Delapan Perempuan Perupa Fotografi Bercerita Tentang Ibukota

poster_ruang_perempuan[SUARAPEMBARUAN] ~ Akhir-akhir ini, foto tidak hanya disajikan dalam karya utuh sebagai foto tunggal atau sekedar merekam realitas lalu dituangkan ke dalam media cetak. Di ruang pamer, foto tidak berhenti sebagai elemen yang digantung di dalam bingkai. Fotografi merupakan salah satu media atau elemen para seniman atau pehobi dunia visual untuk menuangkan gagasan dan konsepnya.

Seperti halnya pameran foto bertajuk Ruang Perempuan yang disebut sebagai Pameran Perupa Fotografi. Sebanyak delapan perempuan menggelar pameran yang berlangsung dari 2 sampai 5 Desember  2008 di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kehidupan Kota Jakarta divisualisasikan dari sudut pandang delapan orang perempuan, untuk kemudian kembali dipamerkan di Galeri Oktagon, Jalan Gunung Sahari, Jakarta, dari 9 Desember 2008 hingga 9 Januari 2009.

Direktur Galeri Foto Jurnalistik Antara, Oscar Motuloh, selaku kurator pameran, pada pembukaan menjelaskan bahwa pameran foto Ruang Perempuan menjadi pintu pembuka Festival Seni Biennale Jakarta XIII 2009 (JB09) yang berlangsung dari awal Desember 2008 sampai akhir Maret 2009. JB09 mengangkat tema ‘arena’ dan menampilkan berbagai kegiatan seni seperti: seni rupa, tari, teater, sastra, di samping kegiatan workshop terkait.

Kedelapan fotografer itu adalah Ruth Hesti Utami, Aiko Urfia Rakhmi, Christina Phan, Evelyn Pritt, Julia Sarisetiati, Keke Tumbuan, Malahayati, dan Stephany Yaya Sungkharisma.

Karya foto yang digelar oleh para peserta tidak melulu berupa karya fotografi, melainkan juga menampilkan karya-karya olah digital yang menggunakan unsur fotografi. Karya Julia Sarisetiati dengan foto kawasan Bundaran Hotel Indonesia dihiasi tas-tas belanja dari berbagai merk, turun seperti pasukan payung menyerbu Jakarta. Jantung Ibukota diserbu konsumerisme, demikian kira-kira konsepnya.

07miayamSementara Stephany Yaya Sungkharisma dengan konsep tiga bingkai fotonya, menggabungkan bagian tubuh dengan beberapa kebutuhan fisik minimal, makan, minum dan mandi. Dengan teknik olah digital yang rapih, Yaya menggabungkan potongan tangan dengan mi ayam, bola mata di dalam segelas sirup dan seraut wajah di tangkai shower kamar mandi.

Dengan ketiga foto itu, Yaya ingin mengungkapkan kegundahannya. Akibat kemajuan teknologi, sentuhan, dan ikatan rasa antarmanusia semakin tipis. Kalau dahulu untuk bertemu orang harus membuat janji, bersalaman dengan sentuhan kemanusiaan saat bertemu, saling bertatap mata saat berbicara, saat ini dengan kemajuan teknologi, telepon selular dan internet, komunikasi terasa hampa dan kosong. Tangan yang menggapai di dalam mi ayam, yang menjadi santapan orang kebanyakan, menjadi simbol itu bersama bingkai foto lainnya.

Fotografer lain, Ruth Hesti Utami, yang akrab dipanggil Hesti, mencoba menyajikan realitas kota, seperti sakitnya warga Kota Jakarta dengan menampilkan seorang yang terbungkus seperti mumi dengan latar belakang gedung-gedung pencakar langit Jakarta. Foto tunggal Hesti berjudul Jakartarian merupakan penggambungan tiga layer foto dengan latar yang sama, sehingga seorang model tampil menjadi tiga di dalam suatu ruang yang sempit. Tubuh model itu tertutup di seluruh bagian tubuhnya, bila memungkinkan menggunakan tiga model dalam sebuah bingkai foto, kenapa harus olah digital?

Hati Hesti terketuk dengan adanya berita-berita ironis. Seorang anak ditemukan mati kelaparan di tengah permukiman yang padat di Pancoran Mas, Depok sementara seorang anak mati tenggelam di tengah kolam renang yang sedang ramai-ramainya.

07fotogrSelain dengan teknik olah digital, beberapa fotografer juga membekukan realitas dalam bingkai foto. Seperti karya fotografer komersial Evelyn Pritt, ia bosan dengan digital imaging dalam pekerjaannya sehari-hari. Dalam karyanya Tanah Semakin Mahal, ia merekam realitas dalam foto yang riil. Mahalnya tanah di Jakarta ditampilkan dengan sekelompok anak bermain bola di tengah sepotong lahan semen di lahan luas yang sekelilingnya sudah dipagari. Seakan anak-anak itu bermain di sebuah pulau yang dikelilingi laut yang luas.

Menurut Oscar Motuloh yang juga menjadi kurator dalam pameran ini, para peserta pameran terlebih dahulu mengajukan konsep. Sesuai tema besar Jakarta Biennale XIII 2009 yaitu Arena, konsep karya para peserta diadu untuk dapat dieksekusi sebagai karya dalam pameran itu. Para peserta ditantang merekam kehidupan urban Jakarta sebagai sebuah arena di dalam bingkai visual.

Dengan teknik fotografi yang biasa-biasa saja, para peserta mencoba mengetengahkan idenya dalam karya visual. Dengan kemampuan olah digital yang sangat baik, para peserta mengeksekusi idenya seperti melukis di atas kanvas.

Para fotografer, menggunakan unsur fotografi untuk menuangkan idenya, sehingga Oscar menyebut mereka sebagai “Perupa Fotografi”. Salah satu peserta, Stephany Yaya Sungkharisma, pun mengatakan, “Saya lebih pas menyebut diri Digital Imaging Artist karena saya ingin berkarya melalui karya visual”.

Jakarta Biennale adalah pameran seni rupa yang diselenggarakan sekali setiap dua tahun di Jakarta. Sebelumnya, event ini bernama Indonesian Painting Grand Exhibition yang mulai diadakan pada tahun 1968. Kemudian di tahun 1982, nama itu diganti dengan Fine Art Biennale. Diharapkan event seni rupa ini menjadi wahana bagi para perupa untuk mengekspresikan tanggungjawab sosial mereka dan membangun apresiasi masyarakat luas pada seni rupa. Jakarta Biennale dijalankan oleh Dewan Kesenian Jakarta dengan Gubernur Jakarta sebagai pamong. Jakarta Biennale tahun 2009, yang disingkat JB09, untuk pertamakalinya memberi karakter mancanegara pada acara dwi-tahunan ini dengan mengundang para seniman dari luar negeri.

www.dkj.or.id
www.jakartabiennale.com

email:

telepon:
(+62) 21 – 23782127

Sekretariat Jakarta Biennale XIII 2009
Jl. Cikini Raya No. 73, Jakarta
Indonesia 10330
Ph. (+62) 21 3162780, 31932780, 39899634
Fax. (62) 21 31924616

sumber-sumber >> Alex Suban/Suara Pembaruan + http://jakartabiennale09.blogspot.com/

Leave a Reply