Nyi Wulaningsih, Dari ‘Ngintil’ Jadi Pengikut Jejak Ayah

Nyi Wulaningsih, seorang dalang kebanggaan Wonogiri, Jawa Tengah. /GEMARI
Nyi Wulaningsih, seorang dalang kebanggaan Wonogiri, Jawa Tengah. /GEMARI

[GEMARI] – Dalang perempuan muda berbakat Nyi Wulaningsih (21th) terlahir dilingkungan masyarakat pengrajin wayang kulit Manyaran, Wonogiri. Ketrampilannya begitu matang dan mengesankan ketika Wulan memainkan kuda dan penunggangnya ditengah barisan dengan iringan kepyak yang serasi. Semuanya terlihat hidup, mengundang tanya orang yang memahami dunia pakeliran. Tidak semua dalang memiliki ketrampilan demikian.

Seperti halnya Cempluk, Wulan kecil sudah tertarik dunia pedalangan. Sejak kelas 3 SD, anak keempat ‘dalang kethek’ (kera) Sadino Hadi Carito (70th) , selalu ikut saat ayahnya pentas di berbagai desa. “Saya nutug, semalam suntug duduk disamping pesinden” ujar wulan. Sedang ayahnya menyambung “Saya njiplak Mbah Warsino, dalang sepuh yang kondang kalau memainkan kera, asal Baturetno Wonogiri”, tuturnya jujur. Leluhur wulan memang dalang. Kakeknya Ki Dalang Prawirodihardjo, Ki Dalang Guno Wasito (eyang Buyut). Bahkan dalam ‘ruwatan’ sampai urutan ke-17 masih dalang termasuk Ki Dalang Panjangmas.
Bakat dalang diamati ayahnya. “Apa anakku ki seneng mayang?”, kenang Hadicarito yang mendampingi Wulan saat diwawancarai KBI GEMARI. Berpikir demikian anaknya ditanya “kowe dadi dalang apa gelem nduk?” (Kamu jadi dalang apa mau ‘nduk’- panggilan kesayangan untuk anak perempuan). Pertanyaan itu dijawab, “Nggih cobi-cobi mawon” (Ya coba-coba saja).

Berawal dari itu Wulan dibuatkan catatan dan latihan, tanpa iringan lengkap hanya kendang dan gender yang dipegang bapak, tutur Wulan. Entah keturunan atau bakat. anehnya saat itu terus bisa. dengan lakon Palguna Palgunadi untuk waktu satu jam(pagelaran padat). Tapi suara saya kecil… suara saya kurang bagus,… kalau ketrampilan wayang lumayan, akunya.

Untuk merawat kesehatan agar suara tidak serak, ia memilih jamu-jamu tradisionil termasuk minum jahe. Ia juga mematuhi pesan ayahnya untuk tidak merokok. “Semua nginang, maksudnya tidak merokok. Kalau dapat rokoh saya jual”, ucapnya.

Sebagai dalang kecil Wulan membentuk grup pengrawit kecil (penabuh gamelan), pesindennya juga kecil. Bertepatan Hari Raya Idul Fitri tahun 1992, mereka ‘Gebyakan’ (gelar wayang) dirumah ( di Jawa disebut mbadakne wayang). Penampilan Wulan dan kawan menarik perhatian banyak orang. Pada peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1993 , Wulan yang duduk di bangku kelas 6 SD dipanggil untuk pentas di kecamatan. Kemudian dipanggil pentas di aula Giri Wahana Kabupaten Wonogiri. Bupati Wonogiri yang melihat kemahiran Wulan dan teman-teman kecilnya, meminta pentas wayang Wulan CS disajikan di setiap ada tamu dari luar atau tamu asing.

foto: ismiwardhani.wordpress.com
foto: ismiwardhani.wordpress.com

Kesempatan berprestasi semakin terbuka. Sebagai dalang kecil ia sempat pentas empat kali di pendapa kabupaten, Wonogiri, pentas di Kampung Kapok, Depok, Jakarta. di suatu hajatan. Ia juga tampil pada pagelaran dalang kecil yang diselenggarakan Bobo di Jakarta. Saat SD lakon yang dihafal baru Palguna Palgunadi, Rama Nitik dan Kresna Gugah. Sampai sekarang setiap akan pentas ia membuat konsep lakon yang dipesan. Bapak membantu membuat urutannya, baru saya membuat konsep secara lebih rinci, kata Wulan.

Pengalaman lucu sebagai dalang kecil, ketika ia terasa kencing saat mendalang. Tanpa basa-basi sang dalang berucap “Metu disik”. Penonton berkomentar “Lho dalange arep ngandi?” (dalangnya mau kemana).Wulan menjawab apa adanya, “Nguyuh!” (kencing). Keluguan itu mengundang gelak tawa yang hadir.

Dalam memainkan wayang Wulan mengaku banyak dikontrol ayahnya. Misal salah saat memainkan wayang baru berjalan, pasti diingatkan, tutur Wulan. “Mripat dienggo, wayang mlaku kuwi kudu pas palemahan” (Mata dipakai, kalau wayang berjalan harus pas batas dasar kelir), yang dijawab, “Nggih, Pak Guru”. Diakui ‘gendiran’ saat perang Bambangan-Cakil perlu banyak belajar. Demikian juga dalam memutar wayang, kalau raksasa berkelas perajurit tidak masalah.Tapi kalau raja atau patih, berjalan sambil jempalikan kan tidak wajar, ucapnya.

Sedang penggunaan kata dan bahasa disebutkan dalang perempuan tentunya beda dengan dalang pria. Saat tokoh wayang marah, ia tidak terbiasa menggunakan kata kasar dan jorok (misuh,misuh). Paling-paling umpatan iblis dan setan alas, kata wulan yang senang puasa dihari kelahir Wulansri Panjangmas, dalang lembut penggemar tokoh wayang Prabu Baladewa ini, empat tahun lalu dipersunting Riyanto, guru ngajinya, dikaruniai seorang anak Putut Abdul Muchlis yang kini berusia 2 tahun. Ia mengaku kemampuan pentas semalam suntug baru dilakoni 3 tahun terakhir setelah ia menamatkan Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI) setingkat SMU dan menikah. Sebelumnya 2-3 jam saja. Rencananya ia ingin kuliah agar wawasannya lebih luas, namun terbentur biaya. “Kalau ada yang membiayai, mau,” ucapnya bersemangat. Sebagai pecinta seni Wulan juga belajar tari dan rias temanten, disela kesibukannya mendalang yang rata-rata manggung 6 kali sebulan. Saat dalang kecil justru sampai 14 kali.

Berbicara pengalaman menarik mutakhirnya, saat pentas bersama Bu Suharni Sabdowati di Gubernuran Jawa Tengah.Waktu itu pentas dalam dua kelir (layar wayang). Kelir yang satu Mbak Tutik dan Pak Manjul, kelir yang satunya Bu Harni, Bu Darsini dan dirinya (Wulaningsih). Banyak kreasi yang harus dipelajari, katanya.

Dalang pengagum Ki Purbo Asmoro ini mengaku tidak semua gending dikuasai. Namun gending yang akan dipakai pentas hafal. Purbo Asmoro menurutnya mampu membawa penonton terus gembira penuh tawa, padahal tidak menggunakan campursari atau lawak. Gendingnya hanya sedikit.”Bagaimana pagelaran tetap hidup ngguyokne penonton wiwit jejer sampai tancep kayon”, tuturnya. Seperti Cempluk ia mengagumi Ki Manteb.dalam sabetan dan Ki Anom Suroto dalam hal suara dan dialog. :: GEMARI/03/2001/(NMW/HN)

Leave a Reply