Dr. Wahyuni, Satu-satunya Dokter Perempuan Ring Tinju Indonesia

[JAWA-POS] ~ Aksi kekerasan, cucuran darah, dan kadang berujung kematian umumnya membuat ngeri dan dihindari kaum wanita. Tetapi tidak demikian halnya dengan dr Wahyuni Ristiyana Homan SpKO. Perempuan yang selalu tampil “nyentrik” dan “tomboi” itu justru mengakrabi itu dengan menjadi dokter ring tinju profesional. Seperti apa? Rambutnya dipotong pendek agak jabrik dan dicat pirang, serasi dengan kulitnya yang putih bersih agak bule. Perawakannya tegap, tangannya tampak berotot, mirip polwan atau anggota TNI. Itulah sosok dokter Wahyuni Ristiyana Homan SpKO, dokter spesialis olahraga.

Hingga 2009 Wahyuni menjadi satu-satunya dokter perempuan di Indonesia yang bertugas di ring tinju profesional. Olahraga bayaran yang identik dengan darah dan musibah membahayakan. Di luar ring tinju, Wahyuni juga menjadi dokter di Pengurus Besar Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) dan Program Atlet Andalan (PAL) membidangi cabang judo, gulat, tenis lapangan, dan tenis meja. Dalam menjalani profesinya sebagai dokter olahraga, Wahyuni sangat profesional.

 

Menentukan Laik-tidaknya Petinju Naik Ring

Seperti suatu Jumat di studio TVRI Pusat Jakarta, dokter “nyentrik” itu bertugas memeriksa empat petinju profesional yang akan bertarung di Ring Tinju TVRI Sabtu malam. Di antaranya adalah juara nasional versi Asosiasi Tinju Indonesia (ATI) Herry Amol dan penantang peringkat pertama Sofyan Efendi. Kesehatan kedua petinju itu diperiksa secara bergantian untuk memastikan laik-tidaknya mereka naik ring. Selain mendapatkan kepastian kondisi kesehatan secara medis, dia kepada petinju menanyakan kesiapan bertanding dan hal-hal lain yang dianggap perlu. Jika hasil pemeriksaan itu memenuhi standar aturan pertandingan, baru petinju bersangkutan dinyatakan laik tanding. Standar pemeriksaan itu mengacu kepada ketentuan badan tinju dunia, seperti WBA, WBC, atau WBO, dan diikuti oleh tiga badan tinju Indonesia, yakni Komisi Tinju Indonesia (KTI), Komisi Tinju Profesional Indonesia (KTPI), dan Asosiasi Tinju Indonesia (ATII).

“Setiap petinju yang akan bertanding harus memenuhi standar kesehatan. Dia dinyatakan laik tanding jika standar kesehatan itu terpenuhi. Salah satu di antaranya petinju harus dalam kondisi sehat berdasar pemeriksaan tim medis. Tidak menderita penyakit jantung atau hipertensi,” kata Wahyuni.

Pemeriksaan dilakukan sehari sebelum pertandingan, biasanya saat timbang badan. Standar kesehatan memang tidak menjamin tak akan terjadi kecelakaan yang bisa membawa maut bagi petinju. Buktinya, masih banyak petinju Indonesia yang meregang nyawa setelah pertandingan. Meski begitu, Wahyuni yakin, jika semua dokter ring mematuhi ketentuan standar pertandingan, musibah yang membahayakan petinju itu bisa diminimalkan.

“Untuk menentukan laik-tidaknya petinju naik ring, saya menggunakan standar peraturan pertandingan, makanya sampai sekarang belum ada petinju (yang ditanganinya, red) yang karena bertanding sampai meregang nyawa,” ujarnya.

 

Beda Aturannya Bagi Dokter Ring Tinju

Selain berprofesi sebagai dokter spesialis olahraga, Wahyuni pernah mengikuti pendidikan kepelatihan dokter ring tinju yang diadakan badan tinju dunia WBC pada 2005 di Jakarta. Berbeda dari sebelum pertandingan yang ada standar untuk menentukan petinju laik-tidak naik ring, di ring tidak ada standar baku bagi dokter untuk menghentikan pertandingan. Bahkan ketika terjadi kecelakaan terhadap seorang petinju atau kedua petinju di ring, tak jarang keputusan “politik” ikut berperan, misalnya diminta agar dokter melarang pertandingan dilanjutkan jika petinju yang dikehendaki menang ternyata akan berbalik kalah, atau mengizinkan pertandingan dilanjutkan setelah terjadi pendarahan akibat benturan atau pelanggaran di ring.

Pernyataan dokter ini memang ada benarnya. Masalahnya, aturan di tinju profesional memang sangat berbeda dari di tinju amatir. Di profesional, jika tak puas oleh keputusan hasil pertandingan, petinju bersangkutan bisa meminta tarung ulang (rematch). Dan promotor bisa mengaturnya. Di amatir, tidak ada pertarungan ulang yang direncanakan. Masalahnya, pertandingan hanya terjadi pada event yang telah ditentukan dan penentuan lawan berdasar undian (drawing).

Peristiwa yang menimpa petinju Indonesia, Daud “Cino” Jordan, saat bertarung di California, Amerika, 7 Maret 2009, misalnya. Pertarungan non-gelar sepuluh ronde melawan mantan juara dunia kelas super bulu asal Amerika, Robert Guerrero, dihentikan wasit pada ronde kedua karena pelipis Guerrero berdarah akibat benturan. Keputusan akhir, duel tersebut dianggap tidak ada (no contest) sehingga tidak ada pemenangnya. Padahal, cedera yang dialami Guerrero tidak terlalu parah. Tetapi karena ada kekhawatiran Guerrero akan kalah jika pertarungan dilanjutkan, dokter ring pun merekomendasikan kepada wasit agar pertandingan tidak dilanjutkan. Keputusan penghentian pertandingan saat kedua petinju masih terlihat bugar akibat insinden benturan yang berakibat salah satu di antaranya mengalamai pendarahan memang hal biasa terjadi di arena tinju profesional. Keputusan kontroversial seperti itu juga pernah dialami Chris John ketika menghadapi Ricardo “Rocky” Juarez (Amerika) pada 28 Februari 2009 di Houston, Texas, Amerika. Meski Chris John tampak mendominasi pukulan, wasit memutuskan draw sehingga dilakukan tarung ulang di MGM Las Vegas, Amerika Serikat, pada 19 September lalu. Hasilnya, Chris John dinyatakan menang angka mutlak.

“Tidak ada standar pertandingan harus dihentikan.
Semua berdasarkan perasaan dokter bersangkutan.
Kalau kita menganggap berbahaya
jika pertarungan dilanjutkan,
ya kita hentikan,” terang perempuan
kelahiran Jakarta, 11 November 1967, itu.

 

Ketika Kecil Bercita-cita Jadi Petinju

Akrab dengan darah sudah dialami Wahyuni sejak memilih masuk fakultas kedokteran sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Tetapi akrab dengan darah yang ditimbulkan aksi kekerasan di arena pertandingan baru dialami pada 2005, saat dipercaya ikut membantu menjadi dokter ring pada pertandingan tinju profesional di bawah pengawasan ATI. Profesi dokter olahraga mulai diminati Wahyuni pada 2003, yakni sesudah menyelesaikan kewajiban menjadi pegawai tidak tetap (PTT) sebagai dokter umum di daerah Sangitalaut, Manado, Sulawesi Utara. Jiwa olahraga Wahyuni mendorong untuk melanjutkan kuliah dengan mengambil spesialis olahraga di Universitas Indonesia.

“Dasarnya saya sejak kecil memang suka olahraga. Itu yang mendorong saya memilih spesialis dokter olahraga ketika sudah menyelesaikan PTT di Sangitalaut,” kata perempuan yang masih lajang itu. Sejak kanak-kanak, Wahyuni memang sudah menyukai tinju dan bela diri. Meski olahraga renang, atletik, basket, dan bola voli juga menjadi kegemarannya, olahraga itu tidak bisa mengalahkan hobinya akan bela diri dan tinju.

“Saya bahkan pernah bercita-cita menjadi petinju,” tuturnya. Sayang, orangtuanya tak pernah menyetujui Wahyuni berlatih beladiri, apalagi tinju. Orangtuanya tak memberi tahu mengapa Wahyuni tak boleh berlatih beladiri atau tinju. “Penampilan saya yang dianggap tomboi mungkin menjadi alasan orangtua saya melarang latihan beladiri atau tinju. Mungkin takut saya semakin kelaki-lakian,” kilahnya.

Ketika kelas 3 SMA, jelang ujian, sulung di antara lima bersaudara pasangan Tjandra Homan dan Liesong itu kabur dari rumah. Ada persoalan yang tidak disetujui Tjandra. Tetapi karena karakternya memang keras, Wahyuni memilih keluar dari rumah. Tinggal di rumah kos itulah, Wahyuni akhirnya bisa menyalurkan hobinya, berlatih karate di perguruan Kyokushinkai. “Saya ingin buktikan kepada kedua orangtua saya bahwa saya bisa mandiri,” ujarnya.

Meski kedua orangtuanya tergolong mampu karena punya bisnis kertas, Wahyuni bertekad ingin mencari penghasilan sendiri, yakni menjadi pengajar privat anak-anak SD dan SMP di seputar tempat kosnya. Sekitar sebelas tahun menjadi pengajar privat, Wahyuni bisa menyelesaikan kuliah di Fakultas Kedokteran Universita Atmajaya, Jakarta. Kerja keras dan tak mudah menyerah serta berprinsip pada disiplin yang diperoleh dari latihan beladiri karate Kyokushinkai, saat masih di bangku kuliah, itu diakui sangat berperan meraih sukses hingga dia kini menjadi dokter spesialis olahraga. Dalam menekuni beladiri asal Jepang itu, Wahyuni juga sudah menyandang predikat pembina sebagai anggota dewan sabuk hitam dan III.

Meski kesehariannya disibukkan tugas-tugas sebagai dokter olahraga, Wahyuni masih menyempatkan diri melakukan gerakan-gerakan karate untuk kebugaran. Dia bahkan berniat ingin mendalami olahraga yoga. Tak tanggung- tanggung, dia ingin berlatih langsung di negeri asalnya, India. “Kalau tidak ada halangan, Januari 2010 saya akan berangkat ke India untuk mendalami yoga,” tuturnya. :: jambi-independent/nov2009

sumber >> JAWA POS

Leave a Reply