Di Desa Terpencil Itu Ada ‘Sekolahnya Bu Tatik’

KampungLaut_01
Suasana terpencil Kampung Laut di perairan Segara Anakan, Nusakambangan, sebelah selatan Cilacap, Jawa Tengah.

Barisan hutan bakau terus mengiringi perjalanan dari Pelabuhan Sleko, Cilacap, menuju Kecamatan Kampung Laut, pemukiman terpencil hasil reklamasi di perairan Segara Anakan, Nusakambangan, sebelah selatan Cilacap, Jawa Tengah. Dengan menumpang perahu bermesin motor tempel bermuatan sekitar 20 orang, yang sering disebut compreng, diperlukan waktu sekitar dua jam untuk mencapai desa terdekat di Kampung Laut.

Seorang Yustina Wartati sudah 20 tahun tinggal di sebuah desa terpencil di Kampung Laut. Warga setempat mengenalnya sebagai seorang guru yang sejak tahun 1989 mengajar anak-anak usia TK dan SD di sebuah sekolah yang dirintisnya secara pribadi. Untuk menjumpainya, dibutuhkan perjalanan panjang.

Setelah dua jam menumpang compreng, turun di persinggahan pertama, yaitu di Desa Ujung Alang. Dari situ perjalanan disambung dengan naik sampan. Setelah turun dari sampan, perjalanan disambung lagi dengan berjalan kaki sejauh setengah kilometer sebelum akhirnya sampai di Desa Lempong Pucung tempat Yustina Wartati tinggal dan mengajar.

Pada awal tahun 1987, Yustina Wartati yang berasal dari Kecamatan Petimuan, Kabupaten Cilacap, pindah ke Kampung Laut mengikuti suaminya yang mendapat tugas sebagai penyuluh tani. Ia menjumpai rumah-rumah penduduk berbentuk panggung di atas air. Akan tetapi, akibat program pengurukan-buatan maupun pengendapan alami, dewasa ini banyak badan air sudah lenyap di Segara Anakan dan bersamanya lenyap pula rumah-rumah panggung rakyat setempat.

“Waktu itu saya sempat kaget melihat rumah-rumah di sini yang berbentuk panggung…dan kami harus minum dari tampungan air hujan,” ujarnya. Keterkejutannya belum usai, ketika ia mendapati ternyata di desanya hanya dirinyalah yang lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA).

“Saya sungguh prihatin waktu itu. Kesadaran masyarakat terhadap pendidikan sangat rendah,” keluh Tatik.

Di daerah terpencil yang dimaklumi sebagai wilayah berjangkitnya malaria inilah kemudian Tatik merintis sekolah. “Dulu, di sini tidak ada sekolah sama sekali, anak-anak harus berjalan kaki sejauh 3 atau bahkan 5 kilometer dan harus menyeberang dengan sampan untuk mencapai Sekolah Dasar (SD)  terdekat,” tuturnya. Hanya ada satu SMP Kampung Laut dan untuk SMA harus dilanjutkan ke darat atau ke Cilacap.

Berbekal Sertifikat Kursus Guru TK

Pada tahun 1989, ia memperoleh dukungan Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial (YBKS) Surakarta untuk menjalani kursus guru Taman Kanak-kanak (TK) di kota itu selama sebulan. Sekembalinya di Lempong Pucung, Tatik membuka TK bagi warga setempat. Menurutnya, ia menjalankan sekolah TK seorang diri selama 10 tahun, dengan rata-rata 40 murid per tahun, yang dibagi menjadi dua kelas.

“Karena anak-anak usia TK semakin berkurang, saya hentikan TK itu,” kata Tatik. Warga setempat mendesaknya untuk membuka SD, namun dengan terus terang ia mengatakan tidak bisa karena tidak memiliki sertifikat pengajar SD. Oleh karena desakan yang terus-menerus, pada tahun 2000 ia memberanikan diri membuka sebuah sekolah dasar dengan persetujuan pengelola SD Mutean, sekolah dasar resmi terdekat, yang kemudian menjadi ‘sekolah induk’ bagi SD yang dikelola Tatik.

Angkatan pertama berjumlah 48 orang. “Awalnya mereka belajar dengan duduk lesehan di rumah saya,” kata Tatik mengingat. Kemudian, pada tahun 2001, Dinas Pendidikan Kabupaten membuat bangunan sekolah dengan dua ruangan yang berukuran 7m x 16m, yang sampai sekarang ditempati sekolah rintisannya.

Pada tahun itu juga suaminya, Sudarno, pergi mencari nafkah ke Pulau Batam meninggalkan dirinya membesarkan dua anak mereka seorang diri. Anaknya yang sulung, seorang puteri bernama Elisabeth Nellavita Septi Wardhani, membantu ibunya mengajar. Anaknya yang kedua, seorang putera bernama Cornelis Wisnu Wardhani, dikabarkan meninggal dunia di tahun 2007 pada usia 12 tahun.

KampungLaut_02
KampungLaut_02

SD yang dijalankan oleh Tatik menyediakan pendidikan sampai kelas 3 saja. Untuk kelas 4 ke atas, murid-muridnya harus melanjutkan ke sekolah induk yang terletak di Mutean, tiga sampai delapan kilometer dari daerah di mana murid-muridnya tinggal. Untuk ke SD Mutean, anak-anak itu pun harus menyeberang dengan sampan.

Sebagai guru tunggal, Tatik mengajar kelas 1, 2 dan 3. “Tidak pernah istirahat,” ucapnya. Kelas satu dan dua diajarnya di dalam satu ruang. Untuk membedakan kelas, mereka duduk di barisan yang berbeda. Sedangkan kelas tiga menempati ruang tersendiri.

Pada waktu itu, setiap siswa hanya dibebani Rp 6.000,- setiap bulan — lima ribu Rupiah untuk honornya mengajar dan seribu Rupiah untuk membeli peralatan kelas. Namun, Tatik tak dapat berharap banyak. Karena dalam satu bulan hanya sepuluh atau bahkan tak seorang siswa pun yang membayar. Untunglah, banyak pihak yang mendukung sekolahnya dengan sumbangan.

Dari 48 murid yang tercatat, hanya 15 yang melanjutkan hingga lulus SD. “Banyak yang sakit malaria, dan karena alasan biaya, tidak mau melanjutkan sekolah,” ceritanya. Meski pun setiap ada anak yang sakit malaria atau alasan kekurangan biaya dan menunjukkan tanda-tanda akan keluar sekolah, Tatik datang berkunjung ke rumah yang bersangkutan. “Saya selalu menandaskan, agar bagaimana pun juga anak-anak harus tetap sekolah. Tidak perlu memikirkan soal biaya,” tuturnya.

Seiring perkembangan waktu, kerja keras Tatik menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap pendidikan. “Kalau dulu hanya saya yang lulusan SMA, sekarang sudah banyak yang melanjutkan hingga SMA,” katanya. Sebagai penghargaan atas kerja kerasnya, masyarakat setempat menamakan sekolah yang dirintis Tatik sebagai ‘SEKOLAHNYA BU TATIK’.

Cara Mengajar Melalui Alam Nyata

Pada tahun 2004 Dinas Pendidikan Daerah setempat mengambil alih pengelolaan sekolah yang dirintisnya di Lempong Pucung. Berkat ketekunan dan kesungguhannya sebagai pengajar, Tatik dipercaya untuk membantu mengajar di sebuah sekolah di Pasuruan, dusun yang berjarak 5 kilometer dari rumahnya. Dua kali seminggu, Tatik penuh semangat menyusuri tanggul saluran air yang merupakan jalan satu-satunya menuju dusun Pasuruan. Jika musim kemarau, ia mengendarai sepeda motornya. Namun, sepeda motor pun harus beberapa kali dituntun ketika melewati jembatan bambu yang tidak memiliki penghalang di kanan-kirinya. Dan jika musim hujan datang, Tatik berangkat lebih awal, pukul enam pagi. Berjalan kaki dengan sepatu bot karet dan jas hujan.

Di Pasuruan, Tatik mengajar dua kelas sekaligus dengan 10 siswa. Kelas dua, dua siswa dan kelas tiga, tujuh siswa. Untuk kelas satu diajar oleh guru lain yang tinggal di Pasuruan. Karena hanya menggunakan balai pertemuan RT, kondisi sekolah pun sangat memprihatinkan. Bangunan yang berukuran 3 x 6 meter ini hanya terbuat dari kayu. Berlantai tanah. Dinding-dinding yang terbuat dari anyaman bambu pun sudah ‘bolong’ di beberapa bagian. “Sebenarnya sudah tidak layak dipakai untuk sekolah, tapi bagaimana lagi, adanya hanya itu,” tutur Tatik.

Kondisi bangunan tersebut ternyata tidak menyurutkan semangat murid-murid untuk belajar. “Banyak dari siswa yang saya ajar dengan kondisi yang memprihatinkan justru lebih mampu berprestasi ketika mereka melanjutkan ke sekolah induknya,” cerita Tatik apa adanya. Hal ini, menurut Tatik, karena ia mengajar tanpa mengikuti kurikulum yang baku.

“Kalau di sekolah lain, yang lengkap fasilitasnya, kadang saya mendengar anak-anak sangat tertekan dengan kurikulum yang ada. Tapi anak-anak di sini tidak merasakan hal itu. Mereka justru sangat senang belajar,” ujar Tatik.

KampungLaut_03
KampungLaut_03

Pengalaman dan kesenangannya membaca, membuat cara mengajar Tatik lebih bervariasi. Ketika mengajarkan tentang IPA yang berhubungan dengan biota laut, Tatik akan membawa anak-anak ke lapangan. Mengamati hutan bakau dan  hewan-hewan laut yang ada mengelilingi kehidupan mereka. Kesempatan ini, juga dipergunakannya untuk mengajak anak-anak menjaga kelestarian lingkungan. Begitu juga dengan mata pelajaran yang lain. Tatik akan mengajar dengan memberikan contoh-contoh konkret yang dekat dengan dunia anak-anak.

“Dengan cara seperti ini, kok saya melihat anak-anak justru lebih cepat mengerti dan paham. Berbeda jika diuraikan sesuai dengan yang ada di buku,” ceritanya.

Buka Kelas Buta-huruf Bagi Orang Dewasa

Di sela-sela waktunya mengajar, Tatik masih menyempatkan diri untuk aktif di beberapa organisasi perempuan. Pada tahun 2002, ia bergabung dengan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) cabang Cilacap. Bahkan dalam kongres KPI bulan Oktober 2002, ia terpilih sebagai sekretaris cabang, sebuah jabatan tertinggi di organisasi ini. “Saya tak habis pikir. Padahal saat pemilihan kandidat lainnya adalah sarjana semua. Saya sendiri yang lulusan SMA. Tapi kok malah terpilih,” katanya heran.

Dan pada pada bulan Juni 2006, Tatik mengikuti lomba cerdas tangkas (LCT) Posyandu se-Kabupaten Cilacap, mewakili Kecamatan Kampung Laut. Dari 24 kelompok peserta, kelompok Tatik dapat menyabet urutan kelima. Mengalahkan wakil-wakil dari daerah yang secara fasilitas tercukupi. Dan sepulang dari LCT, ia diminta oleh istri Camat Kampung Laut untuk membuka kelas bagi orang-orang yang buta huruf di desanya. Mendapat tawaran tersebut, Tatik pun langsung mengiyakan.

“Saya merasa sudah menyatu dengan masyarakat di sini. Memang rasanya jauh kalau mau bepergian ke kota. Tapi, suasana di sini tenang, aman, dan menyenangkan. Di sini tidak ada beban yang berat. Saya tidak punya keinginan untuk pulang ke kampung halaman. Selain itu, saya merasa masyarakat di sini masih membutuhkan saya. Ada perasaan yang khusus ketika bisa membantu orang,” katanya dalam suatu wawancara di tahun 2006.

“Saya hanya ingin orang-orang di sini pintar. Karena dengan pintar, orang dapat mengatasi persoalannya sendiri dan juga masyarakat,” harapnya.

sumber: Yohanes Prayogo/www.kabarindonesia.com/2007 + Mirifica News/2006
foto-foto: Riyo Moto >> riyophotography.multiply.com

Leave a Reply