru “Good Girls Go to Heaven“, tergambar begitu indah. Dalam “Hello Takeshi“, keceriaan anak-anak pun tampil begitu indah.

Apakah dia terpengaruh seni rupa pop, seperti karya Takeshi Murakami? “Sebenarnya saya melukis buat lucu-lucuan. Soalnya, waktu itu banyak orang kita belum bisa menerima lukisan ngepop.”

Dia menuturkan waktu kuliah, dosen selalu mengaitkan karya bermutu dan “dalam” dengan tema dan warna-warna kelam, yang disebut warna-warna “matang”. Artinya, campuran berbagai warna, bukan dari satu tube. “Karena itulah lukisan itu saya beri judul ‘Hello Takeshi‘.”

Takeshi Murakami, ujar dia, adalah pelopor lukisan super-ngepop di Jepang. “Butuh keberanian untuk memulai. Setelah populer di seluruh dunia, dia membawa perupa Jepang yang lain pameran ke Eropa dan Amerika. Jadi dia menjadi semacam kurator dan promotor bagi seniman Jepang yang lebih muda.”

Menurut pendapat dia, langkah itu seharusnya dicontoh seniman Indonesia. Bukan malah rebutan pameran. “Saya cukup suka Murakami, tetapi bukan penggemar berat. Saya suka Edward Hopper, Andy Warhol, Julio Larraz.”

Bunga, demikian dia biasa dipanggil, adalah salah satu dari 30 perupa perempuan di Indonesia yang terus eksis di belantara seni rupa diantara ratusan perupa berjenis kelamin laki-laki.

Bagaimana bisa terjun di dunia seni rupa?

Dari kecil saya suka melukis dan sering ikut lomba. Didorong juga oleh Bapak yang juga melukis dan menulis, serta kakak yang juga menulis. Waktu SMP dan SMA, aktivitas melukis agak mandeg karena sibuk dengan pelajaran sekolah. Di Solo, kota kelahiran dan tempat saya dibesarkan, saya sempat bergabung di Sanggar Mandungan Solo.

Ketika kuliah, saya memilih jurusan seni rupa di Jogja. Sebenarnya waktu kuliah ini saya malah tidak terlalu berkembang. Ini dikarenakan studi di kampus memberikan banyak aturan dalam melukis, jadi saya tidak bebas. Selain itu, niat saya memang hanya ingin kuliah saja, jadi jarang menggelar pameran-pameran bersama. Saat membuat skripsi dan tugas akhir, saya mulai membuat lukisan-lukisan. Tapi masih terbatas untuk dikoleksi sendiri.

Setelah lulus di tahun 1996, saya memberanikan diri ikut pameran-pameran sampai di Jakarta. Dan sejak itu, saya menyandang profesi sebagai perupa. Artinya selain berkarya, saya juga mulai mendapatkan rezeki dari lukisan.

Apa yang menjadi ciri khas lukisan Anda?

Kebanyakan ada gambar perempuan. Tapi gambar perempuan itu bukan ingin menunjukkan feminisme atau hal lain. Gambaran perempuan di lukisan saya hanya mewakili gambaran manusia saja.

Pernah juga beberapa lukisan saya ada gambar binatangnya. Ini karena saya pecinta binatang, terutama kucing. Tapi ini hanya sebagai pendukung saja.

Perupa perempuan kan belum banyak, apakah itu menjadi kendala?

Waktu awal tahun 90-an issue tentang perbedaan antara perupa perempuan dengan perupa laki-laki masih dibicarakan, meskipun samar. Tapi sekarang sudah tidak ada bedanya kok.

Justru karena perupa perempuan masih sedikit, maka sebenarnya lebih mudah bagi perempuan untuk dikenal.

Sekarang ‘kan sudah berkeluarga, ada kesulitan untuk bagi waktu antara keluarga dengan profesi?

Saya punya kiat tersendiri. Saya sadar bahwa saya termasuk yang agak sulit untuk mengatur mood dalam melukis jika konsentrasi terganggu. Secara teknis, saya juga agak lama dalam membuat satu lukisan. Bayangkan saja, untuk ukuran 1×1 meter persegi rata-rata saya selesaikan selama satu bulan.

Anak saya ‘kan masih kecil. Sehari-hari, saya bagi tugas sama pembantu untuk menjaganya. Jika sedang melukis, maka pembantu yang menjaga Akira (nama anak pertama Bunga-Red). Tapi kalau hari libur, saya juga meliburkan pembantu dan saya full mengerjakan pekerjaan rumah, termasuk masak dan mengurus Akira. Hari libur saya manfaatkan untuk keluarga.

Apakah menjadi perupa dan kehidupan yang Anda jalani ini sudah sesuai keinginan Anda?

Sejauh ini, ya. Saya bisa kerja di rumah. Tidak perlu pergi pagi-pagi ke kantor atau pulang malam. Saya juga sudah menjalin kontrak dengan salah satu gallery besar di Jakarta untuk menjual lukisan-lukisan saya.

Sebenarnya saya masih ingin punya studio sendiri. Sebuah area tertutup untuk diri saya sendiri. Tapi Akira kan masih kecil, kalau dia misalnya sudah ketuk-ketuk pintu studio dan ingin main sama saya kan kasihan juga kalau dicuekin. Ya sekarang, mesti puas dengan ruang kecil di pojok tempat saya melukis itu (sambil menunjuk salah satu sudut tempatnya melukis yang terbuka dan jadi satu dengan ruang TV).

Anda suka jeruk?

(Bunga tersenyum). Saya suka berbagai macam buah-buahan.

Nama saya memang agak berbeda dengan nama yang biasa. Ini pemberian Bapak. Cerita Bapak, waktu itu di halaman rumah kami ada pohon jeruk yang sedang berbunga. Dan pada saat malam hari bunga jeruk itu bersinar indah sekali. Karena itulah saya dinamakan Bunga Jeruk.

Waktu masih sekolah dulu teman-teman juga suka tertawa membaca nama saya. Bahkan pernah juga di awal-awal melukis saya pakai nama belakang saja, Permata Pekerti. Tapi sekarang pakai nama yang sesuai KTP saja, Bunga Jeruk Permata Pekerti.

Biografi:

Nama: Bunga Jeruk Permata Pekerti
Temp/Tanggal lahir: Solo, 8 Mei 1972

Pameran:

1994-2007: aktif terlibat dalam berbagai pameran di Jogjakarta, Jakarta dan Bali.
Foto-foto lukisan >> http://www.geocities.com/livingcolors_2000/welcome.htm

Pameran internasional:

2000:

– Awas! Recent Art from Indonesia, Australian Center of Contemporary Art, Melbourne.

– Contemporary Art Space, Canberra Ivan Dougherty Gallery, Sidney.

– Awas! Recent Art from Indonesia, Hiroshima City Museum of Contemporary Art Hiroshima dan Hokkaido Asahikawa Museum of Art.

– Touring Exhibition of Asean Art, Singapore Art Museum.

2001:

– Awas! Recent Art from Indonesia, W139, Amsterdam.

– Awas! Recent Art from Indonesia, Ludwig Forum, Germany

– Art Singapore, Santec Building, Singapore

2002

– Diobok-obok, Museum Kueppersmuehle Grothe, Duisburg, Germany.

2003

– Museum Der Moderne Salzburg, Austria.

– National Museum of Abruzzo L’Aquila, Italy.

– Melbourne Connection Asia, large scale poster format in Melbourne’s public transport stops connecting Australian audience to art in the region 24 hours a day, everyday.

2004

– Multi Sub Culture, Two Dimensional Indonesian Fine Art, Berlin.

– Equatorial Heat, Sichuan Museum, China.

– Reformasi, Contemporary Indonesian Artists Post 1998, Sclupture Museum, Singapore.

– The Eye of the Orient, The Hand Memories, Urasoe Art Museum, Okinawa.

2005

– Culture in Contract II, Het Oude Raadhuis Museum, Leerdam. Belanda.

2006

– Animaux! Sculpture Square, Singapore

Prestasi:

2002: Join international Studio and Curatorial Program, Elizabeth Foundation, New York.

sumber: Suara Merdeka 3/4/2007 + blog Lisa Febriani, lifevolution.multiply.com + foto-foto dari website resmi Bunga Jeruk di http://www.geocities.com/livingcolors_2000/welcome.htm

Leave a Reply