[cerpen] Darsinem

Oleh  Endah Raharjo

cerpen_darsinemNamanya Darsinem. Nama yang sederhana. Orang-orang memanggilnya Darsi. Pagi itu seperti biasa Darsi keluar rumah untuk memetik daun so di halaman tetangga. Seperti biasanya pula ia mengenakan baju yang itu-itu juga, rok bawah yang kedodoran dan kaus oblong lusuh yang sudah melar karena telah berkali-kali dicuci tapi tak pernah diseterika. Yang tak biasa adalah raut mukanya. Ada amarah yang tak mampu ia sembunyikan dan terpancar dari sorot mata, lekuk bibir, bahkan getaran dari dua cuping hidung peseknya.

Di usianya yang 35 tahun lebih 5 bulan Darsi masih sendiri. Belum bersuami. Ia tinggal bersama emak dan bapaknya di rumah yang terbilang layak huni, berdinding batako, beratap genteng kripik dan berlantai semen. Dalam kesendiriannya selama ini ia selalu bersikap nrimo dan pasrah. Ia jarang menunjukkan isi hatinya pada siapa pun. Segala apa yang menimpanya ditelannya sendiri. Ia hampir tidak pernah protes atas sikap bapaknya, Pak Diman, yang lebih memperhatikan kangmasnya, Kamijan, walaupun hampir setiap hari laki-laki pengangguran lulusan STM yang usianya hampir empat puluh tahun itu minta uang buat ongkos memancing di kali. Ia juga tak iri pada adik laki-lakinya, Jumingan, yang telah memberi bapak dan emaknya dua cucu dan karenanya mendapatkan sebidang tanah dekat kali. Kini di atasnya telah berdiri rumah kecil, berkat kerja Jumingan sebagai tukang kayu dan keringat isrtinya menjual tenaga sebagai buruh cuci.

Tak seperti Jumingan yang menurut Darsi jarang mengusiknya namun juga tak pernah memperhatikannya, Kamijan dianggapnya sangat kemlinthi. Mau menang sendiri. Selalu mencari cara untuk merebut haknya. Polah tingkah Kamijan sepertinya direstui bapaknya hanya karena ketika istrinya hendak melahirkan anak sulungnya itu Pak Diman bermimpi mendapat ikan emas sebesar kerbau. Ia percaya, entah kapan, Kamijan pasti membawa rejeki berlimpah bagi keluarganya.

Emaknya, Mbok Sarjilah, tak pula pernah membelanya walaupun Darsi selalu tersisih dari dua saudara laki-lakinya. “Laki-laki itu malati meski midak telek ora penyet,” begitu selalu yang dikatakan emaknya pada Darsi. Yang artinya laki-laki itu berkuasa atas perempuan dan harus dihormati walaupun mereka tidak punya apa-apa, termasuk tidak punya rasa tanggung jawab dan harga diri. Sebagai wong mburi, sebagai istri, emaknya terlatih untuk menahan lidahnya serta menghindari bertatapan mata dengan suaminya.

“Sudah, Nduk, ndak usah dipikir, biar saja tanah itu dijual bapakmu. Mumpung ada yang ngasih kerjaan Kamijan. Ayo ke langgar, sudah surup, jangan ngalamun terus, ora ilok,” Mbok Sarjilah berusaha membujuk Darsi, yang sudah seminggu ini setiap sore melamun berjam-jam di depan tungku, sampai lupa pergi ke langgar menggelar tikar untuk solat maghrib berjamaah dengan tetangganya. Dalam diamnya Darsi protes keras karena tanah yang seharusnya menjadi bagiannya itu akan dijual untuk ongkos Kamijan menjadi pegawai negeri. Katanya kalau Kamijan mau menyetor sekian puluh juta pada Pak Dalijo, pegawai bagian tata usaha di kabupaten, ia bisa jadi pegawai negeri.

“Buat apa njual tanah? Mau buat nyogok? Buat pelicin? Bisa saja to Pak Dalijo cuma nipu, seperti yang di koran itu. Seperti kerja di kapal itu. Lagi pula tanah itu jatahku, Mak,” suara Darsi lemah tapi penuh amarah. Ia tidak bisa menerima, mengapa tanah bagiannya akan dijual untuk kepentingan Kamijan. Sedangkan Kamijan sudah menerima tanah yang tiga kali lebih luas. Tanah itu sudah dijual dua tahun lalu untuk ongkos melamar kerja di kapal yang batal karena orang yang mengaku penyalur tenaga kerja itu ternyata hanya menipu. Sisa uangnya untuk membeli sepeda motor, memboncengkan perempuan kesana kemari, berganti-ganti, berlagak seperti orang kaya.

“Bapakmu itu kenal betul sama Pak Dalijo. Kalau Kamijan jadi pegawai negeri, ia bisa mengangkat derajat keluarga. Bisa kaya. Kamu juga nanti ikut dapat cipratannya,” Mbok Sarjilah berusaha menghibur Darsinem. Yang dihibur tak menghiraukannya. Sepanjang yang bisa diingat Darsi, Kamijan yang hingga kini malas bekerja dan miskin itu tidak pernah menganggapnya ada. “Apalagi kalau dia jadi kaya, pasti lumat aku diinjaknya”, jerit hati Darsi. Terbayang di pelupuk matanya yang berat karena menahan air mata, bagaimana selama ini Kamijan telah menghabiskan seluruh harta keluarga dan menyia-nyiakannya. Sebelum menjual tanah bagiannya, Kamijan telah menjual dua ekor sapi, katanya untuk menyewa kios dan berjualan sembako di Pasar Pon, tapi uang itu habis entah kemana dan kios tak pernah dibuka.

“Ah, sudahlah, itu sudah adzan, mau ke langgar nggelar tikar.” Mbok Sarjilah meninggalkan anaknya dalam remang petang. Darsi memandangi percik api dari ujung-ujung kayu yang terbakar yang semakin terang dengan nyala kuning kemerahan seiring turunnya malam. Wajahnya ia dekatkan ke lubang tungku, terasa panas, namun tak sepanas bara di dalam hatinya.


***

Darsinem tidak beranjak dari amben ketika Mbok Sarjilah menyuruhnya menyedu teh untuk tamu bapaknya. Ia tahu siapa yang datang ke rumahnya. Mbah Kaji. Orang yang mau membeli tanahnya. Orang terkaya di dukuhnya, tuan tanah sekaligus rentenir yang berkali-kali naik haji dengan uang hasil jual beli tanah dan keuntungan yang diperolehnya dari membungakan uang pada para tetangganya sendiri. Reputasinya dikenal di seluruh kecamatan. Siapa saja yang mau menjual tanah karena butuh uang, ia akan mendatangi Mbah Kaji.

“Darsi, Nduk, itu bapakmu ada tamu!” Mbok Sarjilah mengguncang kaki kiri anaknya yang tengkurap di amben. Darsi menggerakkan kaki sedemikian sebagai isyarat kalau dia tidak mau. Mbok Sarjilah mengguncang-guncang kaki anaknya lebih keras.

“Emoh, Mak. Emoh! Ndak mau!” Darsi bangkit dan meninggikan suaranya. Matanya melotot menentang mata rabun emaknya. Hampir sepanjang hidupnya ia tak pernah berteriak apalagi melotot ke arah emaknya, yang dicintainya dengan cara yang sederhana dan hening. Sehening ia memendam segala kemarahannya. Sebagai satu-satunya anak perempuan, ia tidak bisa banyak berbuat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk emaknya.

Pernah beberapa kali Darsi mencoba untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga agar terhindar dari ketidakadilan yang ia terima di dalam rumahnya. Tapi ia tidak kerasan tinggal di rumah orang, walaupuan juragannya baik hati. Pernah pula ia mencoba bekerja di toko kelontong menjadi pelayan tetapi pemiliknya galak setengah mati dan setiap sore sebelum pulang ia hampir ditelanjangi, dicuriga kalau-kalau ia mencuri sesuatu dan menyembunyikannya di balik baju atau bahkan kutangnya. Ia lemah dan merasa kecil karena sepanjang hidupnya telah dilemahkan dan dikesampingkan oleh orang tua dan keluarganya sendiri.

“Nduk…! Darsi…!” Mbok Sarjilah berusaha menahan anaknya ketika Darsi melompat dari amben dan berlari ke ruang depan.

“Saya ndak mau njual tanah, Pak Kaji! Itu tanah saya! Ndak mau saya jual!” Dengan seluruh kekuatannya yang ia pendam selama belasan tahun Darsi menjerit. Pak Kaji dan Pak Diman menoleh ke arah datangnya suara yang melengking tinggi penuh amarah itu. Sosok Darsi dalam baju lusuhnya gemetaran, matanya melotot, tangannya dikibas-kibaskan, berteriak mengusir Mbah Kaji. “Aku ndak mau njual tanahku! Itu tanahku! Itu tanahku! Pergi!!! Keluar!!!”

“Darsi! Kurang ajar kowe!” Sambil kebingungan Pak Diman berusaha menahan anaknya. Ia kewalahan. Ia tidak mengira anak perempuannya yang pendiam itu bisa melengking dengan keras dan kasarnya. Sedemikian keras dan gaduhnya bapak-anak itu saling berteriak sampai-sampai para tetangga berbondong-bondong mendatangi rumah mereka.

Dalam hiruk pikuk siang itu, di antara tangan-tangan para tetangganya yang berusaha menopang tubuhnya yang sempoyongan, Mbok Sarjilah merintih pedih menyaksikan anak perempuannya berteriak-teriak, berlari sekencang-kencangnya menyusuri jalan kampung yang berlubang-lubang. Larinya tanpa tujuan, semakin lama semakin kencang, tak peduli pada telapak kakinya yang mulai berdarah karena sandal jepitnya terlempar***

Sleman, 1 Februari 2009.


 

 

Leave a Reply