Cerpenis Ratna Indraswari Hanya Berbicara Kepada Kemanusiaan

Ia adalah cerpenis paling subur, sudah lebih dari 400 cerpennya diterbitkan. Belum lagi ditambah dengan karya-karya novel, puisi dan artikel lepasnya. Beberapa penghargaan diterimanya sebagai penulis. Dan pada saat-saat ia tidak menulis, ia aktif melibatkan diri dalam tujuan-tujuan sosial dan budaya.

Tidak mengherankan jika Ratna Indrawari Ibrahim begitu dihormati, apalagi jika melihat bagaimana sehari-hari ia mendobrak keterbatasan fisiknya.

Ratna mempunyai keterbatasan fisik yang tidak memungkinkannya menggunakan alat tulis maupun keyboard. Semua gagasan di kepalanya disampaikan secara lisan untuk dicatatkan.

“Ada benih ide di kepala saya…biasanya saya dapat ide dari buku atau koran,” kata Ratna ketika dikunjungi di rumahnya suatu hari. “Pada kondisi saya, tidak mudah untuk ke sana ke mari.”

Tapi sesungguhnya ia sudah jauh pergi ke sana kemari, mengunjungi Australia, Amerika Serikat dan Cina. Di Amerika ia diundang untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan. Dari pengalamannya berada di negeri lain, ia melihat perbedaan nyata. Di banyak negara lain, secara hukum trotoar diwajibkan memiliki permukaan yang mulus dan rata, gedung-gedung umum diharuskan memiliki tanjakan untuk bisa diakses para pengguna kursi-roda, dan memiliki rongga pintu yang lebar untuk bisa dilalui mereka yang secara fisik terbatasi.

Berpuluh-puluh tahun Ratna memperjuangkan hukum seperti itu di Indonesia. Pada tahun 1994, Pemerintah menganugerahkan penghargaan nasional kepadanya atas pengabdiannya membela warga Indonesia yang berketerbatasan fisik. Ia berdiri di balik argumentasi, bahwa seseorang harus dilihat dari pribadinya, bukan kendalanya, dan semua warganegara memiliki hak yang sama dalam menggunakan ruang-ruang publik.

Namun para arsitek dan perencana-kota pada umumnya tidak menghiraukan kepentingan warga Indonesia yang memiliki keterbatasan fisik. Hukum masih belum memberi tempat bagi mereka sehingga mereka terpaksa memilih untuk berdiam di rumah saja.

“Kayaknya saya harus bikin partai politik,” ujarnya dengan nada agak kesal. “Ada sepuluh juta pemilih di negeri ini yang penyandang cacat. Dengan begitu mungkin para pembuat hukum baru memberi perhatian.”

Bukan cuma penyelenggara negara yang tutup mata. Di dalam sebuah keluarga, anak yang dianggap ‘tidak normal’ masih sering dianggap sebagai ‘kutukan’ yang membenarkan tahayul bahwa itulah ganjaran keluarga yang telah berbuat dosa.

Untunglah orangtua Ratna, yang berasal dari Sumatera Barat, adalah pasangan Muslim yang berpandangan terbuka dan memiliki ketaqwaan tinggi.

 

foto > BBC
foto > BBC

“Saya lahir pada tahun 1949 (24 April – Red) di keluarga baik-baik dan masa kecil saya sangat bahagia,” kata Ratna. “Saya berenang dan suka sekali bermain di luar rumah. Saya dibilang tomboy.”

“Saja sudah mulai menulis sejak saya berumur delapan tahun,” katanya. Tetapi ketika ia berusia 10 tahun, ia jatuh sakit dan kehilangan kemampuan untuk menggerakkan kedua kakinya dan kedua tangannya. Sejak itu, ia harus sepenuhnya mengandalkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

“Selama kurang-lebih lima tahun pertama, saya marah sekali…terutama kepada Sang Pencipta, karena yang lain-lainnya di keluarga saya sehat semua,” katanya. “Kelima saudara perempuan saya cantik semua. Tetapi hanya satu kali saja saya menulis tentang kemarahan saya itu, dan itu juga saya sudah lupa apa judulnya.”

“Ibu saya, Siti Bidasari, meninggal pada tahun 2002. Beliau cukup lama menyaksikan kiprah saya dan senang melihat saya sukses. Saya bukannya mau menyombongkan diri, tetapi beliau sangat bangga akan diri saya.”

Kemudian Ratna melanjutkan: “Waktu saya masih kecil, beliau berkata: ‘Kamu tidak bisa jalan, tetapi kamu bisa menulis. Tidak semua orang yang bisa jalan bisa menulis. Kamu akan berbuat jauh lebih banyak dari yang dibuat orang lain karena Allah memberimu otak yang jalan.”

Ratna kini mengakui bahwa kata-kata ibunya tersebut betul. “Saya mungkin tidak akan menjadi seorang penulis seandainya saya tidak begini. Saya suka tanaman dan semua kehidupan, dan dulu saya bercita-cita ingin jadi seorang petani.”

Rumah Ratna sangatlah asri di kota Malang, Jawa Timur. Ayahnya, Saleh Ibrahim, yang menguasai beberapa bahasa asing, adalah seorang pengacara idealis. Ia meninggalkan profesinya karena masalah prinsip dan akhirnya menjadi pengusaha. Keluarga Ibrahim berkecukupan dan di kota Malang memiliki sebuah bioskop. Kediaman mereka penuh dengan buku. Kelihatannya keluarga ini lebih banyak mengeluarkan uang untuk pengetahuan katimbang kemewahan.

Bukan cuma kaya pengetahuan, ternyata keluarga Ratna juga sangat toleran. Sewaktu kecil, Ratna dimasukkan sekolah Kristen dan diperbolehkan menghormati perayaan Natal. Orangtuanya juga tidak pernah melarang dirinya bercakap-cakap dengan para pekerja seks dari sebuah bordil yang ada dekat rumah mereka.

“Saya diajari untuk tidak melihat orang dari kekurangannya,” katanya, ” tetapi melihat orang dari pribadinya, sedikit demi sedikit.” Inilah prinsip yang kini terlihat pada setiap karya tulisannya.

Almarhumah ibunya adalah pengagum Agus Salim, seorang cendekia dan diplomat ulung yang juga berasal dari Tanah Minang. Tokoh sejarah ini dianggapnya sebagai pelopor Indonesia modern dan salah seorang perancang UUD 1945 yang mengedepankan pentingnya pendidikan bagi bangsa.

Selagi anak-anak lain berlarian di jalanan, main bola, menguji batas kemampuan fisik mereka, Ratna duduk di rumah menjelajahi semesta imajinasi yang tak berbatas.

Ia tumbuh dengan dikelilingi karya-karya sastra agung dari Anton Chekhov, Guy de Maupassant, Virginia Woolf, Thomas Hardy, Alexandre Dumas dan lain sebagainya. Orangtuanya kerap menyarankan buku-buku yang mereka perkirakan akan disukai Ratna, termasuk buka Karl Marx yang berjudul Manifesto Das Kapital. Di masa itu, buku-buku tentang paham komunisme belum dilarang.

“Orangtua saya mengatakan, seandainya saya jadi komunis, mereka akan tetap mendampingi dan mengunjungi saya di penjara. Tetapi kalau saya korupsi, mereka tidak mau tahu saya lagi,” ujarnya.

Ratna tidak jadi komunis, tetapi buku-buku yang dibacanya membuat dirinya lebih memikirkan nasib kaum miskin, mereka yang terpinggirkan dan terlucuti haknya — mereka-mereka yang kini banyak diceritakan di karya-karyanya.

Ratna meneruskan pendidikannya di Universitas Brawijaya, Malang, di mana untuk bisa naik ke lantai berikutnya teman-temannya beramai-ramai menggendongnya menaiki tangga. Awalnya ia tertarik untuk mendalami psikologi, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, energinya lebih tertumpah ke menulis dan kegiatan aktivis.

Selama 13 tahun ia memimpin sebuah LSM yang membela hak-hak penyandang cacat, kemudian mendirikan sebuah LSM untuk masalah-masalah lingkungan. Selain itu, ia pun aktif di Yayasan Kebudayaan Panjoeng, sebuah badan nirlaba yang bertujuan melestarikan kearifan seni dan budaya lokal.

Bangunan rumahnya, yang tergolong cagar budaya karena dibangun pada tahun 1914, terletak di suatu lokasi di tengah kota Malang yang dulunya sangat sepi dan tenang. Sekarang segalanya sudah berubah. Di satu sisi ada hotel yang menjulang dan di sisi lain sebuah SMU. Kebisingan kota seakan tidak pernah redam di sekitar rumahnya.

Ratna seakan tidak terganggu. Ia rebah di atas sebuah tempat tidur di ruang kerjanya sambil menyusun kata-kata berikutnya akan didiktekan kepada asistennya yang juga seorang pujangga, Ragil Sukriwul.  Sehari-hari banyak tamu yang datang berkunjung dengan membawa ragam cerita ke sisi tempat tidurnya. Cerita-cerita itu sering meninggalkan benih ide bagi tulisannya.

Kemudian anak-anak muda datang mengharapkan semacam resep manjur. “Bu Ratna, bagaimana sih menulis?” Jawabannya singkat dan gamblang: “Ya nulis aja!” Apa kursus yang bagus untuk bisa jadi penulis? Jawabnya juga pendek: “Pendidikan tidak sama dengan kecerdasan.”

Persoalan hubungan antara lelaki dan perempuan mewarnai banyak cerpennya, di mana timbul situasi-situasi yang diakibatkan oleh dominasi lelaki atas perempuan di dalam masyarakat yang berpegang pada nilai-nilai yang dogmatis dan maskulin, dan seringkali penuh kekerasan.

mbak-ratna-indraswari-ibrahim-650x400
foto > avapress

Tokoh-tokoh perempuan yang ditampilkan umumnya perempuan Muslim semi-perkotaan yang berjuang keras di dalam hidupnya, menghadapi ketidak-adilan, bersusah-payah menghidupi keluarganya sambil mempertahankan harga-dirinya. Keberhasilan Ratna merebut hati pembaca terletak pada penokohan yang begitu menyatu dengan keseharian orang banyak. Hal ini membuat cerita-ceritanya begitu hidup nyata. Penggemar buku-bukunya kebanyakan lelaki, justru.

Secara umum dianggap bahwa ada dua arus sastra perempuan di Indonesia: novel cinta/romans tradisional dan sastra wangi (sastra bakat-bakat muda).

Ratna sekadar menyebut keduanya sebagai ‘tulisan pop’. Namun bersamaan dengan itu, ia mengakui bahwa ledakan sastra wangi belakangan ini, yang banyak bercerita soal remaja metropolis yang baru menghadapi kenyataan seksualita mereka, membuat remaja lebih memperhatikan segala yang berkenaan dengan tubuh mereka, sifat-sifat manusia dan dunia yang mereka warisi. “Lebih baik membaca daripada bergosip,” katanya.

Kesuksesan novelet-novelet sastra wangi bisa dilihat dari angka penjualan di toko-toko buku di mana-mana. Ini menunjukkan adanya rasa ingin tahu yang sangat tinggi di kalangan remaja. Yang tidak disetujui oleh Ratna adalah pembahasan seks secara terbuka.

“Seks adalah milik Sang Pencipta,” ujarnya. “Antara dua jiwa saja, bukan sesuatu yang diumbar secara terbuka, atau diperlakukan vulgar seperti umumnya oleh lelaki.”

Selanjutnya, Ratna menyebut novel cinta/romans tradisional sebagai wujud pemapanan ‘Cinderella complex’, di mana seorang perempuan mengharapkan seorang lelaki menyelamatkan dirinya dari kesusahan, dan membawanya ke alam bahagia. Bagaimana konstruksi sang lelaki ini biasanya menjadi tidak penting bagi penulis maupun pembacanya karena kuncinya cuma penyelamatan itu.

Di dalam aliran romans seperti ini, lanjutnya, sang perempuan biasanya digambarkan dalam penantian semata. Ia tidak perlu menggunakan inisiatif ataupun kreatif dalam ide. Justru semburan apa pun yang datangnya dari kecerdasan hanya akan membuat sang lelaki idaman menjauh karena ia hanya minat pada wujud tubuh bukan pada pewujudan otak. Sayangnya, kata Ratna, di Indonesia masih banyak perempuan yang percaya pada mimpi Cinderella.

Ratna juga menggugat pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam menindas perempuan. “Orang mengecohkan budaya dengan agama,” katanya. “Islam melindungi hak-hak perempuan. Adalah budaya yang membentuk peran perempuan di dalam suatu masyarakat.

“Saya ingin para pembaca tulisan saya untuk merenungi kaum perempuan, bagaimana mereka diperlakukan, dan memahami nasib mereka. Saya ingin berbicara kepada kemanusiaan — bukan kepada feminisme atau individualisme atau keakuan.

“Budaya Keraton Jawa mengajarkan nilai gotong-royong. Manusia diciptakan untuk saling menolong. Pembaca akan mendapatkan apa yang mereka butuhkan dari buku-buku saya.”

diindonesiakan dari naskah Duncan Graham 17/07/2007 di http://indonesianow.blogspot.com
foto-foto oleh Lambertus L. Hurek >> http://hurek.blogspot.com

Leave a Reply