Makkunrai dan 10 Kisah Perempuan Lainnya karya Lily Yulianti Farid

Oleh Muhammad Nur Abdurrahman


makkunrai-sampulJudul: Makkunrai dan 10 Kisah Perempuan Lainnya
Pengarang: Lily Yulianti Farid
Penerbit: Nala Cipta Litera, 2008
Halaman: 152, 13 X 19 Cm

Perempuan di Indonesia selalu ditindas dalam segala hal. Dan, semakin terasa jika kita memandang di luar kepangkatan-kepangkatan adat-istiadat atau jenis kelamin selain dirinya. Seringkali terjadi pelabelan terhadap dirinya bukan kualitas nomor satu. Tidak hanya di alam nyata. Di alam cerita pun demikian adanya. Seringkali perempuan hanya dikenai pekerjaan tertentu semisal pemuas nafsu kaum pria dalam novel Kembang Jepun, karya Remy Silado. Atau, kisah penistaan dirinya yang sering dianggap erotis oleh kaum yang lain.

Bahkan dalam penamaan pun tokohnya, perempuan seringkali masih belum terbebas dominasi kaum pria. Contoh yang paling dekat ada pada nama pengarang kumpulan cerpen ini, Lily Yulianti Farid. Farid adalah nama suami si pengarang. Di negara yang sedemokratis Amerika Serikat pun masih tetap begitu, Laura Lane Welch lebih sering namanya ditulis Laura Bush. Pernahkah di Amerika, media massa menulis nama George Walker Bush dilekati nama Laura, misalnya Bush Laura. Tapi, hal itu tak penting dibahas, mari kita menelisik buku Lily ini.

Perampasan hak ini tak boleh terus-menerus berlaku. Harus ada yang melawannya. Siapa lagi yang paling pantas selain dari perempuan sendiri. Tentu ada banyak cara untuk menghancurkan tiran patriarki ini. Misalnya perempuan menuliskan kisahnya sendiri. Seperti yang dilakukan Lily Yulianti Farid, menulis 11 kisah perempuan dengan gagasan: perempuan sama saja dengan lelaki. Kalau lelaki bisa menjadi si hebat atau jadi jagoan, pun demikian pada perempuan-perempuan dalam kumpulan cerita pendek Makkunrai. Perempuan tak boleh lagi dipandang sebelah-mata.

Meskipun bukan yang pertama dalam jagad sastra perempuan Nusantara, Lily berhasil mendobrak atau melompati pagar-pagar yang dipasang untuk kaumnya, mungkin seperti maksud ilustrasi siluet di sampul bukunya. Paling-tidak dalam ranah Bugis-Makassar yang memiliki sejarah patriarki yang panjang. Sebelum Lily muncul, telah lebih dulu tercatat Soewarsih Djojopoespita dari Pasundan menulis Buiten Het Gareel atau Manusia Bebas, pada tahun 1930-an. Karya Soewarsih bukannya berjalan mulus tanpa hambatan. Pernah karyanya ditolak oleh Balai Pustaka dengan alasan terlalu maju dan susah dicerna pembaca Hindia Belanda. A Teeuw, ahli sastra Indonesia menyebut Buiten Het Gareel sebagai karya sastra teragung yang pernah hadir pada periode Balai Pustaka. Selain Soewarsih, ada juga Selasih dan Fatimah Hasan Delais yang telah melahirkan karya di tahun 1930-an. Bagi saya, Lily sangat wajar jika disepadankan dengan sastrawan perempuan semacam Abidah el-Khaliqi, Geni Jora atau Fira Basuki.

Lily Yulianti Farid - foto > tokohkita.com
Lily Yulianti Farid – foto > tokohkita.com

Cerpen Makkunrai mungkin bisa mewakili kasus demi kasus yang sering terjadi dalam konteks masa kini. Sekaligus paling kuat menjadi judul kumpulan cerpen ini. Kronik politik era desentralisasi yang lagi tren merambah dari pusat ke daerah bawah sekelas kabupaten pun ikut dibahas. Pesta pernikahan adalah perihal yang sakral namun bukan kekal. Seringpula dijadikan usaha pelanggengan kekuasaan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam cerpen Makkunrai, tokohnya adalah perempuan yang dikutuk oleh mitos yang dipercaya oleh kakeknya yang tukang kawin. Hanya karena dirinya adalah perempuan ke-enam yang lahir dari rahim-kandung ibunya pada saat azan Jumat berkumandang. Ada hubungan apa suara azan Jumat dan kelahiran bayi perempuan? Mungkin pernah terjadi satu bencana maha-dahsyat yang menimpa nenek moyang si kakek pemercaya mitos itu, di hari jumat kelahiran bayi perempuannya, sementara azan persis dikumandangkan. Hanya orang bodoh yang memercayai mitos demikian. Dikisahkan, perempuan itu tak mau tunduk oleh tindak-tanduk kakeknya yang sering bertingkah seenaknya saja. Cerpen ini mungkin tidak akan kadaluwarsa hingga beberapa dasawarsa. Sebab, problem sosiokultural, apalagi menyangkut perempuan, menurut ramalan pengamat masih akan tetap berlangsung lama di Indonesia.

Dalam cerpen yang lain, Ayahmu Bulan, Engkau Matahari, pembaca dihanyutkan nuansa masa pemberontakan yang masyhur dan pernah terjadi di Sulawesi Selatan namun tetap wangi tata bertuturnya. Tidak amis seperti kisah pemberontakan lainnya yang selalu bersimbah darah. Penganalogian bulan-matahari yang sungguh menarik: “Ayahmu bulan, engkau matahari. Dua bola langit yang tidak pernah bertemu, tapi saling mencari, saling merindu, saling menjaga,…”. Jannah adalah nama perempuan matahari itu. Sebelumnya ayahnya berjanji akan memberi nama, tapi ia tak kunjung kembali dari kecamuk, bahkan terkirim kabar ayahnya–lelaki bulan–itu tak mungkin kembali lagi memberi nama putrinya. Akhirnya, si nenek,yang tangguhlah yang memberi nama dan membesarkannya. Cerita ini tak memberi peran berarti pada kaum pria.

Apalah gunanya sastra jika ia tak seperti cermin. Di cermin itulah kita bisa melihat borok atau indahnya prilaku kita. Seperti pada cerpen Koruptor di Rumah Nenek Haji. Jelas amat sesuai dengan karakter orang Bugis-Makassar kebanyakan. Dari model rumah singgah sampai prinsip malempu atau sikap jujur yang kini perlahan luntur. Dalam cerita ini: Mardiah, seorang gadis yang beranjak remaja yang menjadi “anak-angkat” Nenek Haji. Kehadiran Mardiah sangat berarti dalam kehidupan Nenek Haji yang selalu merasa sepi dan ketus pada tetamu di rumah besarnya. Prinsip malempu yang dijunjung tinggi oleh Nenek Haji selalu dikampanyekan pada sanak-kerabatnya. Akan tetapi, norma malempu itu pun perlahan retak tatkala putri semata-wayang si nenek, Tante Wahidah, tersangkut kasus korupsi dana reboisasi. Keampuhan prinsip Nenek Haji mulai lumpuh ketika kasus Tante Wahidah sudah bukan lagi desas-desus. Semua yang mengenal Nenek Haji tak mau ketinggalan berita atau gosip seputar Tante Wahidah. Nenek Haji sakit hati pada putrinya.

Nuansa Teenlit dan bumbu-bumbu kuliner tak ketinggalan dalam kumpulan cerpen ini. Dalam cerita Kelas 1-9, sosok Marayya hadir seperti tokoh kebanyakan dalam novel atau cerpen bacaan usia belasan. Cerpen Dapur dan Nua, Diani dan Lakilaki Bejat, malah memberi aroma yang sedap dari bumbu-bumbu kuliner, berpadu dengan alur cerita yang juga lezat.

Kalau Anda mencari kisah romantis yang selalu berakhir manis, bukan di kumpulan cerpen ini tempatnya. Semangat kemandirian perempuan sangat terasa dalam kumpulan cerpen ini. Buku ini, kalau boleh saya bilang, seperti teks proklamasi kaum hawa akan kedigdayaan kaum adam. Seperti Brownies Amanda dari Bandung, yang dibuat oleh tukang kue yang terampil, buku ini juga sepertinya lahir dari dapur kreatif yang juga luar biasa. Bacalah! :: citizen reporter Muhammad Nur Abdurrahman < >

Leave a Reply