Habibah Ubah Wajah Kampung Nelayan Marunda Kepu

habibah-01
(Jelajah/Feri Latief)

Di sebuah kampung di Marunda Kepu satu perubahan digerakkan oleh seorang perempuan sederhana.

[JELAJAH] – Inilah potret keseharian yang dihadapi oleh Habibah, perempuan berusia 50 tahun, berputra lima, bersuamikan Ghobang, seorang nelayan, dan bermukim di perkampungan nelayan Marunda Kepu, Cilincing, Jakarta Utara.
Anak-anak bermain di empang di Kampung Marunda Kepu, tempat Habibah dan kelompoknya berjuang. Inilah kampung nelayan Marunda Kepu. Anak-anak bermain air kotor menjadi pemandangan sehari-hari.
(Jelajah/Feri Latief)
(Jelajah/Feri Latief)
Kegiatan masyarakat kampung nelayan di Marunda Kepu Kegiatan mengaji untuk anak-anak pada sore hari di kampung nelayan di Marunda Kepu.
(Jelajah/Feri Latief)
(Jelajah/Feri Latief)
“Dahulu diambil dengan serok, bahkan pakai tangan pun, rebon-rebon itu begitu mudah didapat,” kenang perempuan periang ini. “Dan bisa saya olah jadi terasi karena dapatnya banyak, sekarang boro-boro, untuk membuat terasi harus beli rebon dulu. Jadi membuatnya tidak bisa banyak-banyak, paling bila ada pesanan, biasanya sepuluh kilo. Dulu bisa mencapai lebih dari lima kali lipatnya.”
Masa kejayaan hasil laut yang bisa dijumpai di sekitar Marunda, menurut Habibah dan Ghobang berakhir sekitar 2008. Kami bertamu di kediaman mereka pada 2015, serta menyaksikan betapa perkampungan nelayan Marunda Kepu dikepung bangunan modern. Seperti jembatan penghubung dengan Tanjung Priok, bendungan penuh busa polutan, pabrik-pabrik sampai apartemen yang tampak tidak terlalu jauh.
Kelompok perempuan nelayan membuat aneka kerajinan yang menggunakan hasil laut. Kelompok perempuan nelayan yang digerakkan Habibah membuat aneka kerajinan yang menggunakan hasil laut untuk menambah penghasilan anggotanya.
(Jelajah/Feri Latief)
(Jelajah/Feri Latief)
Habibah mengenang saat-saat belum ada pabrik serta jalan raya Banjir Kanal Timur. Di saat musim penghujan atau ketika terjadi banjir pasang laut alias rob, tinggi air sebatas mata kaki. Kini, lebih dari dua kali lipatnya. Padahal, saya dan ibu-ibu di sini punya tanaman bersama, seperti tomat, terung, labu siam, singkong, oyong, petai cina sampai leunca di kebun kelolaan bersama,” jelas Habibah, yang ditemani Nurhasanah, mengantar kami menuju kebun. Bentuknya memanjang, terletak berbatasan dengan pagar tembok sebuah pabrik. Kami berjalan melintasi pematang dan sebelah kanannya adalah rawa berair asin. Matahari senja menyinari permukaannya.
Habibah bersama anggotanya Nurhasanah, 64 tahun, memanen terong yang ditanam di lahan tidur sekitar kampung mereka. Habibah bersama anggotanya Nurhasanah, 64 tahun, memanen terong yang ditanam di lahan tidur sekitar kampung mereka.
(Jelajah/Feri Latief)
(Jelajah/Feri Latief)
Habibah menuturkan, di kebun ini, para ibu yang tinggal di dua RT atau Rukun Tetangga serta terdiri dari 300 KK atau Kepala Keluarga dapat bergantian mengambil hasil kebun untuk dijadikan tambahan hidangan keluarga. “Dijamin tidak berebut karena masing mengambil secukupnya,” imbuh perempuan berperawakan cukup tinggi ini.
Inisiatif yang dilakukan Habibah mulai sekitar 2008 adalah mengumpulkan para perempuan di sekitarnya untuk membuat semacam arisan dan bentuk tabungan. Semula anggotanya tiga orang, lima orang sampai akhirnya menjadi banyak. Mulai iuran arisan senilai Rp5.000 per minggu, lama-lama meningkat menjadi Rp20.000 per minggu, dengan hasil penarikan mencapai Rp480.000 per minggu. Sementara tabungan, besarnya Rp1.000 sampai akhirnya kini menjadi Rp2.000 per minggu.
Habibah bersama suami, Ghobang (52 tahun) yang selalu setia mendukung upayanya. Habibah bersama suami, Ghobang (52 tahun) yang selalu setia mendukung upayanya.
(Jelajah/Feri Latief)
(Jelajah/Feri Latief)
Berbagai kegiatan pendukung juga dilakukan untuk menambah pemasukan keluarga. Para ibu ini dengan tekun mengikuti penanaman mangrove, di lahan seluas sekitar satu hektare. Sekitar 2008, mereka turut menanam mangrove dengan bibit dari Kiara atau Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan serta pemerintah. Dari 1.000 bibit yang disebar, hanya berhasil tumbuh sekitar 300 batang. Tetapi hal ini tidak menyurutkan langkah para ibu untuk mengolah mangrove jenis api-api untuk dijadikan tepung dan selanjutnya dibuat onde-onde serta bolu. Sedang mangrove jenis bidada, diolah menjadi sirup atau dodol. Keberhasilan mengolah buah dari pepohonan bakau ini turut mengantar Habibah meraih gelar “Female Food Heroes“.
Tidak itu saja, ia juga membuat kelompok-kelompok kerja para ibu, sebanyak 10 orang tiap grup untuk membuat souvenir lampu kerang, tirai sampai hiasan dinding. Pelatihan dan modal diberikan Kiara, seperti gerinda, bor pelubang kulit kerang, serta cetakan berbentuk bola untuk pembuat lampu atau hiasan.
Habibah bersama dengan beberapa anggota kelompok nelayannya. (Jelajah/Feri Latief)
Habibah bersama dengan beberapa anggota kelompok nelayannya. (Jelajah/Feri Latief)
Kami menerima pesanan dari Oxfam dan beberapa pihak, lumayan, satu lampu atau tirai bisa laku sekitar Rp 250.000 yang keuntungannya dibagi setiap kelompok pembuatnya,” ujar Habibah, dibantu anak bungsunya, Putri, menunjukkan tirai, lampu duduk, hiasan dinding dan beberapa cendera mata yang baru saja selesai dikerjakan. “Kulit kerang simping sebagai bahan baku juga harus kami beli, karena ketiadaan bahan ini di sekitar kami lagi. Lalu kulit-kulit kerang bulat ini sebelumnya mesti disangan, untuk mengeluarkan warna aslinya serta mengupas kulit luarnya.”
Anak-anak kampung nelayan Marunda Kepu bermain di sekitar empang. Habibah berharap bisa memberi kehidupan lebih baik untuk generasi selanjutnya. (Jelajah/Feri Latief) Anak-anak kampung nelayan Marunda Kepu bermain di sekitar empang. Habibah berharap bisa memberi kehidupan lebih baik untuk generasi selanjutnya.
(Jelajah/Feri Latief)
(Jelajah/Feri Latief)
Matahari makin bergulir ke barat dan kami siap berpamitan. Habibah mengantar kami dengan langkahnya yang cekatan. Sepatu datarnya terbuat dari material plastik, tahan atau awet bila harus terkena air asin. Inilah salah satu bentuk survival warga kampungnya bila banjir datang. Dan para ibu pun rela bila kebun yang sudah mereka rawat baik-baik, amblas dalam hujan semalam. “Ya kami mulai lagi dari awal,” tandas Habibah, seraya menambahkan ia juga tengah menghubungi pihak perusahaan air negara, agar air bersih dapat dialirkan ke Marunda Kepu, mengingat kebutuhan ini adalah vital bagi kampungnya. :: JELAJAH/Feri Latief/Maret2015
http://jelajah.id/pelestarian/perempuan-nelayan-perkasa-dari-marunda.html