Indonesia ACT: Tidak Ada Toleransi Bagi Pornografi Anak

 

Foto > Global Nation Inquirer
Foto > Global Nation Inquirer

27 Juni 2008Indonesia  ACT yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Perlindungan Anak dan Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) melakukan audiensi dengan Fraksi PAN pada tanggal 26 Juni 2008 membahas RUU Pornografi yang saat ini sedang dalam pembahasan di tingkatan rapat panitia kerja (Panja) antara DPR dan Pemerintah. Audiensi tersebut dilakukan di DPR RI Gedung Nusantara Lantai 20 dan diterima oleh Ibu Latifah Iskandar yang menjadi salah satu anggota Pansus RUU Pornografi. Audiensi ini dilakukan untuk memberikan masukan kepada DPR RI terhadap RUU Pornografi. UU Pronografi ini nantinya diharapkan menjadi Undang-Undang dapat benar-benar melindungi anak, baik bagai korban eksploitasi seksual komersial, dalam hal ini pornografi. UU ini juga diharapkan melindungi anak dari pornografi yang beredar.

Emmy LS, Koordinator Presidium Indonesia ACT, memberikan masukan kepada fraksi PAN yaitu, ”Segala bentuk pornografi anak di Indonesia tidak boleh ada, sejak mulai pembuatan pornografi hingga kepemilikan pornografi anak harus dilarang. Demikian pula Pemerintah harus menjamin bahwa pornografi tidak dapat diakses oleh anak-anak. Oleh karenanya diperlukan Bab khusus mengenai pornografi anak untuk membedakannya dengan bentuk pornografi lainnya”. Sampai saat ini, perlindungan anak dari eksploitasi seksual, khususnya pornografi anak di dalam Undang-Undang belum memadai padahal di sisi lain kejahatan pornografi anak yang semakin canggih.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak melalui Kepres No. 36/1990. Selain itu Pemerintah Indonesia juga sudah menandatangani Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak mengenai penjualan, prostitusi dan pornografi pada tanggal 24 September
2001. Di dalam Konvensi tersebut secara eksplisit menyebutkan perlunya Negara melakukan langkah-langkah yang sistematis untuk melindungi anak dari perdagangan, pornografi dan prostitusi anak. Pemerintah Indonesia juga sudah memiliki Keputusan Presiden RI No. 87/2002 mengenai Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Anak (RAN ESKA)

Berdasarkan penelitian Indonesia ACT di Batam pada tahun 2007, salah satu tujuan utama perdagangan anak adalah untuk dijadikan model pornografi. Pornografi anak merupakan bentuk eksploitasi seksual dan ekonomi, sehingga perlindungan kepada anak semestinya mendapatkan perhatian yang besar. Terdapat dua hal yang berbahaya di dalam pornografi anak; pertama, pelibatan anak di dalam pornografi berarti sama dengan mengeksploitasi anak bekerja dalam bentuk pekerjaan terburuk. Kedua, membiarkan anak mengakses pornografi akan sangat berdampak pada proses tumbuh kembang anak.

Salah satu pengalaman salah satu anggota Indonesia ACT di Jawa Tengah dalam menangani kasus pornografi anak adalah anak korban pornografi diperlakukan sebagai pelaku kejahatan pornografi. Dalam kasus tersebut, anak dieksploitasi secara ekonomi, dijual oleh keluarganya. Anak yang masih berusia
15 tahun tersebut dipaksa melakukan hubungan seksual. Adegan tersebut direkam dengan menggunakan HP. Hasil rekaman disebar ke seluruh wilayah tempat si anak tinggal. Dalam banyak kasus, anak kemudian dikeluarkan dari sekolah karena dianggap mencemarkan nama baik. Selain itu, anak masih harus menanggung derita karena dianggap tidak bermoral dan diusir dari wilayahnya tinggal. Kasus tersebut menunjukkan bahwa anak yang menjadi korban pornografi menjadi korban kembali karena kesadaran masyarakat yang masih menyalahkan korban dan tidak adanya perlindungan yang dilakukan oleh Negara.

Terdapat lima masukan penting lainnya yang diberikan oleh Indonesia ACT terhadap fraksi PAN untuk RUU Pornografi, khususnya yang berkaitan dengan pornografi anak. Lima masukan tersebut yaitu pertama, adanya definisi khusus mengenai pornografi anak. Definisi pornografi yang ingin dimasukkan adalah definisi yang sudah ada dalam Optional Protokol KHA mengenai Penjualan, Prostitusi dan Pornografi Anak. Defenisi pornografi ini juga telah dimasukkan dalam Keppres RI No. 87/2002 mengenai RAN Penghapusan Eksploitasi Anak.

Kedua, memasukkan defenisi pelaku pornografi anak karena di dalam RUU usulan DPR dan pemerintah masih belum secara eksplisit menyatakan itu. Ketiga, memberikan hukuman yang lebih berat terhadap pelaku pornografi anak. Mengingat anak adalah manusia yang sedang dalam tahap tumbuh kembang sehingga dampak pornografi dapat berpengaruh terhadap kesehatan baik fisik, psikis dan kehidupan social anak, maka pelaku pornografi anak selayaknya diberikan hukuman yang lebih berat. Keempat, memberikan hukuman kepada setiap orang yang memberikan akses pornografi anak. Hal itu untuk menjamin setiap orang untuk tidak memberikan akses kepada anak. Sampai saat ini anak-anak sangat mudah mengakses pornografi melalui berbagai media cetak dan elektronik.

Masukan yang juga sangat penting terhadap RUU Pornografi adalah perlindungan korban pornografi anak, khususnya yang dijadikan sebagai model, agar sesuai dengan standar hak asasi manusia. Negara wajib memberikan perlakuan terhadap korban dengan bermartabat dan tidak menjadikan korban pornografi dikorbankan lagi. Korban juga berhak untuk mendapatkan keselamatan, bantuan kesehatan baik secara medis dan psikologis, dirahasiakan identitasnya dan mendapatkan pendidikan.

Ibu Latifah Iskandar dari anggota pansus RUU Pronografi dari fraksi PAN menanggapi masukan Indonesia ACT dengan antusias,”Kami concern dengan masukan mengenai anak ini. Memang selama ini perhatian kami terhadap anak masih kurang. Dulu kami terlarut dengan kontroversi pornografi dan pornoaksi”.

Tentang Indonesia ACT:

Indonesia ACT (Indonesia Against Child Trafficking) merupakan jaringan nasional kampanye memerangi perdagangan anak di Indonesia yang beranggotakan 16 LSM se-Indonesia tersebar di 12 kota (Medan, Batam, Jakarta, Indramayu, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Pontianak, Mataram dan Kupang)

Kontak person:

Dewi Astuti
Advocacy Officer Indonesia ACTs
Jalan Kalibata Utara I No. 32
Jakarta Selatan –
12740

Telp/faks:021-7997036
HP : 021-93848296

Leave a Reply