Ida Mustika Zaini Bangunkan Tapis Lampung Dari Lelap

tapis_pelangi[SINARHARAPAN] – Bagi warga Lampung, kain tapis merupakan warisan kekayaan tradisional yang turun-temurun. Namun akibat modernisasi dan globalisasi, generasi penerusnya secara lambat laun mulai meninggalkannya. Nenek moyang yang dulunya bangga dan bergensi jika memakai kain tapis hasil tenunan sendiri, berbeda dengan gadis-gadis Lampung yang kini justru lebih bangga mengenakan gaun modern.

Adalah Ida Mustika Zaini, salah seorang tokoh perempuan Lampung yang risau akan kehilangan warisan nenek moyangnya tersebut. Ketika menjadi anggota DPRD Provinsi Lampung di era 1970-an, ia mulai berusaha agar kekayaan budaya nenek moyangnya ini dilestarikan serta diwariskan kepada generasi penerus.

“Pada masa itu kain tapis sulit ditemukan. Orang tidak menenun kain tapis karena bahan baku yang dibutuhkan, terutama benang emas sangat langka. Di samping itu warga di pedesaan yang memiliki koleksi kain tapis banyak yang menjualnya karena butuh uang untuk kebutuhan hidup,” ujar Ida kepada SH di rumahnya di kawasan Pahoman, Bandar Lampung, pada awal tahun 2008. Ida kemudian mempelopori kebangkitan kain tradisional ini.

Setelah bertukar pikiran dengan Dewi Kartini, istri Gubernur Lampung Zainal Pagar Alam yang memiliki 50 kain tapis, mulailah Ida menghimpun para penenun untuk memproduksi tapis. Ia pun giat melakukan konsultasi dengan para tokoh adat dan menemui Ibu Bazar (ibunda Zainal Pagar Alam) di Blambangan Umpu, Ibu Pangeran Buay Nyurang di Negeri Sakti, Ibu Ali Tuan Junjungan di Sukau, dan Ibu Masmu Azis di Bumiratu. Namun usahanya untuk segera memproduksi tapis tidak berjalan mulus. Selain kesulitan mencari alat tenun yang masih layak pakai dan benang emas, juga terkendala mendapatkan penenun yang mahir menyulam benang emas. Untuk mencari alat tenun yang masih bisa dipakai, ia bergerilya ke kampung suaminya di Bumiratu, Lampung Tengah.

Dari sebelas rumah yang dikunjunginya, hanya ditemukan alat tenun yang sudah rusak. Ada yang hanya tinggal kakinya saja, ada yang tunjang sebelah dan ada pula yang tersisa sisirnya saja. Perangkat yang sudah terpisah-pisah ini dirangkai kembali sehingga terwujudlah alat tenun sederhana yang bisa digunakan.

Setelah itu, untuk mendapatkan penenunnya juga tidak mudah. Banyak perempuan menolak bekerja karena terikat tradisi, perempuan yang sudah menikah tidak bisa bebas bekerja. Baru tahun 1978 bermunculanlah perempuan-perempuan yang bersedia menenun, antara lain Maisaroh, Yati, dan Salmah Yasin. Ida mengawali produksinya dengan satu kelompok yang terdiri dari sepuluh penenun di Desa Bumiratu. Pada tahun 1983, ia berhasil mengembangkan kelompoknya menjadi empat kelompok di tiga desa, Bumiratu, Tegineneng, dan Gunung Sugih.

tapis_lampung2Untuk memasarkan kain tapis yang diproduksi, Ida mulai sering mengikuti pameran di dalam dan di luar negeri. Ia pernah dikirim Pemerintah untuk berpameran di Bejing (China), Singapura, Spanyol, Australia, Malaysia, Taiwan, Belanda, dan negara-negara lainnya. “Sejak itu tapis menjadi terkenal di tingkat nasional, termasuk di luar negeri, sehingga gadis-gadis Lampung jadi bangga kembali memakai kain tradisional ini ke pesta-pesta dan acara-acara formal lainnya,” ungkap Ida.

Peraih Penghargaan Upakarti 1991

Atas kepeloporannya mengembangkan kain tapis, pada Desember 1991, perempuan kelahiran Palembang tanggal 25 Juni 1939 ini menerima penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto di Istana Negara, Jakarta. Kini, urainya, kain tapis tidak saja berupa songket yang dipadu dengan baju kebaya, tapi juga mulai dikembangkan menjadi peci, hiasan dinding, batik tapis, dan lain-lain. Juga motifnya sudah berkembang luas.

“Banyak motif baru yang diproduksi guna mengikuti selera masyarakat. Tapi saya berharap motif lama tidak sampai terlupakan,” ibu dari enam putra-putri ini mengingatkan.

Motif, menurut Ida, bisa mengenalkan siapa pemakainya. Gadis remaja biasanya memakai kain tapis bermotif bintang perak dengan motif bunga-bunga. Seorang perempuan yang sudah menikah biasanya mengenakan tapis motif pucuk rebung. Lalu seorang nenek akan memakai tapis motif cucuk pinggir. Kain tapis pada awalnya adalah kain adat. Orang Lampung selalu menyimpan kain kerajaan itu dengan baik walapun sudah rusak. Mereka menganggap tapis yang sudah turun-temurun memiliki kekuatan magis. Karenanya terdapat motif tertentu yang tidak bisa dipakai sembarang orang. Misalnya, tapis yang bernama Jungsaraf hanya dipakai untuk betawi (upacara) adat, atau cekak pepadun (naik kursi kerajaan). Tapis pun berjenis-jenis, menurut Ida, di antaranya yang terkenal adalah tapis jenis Abung Sewo Mego, Tulang Bawang Mego Pak, dan Pubian Telusuku. ~ (Syafnijal Datuk Sinaro, ‘Pelopor Pelestarian Tapis Lampung’)

sumber >> http://www.sinarharapan.co.id/berita/0802/13/hib07.html + elegant-frame.blogspot.com/

Leave a Reply