[cerpen] Laki-laki Dan Kampret

Oleh Mariana Amiruddin

 

kampret

Berhari-hari aku harus menimba air sumur untuk mandi temanku. Aku tak punya keluarga, teman dan sanak saudara, kecuali kawanku itu. Menumpang di rumahnya seperti mendengar banyak cerita.

Ia sudah bersuami. Suaminya seekor kampret busuk yang busuk juga bau mulut dan ketiaknya. Aku memilih menimba air sumur daripada harus berdekatan dengan suaminya. Tak kuat aku mencium baunya. Suatu hari ia bercerita, suaminya, laki-laki kampret itu, setiap malam minta jatah.

Kawanku suka mengeluh. “Buat apa seks kalau aku tidak menikmatinya, aku terbentang di atas tempat tidur lembab yang penuh kutu busuk, menjemurnya pun ia tak mau! Aku persis seperti kasur busuknya itu. Kampret!” katanya sambil meludah, hampir saja mengenai kakiku. Dan ia cerita bila selesai bermain seks si kampret selalu tertidur lelap dan membalikkan badannya, memunggungi dia. “Dipegangpun ia tak mau, dilemparkannya tanganku. Padahal ia yang busuk!” katanya lagi. Bahkan ketika matahari muncul dari balik bumi, si kampret terus-terusan mendengkur. Di sela-sela dengkurannya, ia sering berteriak lapar. Suaranya memecah sel-sel hidup yang ada di sekelilingnya, termasuk gendang telinganya.

Kawanku sudah lama dijadikan alat seks oleh si kampret busuk itu. Istri buat si kampret memang hanya bertugas untuk itu. Istri tak boleh minta, suami yang boleh, dan istri harus mau. Kalau tidak, bisa lebam wajahnya. Atau ditinggalkan. Atau dicaci maki. Atau melayang nyawanya.

Seks bagi si kampret seperti memesan bakso ke pedagang kaki lima di pinggir jalan Salemba. “Dua mangkok bang! Sambalnya yang banyak!” Seperti itulah. Aku berpikir, mengapa hampir semua laki-laki berubah menjadi kampret busuk? Karena tak hanya kawanku saja yang bercerita begitu, kawan-kawanku dulu juga bercerita hal yang sama. Kebanyakan laki-laki kampret memuntahkan air susu mereka ke perut, dada, atau lumbung kawan-kawan perempuanku.

“Buat apa?” tanyaku terheran-heran sambil terus menimba air dan menyiramnya ke tubuhku sendiri untuk menghilangkan rasa jijik.

“Mungkin mereka diciptakan begitu ” kata mereka dengan lugunya.

“Mampus aku. Susu macam apa itu?” Aku tak habis pikir, kata itu yang banyak meresahkan para istri yang bersuami kampret.

Aku meludah terus berkali-kali sampai-sampai kawanku itu menamparku. “Sialan kau. Biar bagaimana dia juga suamiku.” katanya.

“Kampret lu!!” kataku. Aku membuang ember penimba air, melemparkannya ke dalam sumur. Terdengar suara tali dan kerek menderit-derit, melukai segala jiwaku.

Aku pergi meninggalkan kawanku, kembali ke tempat tinggalku yang lama kutinggalkan. Tempat yang hanya sepetak saja. Bagusnya, tanpa kampret dan tanpa laki-laki.

Tiba-tiba perutku berbunyi cembung.

“Bakso! Bakso!” kupanggil pedagang bakso dorong yang lewat. “Setengah mangkok, bang! Sambalnya jangan banyak-banyak!” kataku dari dalam sambil merogoh saku, barangkali masih ada sisa receh.

Kujentikkan rokok sisa malam itu, dan kubakar ujungnya.

Ketika tukang bakso itu datang membawa mangkok, sempat kulihat matanya. Astaga! Mata kampret! Kataku meludah lagi. Seluruh isi mangkok tumpah karenanya.

mariana_amiruddin

 

Jakarta, 14 Maret 2009

“Untuk sahabat-sahabat perempuanku tersayang di hari ultahku.”

(Naskah asli diangkat oleh Mariana Amiruddin di halaman Facebook-nya.)

 

Leave a Reply